JOKYA, DELEGASI.COM – Melalui akun Twitter @SerambiBuya, Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii menyoroti soal fenomena mendewakan sosok yang mengaku keturunan Nabi. Sejumlah tokoh, pengurus FPI hingga akademisi memberikan tanggapan terkait pernyataan itu.
Berikut beberapa pernyataan yang dirangkum detikcom:
1. Buya Syafii (Cendekiawan)
“Bagi saya mendewa-dewakan mereka yang mengaku keturunan Nabi adalah bentuk perbudakan spiritual,” tulis akun Twitter @SerambiBuya seperti dikutip detikcom, Senin (23/11).
“Memang di dalam masyarakat yang tradisional, secara sosiologis, kultus mitos masih kuat. Tapi di masyarakat yang egaliter, hal-hal seperti itu biasanya sudah dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak lagi dikembangkan,” demikian disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam keterangan pers secara daring, Senin (23/11).
“Jadi simbolisasi yang membuat kita bertentangan dengan nilai-nilai agama ya memang tidak dibenarkan oleh Islam. Nah yang kedua di dalam kehidupan kita itu sekarang ini poinnya adalah para tokoh agama, dari seluruh agama itu sedang ada dalam gerakan menampilkan keberagaman yang lurus dan menampilkan teladan,” katanya.
3. KH Yahya Cholil Staquf (Katib Aam PBNU)
“Mungkin, yang dimaksud Buya dengan istilah mendewakan itu sampai batas mengikuti secara buta, tanpa peduli benar atau salah,” terang Katib Aam PBNU, KH Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya, melalui pesan singkat kepada detikcom, Senin (23/11).
“Keturunan Rasulullah berhak dihormati karena nasabnya. Tapi membenarkan kesalahan, siapa pun pelakunya, jelas tidak boleh,” papar mantan Wantimpres Jokowi tersebut.
4. M Syukur Wahyunudin (Ketua FPI Solo)
“Pernyataan beliau betul, tapi FPI tidak sampai ke situ. Sehormat-hormatnya, secinta-cintanya kita kepada beliau (HRS) kan tidak sampai mengkultuskan,” kata Ketua FPI Solo, M Syukur Wahyunudin, saat dihubungi detikcom, Senin (23/11).
“Kita ahlussunah wal jamaah meyakini hanya Nabi yang maksum. Selain Nabi bisa salah,” katanya.
5. M Najib Azca (sosiolog UGM)
“Itu ajakan untuk bersikap kritis bahwa kita tidak boleh terperdaya simbol semata-mata,” kata Dosen Departemen Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Najib Azca saat dihubungi detikcom, Senin (23/11).
“Saya kira dia melakukan refleksi historis lah, refleksi terhadap pengalaman sejarah kita,” ucapnya.
“Saya kira ya memang sebenarnya tidak perlu ada, katakanlah kultus atau pendewa-dewaan istilahnya terhadap seseorang hanya karena faktor keturunan. Hanya karena keturunan Nabi maka pasti hebat seolah-olah, itu kesalahan dan itu tidak perlu seperti itu,” katanya.
Bayangkan rumah yang bukan sekadar tempat tinggal, tetapi sebuah karya seni fungsional. Rumah minimalis modern,…
Bayangkan rumah mungil yang nyaman, di mana setiap sudutnya dirancang dengan cermat untuk memaksimalkan ruang…
Bayangkan sebuah rumah, bersih, lapang, dan menenangkan. Bukan sekadar tren, desain minimalis didasarkan pada prinsip-prinsip…
Bayangkan rumah yang bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga perwujudan harmoni antara manusia dan alam.…
Bayangkan sebuah hunian yang memadukan kesederhanaan minimalis dengan aura industri yang kokoh. Rumah minimalis dengan…
Rumah, tempat bernaung dan beristirahat, tak hanya sekadar bangunan. Ia adalah refleksi diri, sebuah ekosistem…