“Praktik politik lokal di NTT saat ini menarik untuk didiskusikan. Menarik tidak saja karena dinamika politik terus menunjukan suhu panas, tetapi lebih karena kontestasi yang tidak kontestatif. Persaingan yang kontestatif mengandaikan adanya kesamaan dan kemeraataan dalam semua aspek politik. Lalu, politik berisi tentang sosialisasi jalan menuju kesejahteraan masyarakat. Karena itu, beragam modus politik yang tidak sehat sedapat mungkin disingkirkan; bila perlu dihilangkan”.
—Oleh Lasarus Jehamat,Dosen Sosiologi Fsip Undana; Peneliti Institut Sophia Kupang–
Perjalanan dinas aparat negara yang disertai dengan penggunaan fasilitas negara misalnya laik diperiksa di sana. Logika manusia awam mengatakan bahwa perjalanan seorang yang menjadi simbol negara tentu diterima secara kenegaraan pula. Dalam logika yang sama, yang didiskusikan tentu berkaitan dengan politik kenegaraan. Masalahnya menjadi lain ketika yang didiskusikan dan dibicarakan di sana ternyata bukan masalah negara tetapi soal politik. Bisa dipahami memang karena dalam waktu dekat, Manggarai Timur akan melakukan kontestasi politik. Problemnya, kalau sampai detik ini, beberapa elit tersebut masih menyandang status sebagai pejabat negara.
Tulisan ini berfokus pada keterlibatan aparat negara, polisi dan apartur sipil negara dalam politik praktis di Manggarai Timur dan wacana politik balas budi yang berkembang di sana.
Realitas Politik Lokal Matim
Pada kontestasi sebelumnya, secara geopolitik, sang wakil yang berasal dari Kecamatan Poco Ranaka berpasangan dengan bupati yang berasal dari Kecamatan Kota Komba. Rupanya dua periode menjadi alasan elemen lain meminta rakyat di Kota Komba untuk mendukung dan memilih calon tertentu sebagai Bupati Matim pada periode selanjutnya. Dua hal yang menjadi inti permohonan di sana. Pertama, meminta persetujuan sebagian masyarakat Kota Komba akan calon wakil bupati yang berasal dari Kota Komba. Kedua, soal politik ‘balas jasa’ (leko lime). Karena dulu masyarakat Poco Ranaka rela menerima kenyataan calon yang didukungnya hanya sebagai wakil bupati, maka sekarang saatnya meminta warga Kota Komba berbesar hati.
Tulisan ini ingin menjelaskan realitas pertukaran politik. Yang ingin dijelaskan adalah implikasi perilaku politik elit politik di Kabupaten Manggarai Timur yang gemar mewacanakan pertukaran dalam politik. Yang akan dibahas adalah prinsip ‘leko lime’ yang disampaikan elit politik tertentu. ‘Leko lime’ atau ‘dodo’ dalam dialek masyarakat di Manggarai Tengah berarti gotong royong. Tradisi lokal masyarakat setempat menjadikan ‘leko lime’ sebagai media untuk bekerja sama dan tolong menolong. Jika saya selama sehari bekerja di kebun tetangga maka dalam waktu berlainan tetangga dengan sukarela menolong pekerjaan saya selama seharian pula. Setara dan seimbang menjadi moral utama di sana. Itu merupakan kebiasaan lokal yang telah dilakukan secara turun temurun. Nilai dasarnya adalah membantu dan saling menolong sesama. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jika ‘leko lime’ masuk ke arena politik? Sebab, jika ‘leko lime’ di ruang sosial bermakna kerja sama dalam pengertian tanpa pamrih, di ruang politik, ‘leko lime’ bermakna kerja sama yang memiliki syarat imperatif. ‘Leko lime’ dalam politik harus disertai pamrih. Kepentingan akan kekuasaan menjadi moral utama ‘leko lime’ dalam politik.
