KUPANG, DELEGASI.COM – Kesehatan gratis itu adalah program pemerintah pusat. Kalau di daerah sudah tercover melalui Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) BPJS, Jamkesmas, KIS untuk orang miskin atau kurang mampu. Jika bakal calon bupati menjadikan itu sebagai peogram kerja atau visi misi untuk memenangkan pertarungan politik, sebetulnya sudah bernuansa politis, tidak lagi bernuansa kemanusiaan.
Demikian pendapat para pengamat politik dari akademisi, masing masing Dosen Fisip Unika Widya Mandira Kupang, Apolonaris Gai, Dosen Hukum Undana, Darius Mauritsius dan Dosen Hukum Unika Widya Mandira Kupang, Michael Feka yang dihubungi secara terpisah di Kupang, Sabtu (22/8/2020).
Mereka dimintai komentarnya terkait pernyataam salah satu Bakal Calon Bupati Belu yang menjadikan Pengobatan Gratis sebagai bagian program kerjanya jika kelak terpilih menjadi Bupati Belu.
Pernyataan itu sempat menjadi menu utama perdebatan antara pro dan kontra yang viral di medis sosial (medsos) beberapa hari ini.
“Selama ini pemerintah sudah gratiskan kesehatan melalui program kesehatan. Daerah juga sudah cover orang miskin melalui Jamkesda. Jika itu dijadikan program oleh salah satu calon Bupati, sebetulnya keliru. Karena jika saja dia terpilih (bakal calon-Red), wajib hukumya dia melaksanakan program gratis kesehatan bagi warganya,” kata Darius.
Menurut Darius, belakangan ini Indonesia baru menuju tahap singel identitas (satu data), satu kartu untuk semua urusan.
Yang terjadi saat ini adalah masing- masing urusan memiliki identitasnya. Sektor keuangan misalnya ada Kartu Kredit dan ATM. Bidang kependudukan ada KTP dan KK. Bidang kesehatan ada BPJS, KIS dan lain lain.
“Oleh sebab itu pernyataan itu benar bahwa KTP digunakan untuk pengobatan geratis dalam rangka Pilkada, itu sangat riskan karena muatan politiknya sangat tinggi. Selama ini Pemerintah kan sudah gratiskan sesuai syarat dan aturannya kan. Daerah juga sudah cover orang miskin melalui Jamkesda,” kata Darius.
Sementara itu pengamat politik dari Unika Widya Mandira Kupang, Apolonaris Gai mengatakan jika tawaran program kesehatan gratis dari salah satu bakal calon bupati itu dalam konteks pilkada, itu bernuansa politis dan masuk dalam kategori penyesatan politik.
“Kalau saya berpandangan bahwa program seperti itu jika disejajarkan dengan hajatan politik pilkada maka nuansanya politis bukan nuansa kemanusiaan.
Apolonaris menghimbau para bakal calon dalam politik pemilihan bupati saat ini agar gunakan momentum pilkada ini untuk menghadirkan atau memberikan nilai serta pendidilan politik yang bermoral dan bermartabat (Vox Populi Vox Dey).
Apolonaris juga meminta masyarakat agar memilih calan pemimpin yang benar-benar mau merasakan apa yang masyarakat rasakan dan mau membangun Belu secara bersama-sama.
Karena menurut Apolonaris, tanggungnjawab pembangunan itu bukan hanya semata tanggung jawab pemimpin semata tapi tanggung jawab bersama baik pemimpin maupun yang dipimpin.
“Yang paling penting bagi masyarakat adalah apapun program yang dibuat pada akhirnya bisa mengubah keadaan dari keterpurukan meningkat menjadi sejahtera apalagi makmur,” kata Apolonaris.
Pengamat Hukum Unika Widya Mandira Kupang, Michael Feka
Michael Feka, akademisi Fakultas Huku Unika Widya Mandira Kupang juga sependapat dengan dua pengamat lainya.
Menurut Michael Feka bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah boleh saja melakukan kegiatan- kegiatan sosial misalnya pengobatan gratis.
Tapi jika program gratis kesehatan menjadi program dan visi misi dari bakal calon, itu tidak etis dan sangat politis. karena jika saja teepilih, program kesehatan itu wajib dikerjakanm karna itu program nasional.
“Semestinya hal itu dilakukan dgn tulus biarlah rakyat yang memilih. Bakal calon kepala daerah itu harus melakukan pendidikan politik yang benar kepada masyarakat” kata Michael
//delegasi (*/tim)