Kefamenanu, Delegasi.com – Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Benny K. Harman meminta seluruh sivitas akademika Universitas Negeri Timor (UNIMOR) harus menjadi laboratorium yang bernurani untuk membantu pemerintah mengurangi masalah Human Trafficking di NTT. Karena disadari bahwa masalah human trafficking tidak terlepas dari masalah pokok yaitu masalah kemiskinan dan masalah pendidikan.
“Saya berharap kehadiran Unimor harus member dampak yang positif untuk mengurangi masalah human trafficking di wilayah ini. Unimor harus menjadi laboratorium yang bernurani membantu pemerintah dan memberi solusi terhadap masalah ini,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Benny K. Harman saat memberikan kuliah umum tentang Human Trafficking di Kampus Universitas Negeri Timor (Unimor) Kefamenanu, Jumat (2/6/2017).
Politisi Partai Demokrat yang juga bakal Calon Gubernur NTT itu menjelaskan pengiriman pekerja dari NTT ke luar negeri dilatari karena kondisi ekonomi yang secara umum tidak menguntungkan. Banyak penduduk NTT yang bekerja sebagai migrant atau TKI ke luar negeri berakar dari kemiskinan yang mendera mereka. Sebagian lainya kesulitan memenuhi kebutuhan hidup karena rendahnya tingkat pendapatan yang berdampak pada masalah masalah sosial lainya. Jalan pintasnya adalah menjadi TKI/TKW tanpa prosedural.
Oleh karena itu Benny K.Harman mengajak semua pihak, baik Universitas, LSM dan semua stakeholder untuk peduli dan mampu memberi solusi terhadap masalah kemiskinan atau kebodohan yang berdampak pada human trafficking di wilayah ini bisa di kurangi.
Perdagangan manusia (human trafficking) menurut Benny, bukan sekdedar masalah hak asasi manusia (HAM) saja, melainkan sudah disepakati sebagai kejahatan (crime) yang memerlukan kerjasama. Jaringan sekelompok orang yang memperdagangkan manusia dari dari satu wilayah negara ke wilayah negara tujuan.
Dia menjelaskan human trafficking salah satu masalah global yang banyak terjadi di Asia, Amerika Latin dan Afrika. Masalah ini dianggap sebagai bentuk perbudakan modern, karena orang yang jadi korbanya tidak sepenuhnya dimiliki seperti budak dimasa lalu, melainkan dengan cara mengendalikanya melalui berbagai bentuk ancaman kekerasan, penipuan dan penjeratan. Sejak keberadaan Liga Bangsa-bangsa (LBB) perbudakan lama sudah dihapus melalui konvensi perbudakan (slavery convention) pada 25 September 1926, Oragnisasi Buruh Internasional (ILO) juga menerima konvensi tentang kerja paksa atau wajib kerja (Convention Concerning Forced or Compulsory Labour) pada 28 Juni 1930 untuk menghapus kerja paksa.
“Selain pemerintah, dunia perguruan tinggi, LSM dan Gereja juga diharapkan memberi perhatian penuh dalam penanganan masalah human trafficking di NTT,” lanjut Benny.//delegasi (germanus/hermen)