JAKARTA-DELEGASI.COM–Penghapusan hukuman mati yang telah dipraktekkan pada lebih dari dua pertiga negara di dunia, namun tak memberikan legitimasi dan dorongan yang cukup bagi Pemerintah Indonesia untuk menghapus hukuman mati dari hukum pidana nasional, memberikan efek besar bagi Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) se Indonesia untuk bersuara keras.
Sikap protes ini juga bertepatan dengan Hari Anti Hukuman Mati Internasional, Selasa, 10/10/2022.
Demikian rilis Pers yang diterima Redaksi Delegasi.Com, Senin,10/10/2022, Malam, dari Ketua Dewan Pembina PADMA Indonesia, Gabriel Goa, mewakili JATI.
Disebutkan, Jaringan Anti Hukuman Mati (JATI), menemukan lebih dari 10 Undang-Undang yang menerapkan pidana mati.
“Dan, yang paling sering digunakan adalah UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Bahkan, dalam situasi Pandemi sejak awal Maret 2020, vonis mati masih kerap dijatuhkan,”ujar Gabriel Goa.
Dikatakannya, hasil pemantauan sepanjang Maret 2020-2021, terdapat 145 terdakwa yang divonis mati.
Diantaranya, 119 terdakwa berasal dari kasus Narkotika.
“Dua terdakwanya adalah perempuan.
Realitas ini tak terlepas dari glorifikasi perang Narkotika (war on drugs) yang sejatinya tidak menjawab persoalan, alih-alih memberikan efek jerah, justru angka kejahatan Narkotika tidak lantas redah.
Bahkan, dalil merusak generasi bangsa dan tingkat kematian tinggi, yang nyatanya tidak berbasis pada data.
Dimana, bukti hanyalah kamuflase untuk melanggengkan praktik hukuman mati, dengan tujuan balas dendam,”sambung JATI.
Ironisnya, kritik Gabriel Goa, dalam kondisi ini justru kian tertutup pintu keadilan bagi Mereka yang seharusnya, mendapatkan perlindungan seperti yang dialami oleh Mery Jane Veloso (MJV) dan Merri Utami (MU), yang merupakan buruh migran korban dari sindikat peredaran gelap Narkotika, sekaligus korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.
“Nah, kebijakan mempertahankan hukuman mati yang bias ini, pada akhirnya tidak mampu menilai peran maupun kedudukan MJV dan MU secara obyektif,”pungkasnya, lagi.
Selain MJV dan MU, eksplotasi buruh migran untuk tujuan peredaran gelap Narkotika, dialami juga Tutik, WNI yang mati di China sejak 2011.
Hal ini menguatkan jumlah WNI terancam hukuman mati di luar negeri per 18 Oktober 2021 menjadi 206 orang.
Dimana, 39 diantaranya perempuan, dengan mayoritas Buruh Migran Indonesia.
“Data ini sepatutnya menjadi perhatian serius Pemerintah Indonesia terhadap BMI yang saat ini hak hidupnya terancam di luar negeri,”tohok Gabriel Goa, keras.
Pasalnya, terang JATI, kasus Mary Jane Veloso, dan Tutik, potensial dialami banyak Buruh Migran Indonesia (BMI).
Bahwa kemungkinan mereka sebagai korban TPPO untuk tujuan eksploitasi penyelundupan Narkotika.
Sayangnya, yang terjadi justru kasus-kasus penyelundupan Narkotika yang menjerat BMI, masih didekati semata-mata dengan pendekatan kejahatan Narkotika, dan abaikan kondisi rentan dengan TPPO di dalamnya.
Sehingga mereka yang terjerat sindikat pengedar Narkotika & Perdagangan Orang untuk tujuan selundup Narkotka, menjadi korban berkali-kali, yang menempatkan mereka dalam mimpi buruk hukuman mati dan bayang-bayang eksekusi mati,”timpal Gabriel Goa, keras.
Lebih jauh, JATI mensinyalir perlindungan BMI terhalang dalam politik diplomasi karena Indonesia masih terapkan hukuman mati.
Bahkan, dalam RKUHP versi 4 Juli 2022, Pemerntah masih pertahankan hukuman mati.
Padahal, sebagai upaya dekolonisasi, seharusnya hukuman mati harus dihapuskan dalam Hukum Nasional di Indonesia,”tambahnya.
Selain itu, dalam vonis hukuman mati di Indonesia kerap kali menihilkan prinsiip fair trial, seperti prinsip kehati-hatian, bahwa hakim berhak memastikan pendampingan bagi terdakwa berjalan maksimal.
Dalam diskursus terbaru, praktik hukuman mati adalah tindakan penyiksaan,”tukas Gabriel Goa,dkk.
Ini ditandai dengan fenomena deret tunggu yang berpengaruh pada tekanan mental dan psikologis yang luar biasa akibat penundaan berkepanjangan terhadap eksekusi mati, yang diakumulasi dengan buruknya fasilitas penahanan.
Olehnya, JATI secara tegas menuntut Pemerintah Indonsia menghapus hukuman mati dari Hukum Pidana Nasional dan memberikan perlindungan kepada BMI.
Serta konsisten dalam implementasi UU No.21/2007 tentang TPPO, dan mensosialisasikan kepada penegak hukum, sehingga dalam penanganan kasus BMI, terutama Perempuan harus memperhatikan unsur-unsur TPPO sejak awal proses hukum.
Serta segera kaji kebijakan lain yang kontradiksi dengan kebijakan TPPO, misalnya UU Narkotika, yang banyak korbankan BMI berhadapan dengan hukuman mati.
JATI juga mendesak Pemerintah Indonesia menunjukkan komitmennya dengan memberikan perlindungan maksimal untuk segera bebaskan Mary Jane Veloso dan Meri Utami.
“Terutama Mery Jane Veloso, harus diberikan ruang bersaksi atas kasus TPPO yang sedang ditangani penegak hukum di Philipina.
Pasalnya, baik Mery Jane Veloso, Mery Utami dan Tutik adalah korban TPPO yang dieksploitasi dan ditipu daya sebagai kurir Narkoba yang harus diselamatkan,”tutup Gabriel Goa, mewakili JATI. (WAR/Delegasi.Com)
Bayangkan rumah yang bukan sekadar tempat tinggal, tetapi sebuah karya seni fungsional. Rumah minimalis modern,…
Bayangkan rumah mungil yang nyaman, di mana setiap sudutnya dirancang dengan cermat untuk memaksimalkan ruang…
Bayangkan sebuah rumah, bersih, lapang, dan menenangkan. Bukan sekadar tren, desain minimalis didasarkan pada prinsip-prinsip…
Bayangkan rumah yang bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga perwujudan harmoni antara manusia dan alam.…
Bayangkan sebuah hunian yang memadukan kesederhanaan minimalis dengan aura industri yang kokoh. Rumah minimalis dengan…
Rumah, tempat bernaung dan beristirahat, tak hanya sekadar bangunan. Ia adalah refleksi diri, sebuah ekosistem…