Jakarta, Delegasi.Com – Persoalan klasik di pemerintahan daerah berupa lambatnya penyerapan anggaran pendapatan dan belanja daerah kembali terulang selama semester pertama 2019. Sejumlah pemerintah daerah bahkan tak hanya kali ini saja lambat menyerap anggaran. Padahal, penyerapan anggaran penting untuk menggerakkan perekonomian daerah.
Berdasarkan data yang diterima Kompas dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Senin (2/9/2019), selama semester I-2019 atau sejak Januari hingga Juni 2019, sepuluh pemerintah kabupaten/kota tidak sampai 20 persen menyerap anggarannya. Pemerintah Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, yang terendah, yaitu hanya sekitar 5 persen.
Sementara itu, 9 kabupaten/kota lain penyerapannya di bawah 20 persen, yaitu Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur (19 persen); Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT (19 persen); Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT (19 persen); dan Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur (19 persen).
Selain itu, Kabupaten Nagekeo, NTT (18 persen); Kabupaten Manggarai, NTT (16 persen); Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (16 persen); Kabupaten Sabu Raijua, NTT (15 persen); dan Kabupaten Kupang, NTT (14 persen).
Di sejumlah kabupaten, serapan anggaran yang lambat terjadi pula pada tahun-tahun sebelumnya. Sabu Raijua dan Natuna, misalnya.
Pada semester I-2017, belanja APBD Sabu Raijua 16 persen, sedangkan periode yang sama pada 2018, sekalipun besarannya naik, masih terbilang rendah, yaitu 20 persen. Untuk Natuna, pada semester I-2017 sebesar 6 persen. Kemudian, periode yang sama pada 2018 turun menjadi 5 persen.
Tak berkualitas
”Keterlambatan menyerap anggaran tersebut berdampak langsung pada stimulus ekonomi yang tidak optimal,” kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati saat dihubungi Kompas dari Jakarta, Senin (2/9/2019).
Pelaksanaan sejumlah proyek atau program pembangunan, misalnya, berpotensi molor dari waktu yang sudah direncanakan. Dengan demikian, laju perekonomian di daerah bakal terhambat.
Keterlambatan menyerap APBD juga berdampak pada kualitas penggunaan anggaran. Sebab, semakin lama alokasi anggaran digunakan, semakin sedikit waktu yang tersedia untuk memanfaatkannya.
Beragam penyesuaian pun biasanya dilakukan oleh pemerintah daerah, seperti merealokasi anggaran. Namun, ironisnya, anggaran sering kali direalokasi ke pos lain yang tidak signifikan dampaknya untuk pembangunan daerah. Ini semata agar anggaran yang ada bisa cepat dibelanjakan. Dia mencontohkan perjalanan dinas yang biasanya marak menjelang akhir tahun.
”Oleh karena itu, keterlambatan penyerapan anggaran akan menimbulkan kerugian dari sisi efektivitas belanja negara,” kata Enny.
Lambannya penyerapan anggaran di sejumlah daerah itu juga kontras dengan kebutuhan daerah tersebut. Di Sabu Raijua, misalnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, dari total 571,5 kilometer (km) jalan kabupaten, baru 126,92 km yang permukaannya beraspal. Sisanya masih berupa tanah.
Kemudian di Kabupaten Natuna, berdasarkan data BPS, pada 2017, dari total jalan kabupaten sepanjang 434,93 km, sepanjang 113,39 km rusak berat dan 86,07 km rusak ringan. Adapun panjang jalan yang dalam kondisi sedang 109,42 km. Sementara yang kondisinya baik sepanjang 126,05 km.
Kepala daerah
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddin mengatakan, penyerapan APBD sebenarnya merepresentasikan pula kemampuan daerah dalam merencanakan anggaran. Ketika APBD sudah disahkan, menjadi tanggung jawab kepala daerah untuk memastikan belanja APBD tidak lambat.
Pengalaman daerah lain dalam mengelola anggarannya bisa jadi salah satu referensi. ”Kepala daerah semestinya juga bisa termotivasi dengan capaian daerah lain yang lebih tinggi,” kata Syarifuddin.
Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Abdullah Azwar Anas mengakui, rata-rata penyerapan anggaran belum maksimal. Namun, dia menampik jika hal itu karena kesalahan kepala daerah.
”Penyerapan yang rendah bukan berarti kepala daerah tidak punya performa yang baik dalam pengelolaan anggaran. Siapa saja kepala daerah pasti ingin penyerapan optimal karena APBD merupakan instrumen fiskal untuk menggerakkan ekonomi lokal,” kata Bupati Banyuwangi tersebut.
Menurut dia, ada banyak faktor yang melatarbelakangi rendahnya penyerapan anggaran. Salah satunya kegagalan lelang. Selain itu, penyerapan APBD terkendala mekanisme penganggaran. Misalnya, kegiatan pembangunan fisik yang sudah berjalan sejak awal tahun belum tuntas hingga 100 persen sehingga pencairan anggaran baru bisa dilakukan pada triwulan III.
Inovasi
Selain itu, menurut Anas, pemerintah kabupaten se-Indonesia saat ini giat menggali cara kreatif untuk memacu ekonomi tanpa harus bertumpu pada APBD. Ini karena APBD tidaklah besar, rata-rata hanya sekitar 5 persen dari produk domestik regional bruto (PDRB).
Salah satunya membuat skema kemitraan dengan pihak ketiga. ”Contohnya, kami bergerak memfasilitasi petani untuk bertemu langsung dengan pembeli sehingga bisa berdampak langsung terhadap ekonomi lokal dan itu sama sekali tidak mencerminkan penyerapan APBD,” ujar Anas.
Kemudian pengembangan pariwisata daerah yang kebanyakan didorong oleh kelompok masyarakat yang bekerja sama dengan badan usaha milik negara (BUMN) atau pihak swasta.
Menurut dia, hal-hal tersebut akhirnya melengkapi peran APBD untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan warga.
//delegasi*/hermen)
Sumber: kompas.com