KUPANG, DELEGASI.COM – Fraksi Partai Demokrat Solidaritas Pembangunan (DSP) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTT menilai pengaduan Pemerintah Propinsi (Pemprov) NTT terhadap Pimpinan Fraksi DSP, RMU dan CW ke Badan Kehormatan (BK) DPRD NTT sebagai pengaduan ‘salah alamat’.
Demikian tanggapan Fraksi DSP DPRD NTT yang diterima via pesan Whats App pada Jumat (24/7/20) pagi terkait surat pengaduan Pemprov NTT Nomor : Hk.03.5/184/2020 tertanggal 21 Juli 2020 yang ditandatangani Sekda NTT, Ben Polo Maing dan ditujukan kepada Ketua Badan Kehormatan DPRD NTT.
“Fraksi DSP sudah terima tembusan surat yang ditujukan langsung kepada Ketua Badan Kehormatan. Fraksi telah melakukan rapat untuk menanggapi surat tersebut. Menurut kami (berdasarkan hasil rapat, red), surat tersebut ‘salah alamat’,” tulis Ketua
Fraksi DSP, Reni Marlina Un.
Menurut Fraksi DSP, lanjut Reni, surat Pemprov NTT itu ‘salah alamat’ karena ada 3 alasan mendasar: Pertama, surat tersebut langsung ditujukan kepada Ketua BK.
“Padahal seharusnya ditujukan kepada Ketua DPRD NTT sebagai pimpinan lembaga DPRD. Kemudian baru diproses lebih lanjut,” jelasnya.
Kedua, Badan Kehormatan adalah Alat Kelengkapan DPRD.
“Dan bukan bawahan Sekda atau eksekutif. Yang bisa melaporkan kami adalah pimpinan DPRD, anggota DPRD atau masyarakat. Bukan eksekutif sebagai pihak yang diawasi,” tandas Reni.
Ketiga, substansi surat pengaduan adalah terkait Pendapat Akhir Fraksi DSP (sikap politik Fraksi DSP DPRD NTT).
“Tapi kok yang dilaporkan adalah 2 orang/pribadi anggota DPRD NTT atas nama RMU dan CW? Padahal pelanggaran kode etik berlaku untuk perbuatan yang dilakukan individu anggota DPRD. sedangkan kami berdua bertindak atas nama fraksi,” tegasnya.
Oleh karena itu, tegas Reni, Fraksi DSP tetap pada berkomitmen bahwa Pendapat Akhir Fraksinya bersifat final dan mengikat.
“Kami tegaskan lagi bahwa sikap politik fraksi DSP dalam Pendapat Akhir Fraksi terhadap LKPJ 2019 itu, sifatnya final dan mengikat. Tidak perlu ada tambahan penjelasan, apalagi sidang kode ektik karena tidak ada kode etik yang kami langgar,” tulisnya.
Menurut Reni, saat ini pihaknya ingin fokus untuk menindaklanjuti hasil reses.
“Dan aspirasi yang diserap dari Dapil kami masing-masing. Silahkan proses ke BK, itu jadi kewenangan Pimpinan DPRD,” ujarnya santai.
Berdasarkan surat Pemprov NTT dengan perihal : Laporan Pelanggaran Kode Etik tersebut, Sekda NTT, Benediktus Polo Maing bertindak untuk dan atas nama Pemprov NTT melaporkan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan saudari RMU dan saudara CW.
Dalam surat pengaduan itu, Pemprov NTT mempersoalkan penggunaan beberapa diksi dan kalimat yang disampaikan Fraksi DSP dalam pendapat akhir fraksi.
Seperti diberitakan berbagai media sebelumnya, pada Rabu sore (8/7/2020), Fraksi DSP DPRD Provinsi NTT dalam Pendapat Akhir Fraksi-nya yang dibacakan anggota DPRD, dr. Christian Widodo, menyoroti realisasi belanja langsung yang hanya mencapai 85,52 persen, belanja barang dan jasa hanya mencapai 88,59 persen dan belanja modal hanya 80,37 persen.
Dikatakan, berulang kali Pemerintah berdalih rendahnya realisasi belanja barang dan jasa serta belanja modal disebabkan karena keterlambatan pihak ketiga menyelesaikan pekerjaan.
Sebagai solusinya, Pemerintah berulang kali sesumbar tanpa beban bahwa akan mempercepat tahap penandatanganan kontrak pekerjaan-pekerjaan konstruksi di awal tahun anggaran.