Dari Sosial ke Politik
Politik masih menjadi medan pertempuran paling sengit para elit di ruang lokal dan nasional saat ini. Muara akhirnya jelas. Kekuasaan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kekuasaan, semua energi dikerahkan dan diarahkan untuk tujuan politik. Itulah alasan mengapa, saat ini, banyak orang menilai lalu mengatakan bahwa politik identik dengan pertukaran. Politisi yang memiliki banyak uang bisa dengan mudah membeli suara rakyat. Kasus serangan fajar yang sering terjadi di beberapa daerah dalam setiap kontestasi politik kental menunjukan bahwa pertukaran menjadi hal normal dalam politik. Itu jika pertukaran dilihat dari sisi negatif. Dari segi positif, elit politik yang dekat dengan rakyat tidak perlu bersusah payah mencari dan mendapatkan suara untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan modal kuasa kebijakan pro rakyat, politisi dengan watak demikian dengan mudah mendulang suara. Dua contoh di atas memperlihatkan bahwa uang dan suara serta kebijakan prorakyat dan suara rakyat akan saling ditukar.
Secara sosial, ‘leko lime’ bisa dijelaskan dengan menggunakan teori pertukaran. Adalah George Homans yang pertama kali mencetus teori pertukaran. Inti dasar dari teori pertukaran berada pada konsep reward (penghargaan) dan cost (biaya). Banyak proposisi dalam teori ini. Sederhananya, setiap perilaku seseorang kepada orang lain cenderung mengharapkan balasan setimpal. Dalam batasan lain, setiap orang akan selalu memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian. Orang akan melakukan suatu tindakan secara terus menerus jika mendapatkan keuntungan bagi individu yang bersangkutan. Teori ini menempatkan individu sebagai entitas yang sangat penting secara sosial.
Jika masuk ke kanal politik, setiap tindakan politik dari elit politik tentu menuntut balasan di ruang yang lain. Apa pun bentuk balasan, yang pasti elit politik menginginkan dukungan politik. Membaca perilaku politik sang wakil bupati, sulit untuk tidak mengatakan bahwa elit sering menggunakan sarana sosial dan budaya untuk tujuan politik. Di sini, pertukaran sosial berkembang ke pertukaran politik.
Merujuk pada kasus perilaku politik beberapa elit politik di Matim yang menggunakan fasilitas dan aset negara untuk menyampaikan pesan politik individu, banyak hal yang dapat dikritisi. Pertama, politik Manggarai Timur seakan berada dalam ruang geopolitik tertentu dan karena itu masyarakat harus tunduk pada logika geopolitik yang dirancang dan dikonstruksi oleh elit politik tertentu. Kedua, perilaku politik tersebut kental menunjukan bahwa tekanan dan paksaan politik kental menghiasi politik lokal Manggarai Timur. Ketiga, pada batas tertentu, demokrasi belum berkembang dengan baik dan benar di Manggarai Timur. Elit politik di Manggarai Timur menjadi aktor pertama yang menghambat perkembangan demokrasi itu. Keempat, saat elit politik melakukan kegiatan politik dalam kapasitas sebagai pejabat negara (sipil, kepolisian atau militer) maka mudah dibaca bahwa elit itu menggunakan berbagai alat negara untuk tujuan politik individu yang bersangkutan.
Empat hal di atas menjadi penting dibahas dan laik dianalisis. Sebab, sebagai orang yang masih memegang jabatan publik, elit politik yang bersangkutan seharusnya tidak berperilaku demikian. Kerja sama merupakan semangat dan roh kebersamaan masyarakat. Menjadi aneh rasanya jika elit politik meminta masyarakat Matim untuk hidup dalam sekat politik tertentu.
Gugatan kita adalah apakah politik memang menuntut balas jasa? Merujuk pada konsep ‘leko lime’, politik sebenarnya tidak bisa dipahami secara linear dan lurus. Dalam langgam yang sama, demokrasi mengandaikan adanya persaingan yang sehat antarcalon. Dengan demikian, balas jasa tidak dikenal di sana.
Sulit dibayangkan jika politik Matim dipenuhi dengan moral politik balas jasa. Yang pasti, rakyat Matim akan menanggung akibat dari perilaku elit yang terlampau mengedepankan balas jasa politik. Itu berbahaya.//delegasi(*)