“Tetapi faktanya, realisasi belanja barang dan jasa serta belanja modal selalu di bawah 90% sehingga terpaksa dilanjutkan ke tahun anggaran berikut melalui mekanisme DPAL (Dokumen Pelaksana Anggaran Lanjutan). Sulit dibantah pula fakta bahwa keterlambatan pihak ketiga menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan konstruksi juga disebabkan karena yang bersangkutan memenangkan (dimenangkan) beberapa pekerjaan sekaligus yang melampaui kemampuannya. Kami meminta Pemerintah benar-benar memperhatikan dan mencermati apek kemampuan pihak ketiga dalam penentuan pemenang pekerjaan-pekerjaan pemerintah,” ujar politisi
Partai Solidaritas Indonesia ini.
Fraksi Demokrat, Solidaritas, Pembangunan juga menyoroti dana SILPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran, red) yang cukup besar, yang mencapai Rp 282,629 M lebih (2018: Rp.212,794 M lebih).
“Silpa ini sesungguhnya menggambarkan kekurangcermatan dalam perencanaan dan pelaksanaan yang berujung kegagalan realisasi sejumlah item Belanja Daerah, terutama dari sisi belanja langsung maupun belanja modal,” ujarnya.
Menanggapi Pendapat Akhir Fraksi DSP, Gubernur Laiskodat marah karena menganggap fraksi tersebut menuding Pemprov NTT melakukan korupsi. Ia mendesak Fraksi DSP untuk membuktikan oknum siapa yang melakukan korupsi di jajaran pemerintahan Provinsi NTT.
“Khusus dalam pemerintahan saya, jika ada yang korupsi, tunjuk di muka saya, jangan baca di podium ini, lalu tidak ada nama orang itu, kasih ke saya. Kalau dalam satu minggu ini tidak sebutkan nama, saya akan pertimbangkan untuk mengambil langah hukum,” tantangnya.
Gubernur Laiskodat menegaskan, jika dalam pemerintahannya diketahui ada aparat yang bermain-main maka akan ditindak tegas. Asalkan dugaan yang disampaikan itu benar-benar didukung dengan bukti yang akurat dan tidak memakai asumsi.
“Jangan pakai asumsi dan menduga duga. Saya minta saudara Sekda NTT untuk mempersiapkan langah-langah lain, jika tidak disebutkan siapa orangnya. Saya minta semua yang ada dalam forum ini, jika ada dugaan dimana-mana ada yang main proyek, maka perlu dievaluasi apalagi ada penyuapan seperti yang disampaikan tadi,” ujarnya.
Gubernur Laiskodat menegaskan tidak boleh dalam semangat kebersamaan, lalu mengeluarkan tuduhan tanpa ada bukti.
“Sebagai seorang politisi saya menyadari hal itu. Dan saya berdiri hari ini, saya tidak akan pernah korupsi. Saya datang untuk membangun NTT. Jadi jika ada aparatur yang melakukan korupsi, silahkan bawa namanya, saya akan pecat sekarang. Kalau mau cari uang, saya tidak datang di NTT. Saya datang untuk membangun Provinsi ini,” tegasnya dan seketika suasana di ruang sidang utama DPRD NTT itu menjadi hening.
Namun Fraksi DSP DPRD NTT menanggapi secara ‘dingin’ ancaman Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL).
“Kami tidak pernah memvonis oknum siapa pun melakukan tindakan korupsi. Kami hanya ingatkan pemerintah untuk perlu berhati-hati karena dalam mengelola pemerintahan, diperlukan konsistensi Gubernur yang nota bene harus bebas dan bersih dari KKN,” ujarnya Leonardus Lelo santai.
Menurut Lelo, kritik yang disampaikan Fraksi DSP dalam pandangan akhirnya di Rapat Paripurna DPRD tersebut tidak menuduh pejabat tertentu atau oknum tertentu di Pemprov NTT telah melakukan korupsi.
“Juga tidak menyinggung Gubernur NTT sebagai Kepala Daerah; baik secara pribadi maupun sebagai yang mewakili lembaga Pemerintahan Daerah NTT,” jelasnya.
Lelo menampik tudingan Gubernur VBL bahwa Fraksi DSP berasumsi tentang dugaan korupsi dalam Kata Akhir Fraksi-nya.
“Silahkan Gubernur mencermati Kata Akhir Fraksi kami, lalu tunjukan dimana poin yang memvonis Pemprov atau oknum di Pemprov telah melakukan korupsi? Ada di halaman berapa? Point berapa?” tanya politisi Demokrat asal Dapil 5 NTT.
Jika pihaknya terbukti memvonis pejabat/oknum tertentu di Pemprov NTT melakukan korupsi, maka pihaknya siap bertanggung jawab. Menurut Leo Lelo, sebagai seorang pemimpin, Gubernur VBL harus siap dan terbuka terhadap kritik.
“Yang namanya pemimpin itu harus menerima kritik, entah itu benar atau salah. Tidak menerima pun silahkan, itu juga kan haknya. Kalau pemimpin yang tidak mau dikritik itu namanya penguasa,” kritiknya.
// delegasi(*/tim)