“Sejujurnya, saat saya dihubungi pertama kali sehubungan dengan pencalonan saya untuk menerima penghargaan ini, saya bergumul dengan diri saya sendiri: apakah saya cukup pantas untuk menerima penghargaan internasional yang didedikasikan untuk pemimpin gereja yang besar ini? Tetapi kemudian saya memutuskan untuk menerimanya karena bagi saya penghargaan ini tidak hanya memperkuat kerja-kerja pribadi, tetapi lebih dari itu memperkuat upaya-upaya gereja kami, GMIT, yang sedang bergumul dengan banyak tantangan” Merry Kolimon
Delegasi – Ketua Majelis Sinode GMIT, Pdt. Dr.Merry Kolimon satu satunya perempuan pertama dari Indonesia yang menerima penghargaan Sylvia Michel Prize di Swiss.
Berikut sambutan Dr. Mery Kolimon saat menerima penghargaan itu, Minggu (4/3/2018).
Ini merupakan sebuah kehormatan bagi saya berada di antara saudara sekalian pada kesempatan yang luar biasa ini. Saya merasa sangat terberkati telah diundang oleh gereja-gereja Protestan di Switzerland, untuk menerima penghargaan yang sangat spesial, yang didedikasikan kepada seorang perempuan dan ibu yang luar biasa, Pdt. Sylvia-Michel, yang adalah ketua sinode perempuan pertama di Eropa.
Sejujurnya, saat saya dihubungi pertama kali sehubungan dengan pencalonan saya untuk menerima penghargaan ini, saya bergumul dengan diri saya sendiri: apakah saya cukup pantas untuk menerima penghargaan internasional yang didedikasikan untuk pemimpin gereja yang besar ini?
Tetapi kemudian saya memutuskan untuk menerimanya karena bagi saya penghargaan ini tidak hanya memperkuat kerja-kerja pribadi, tetapi lebih dari itu memperkuat upaya-upaya gereja kami, GMIT, yang sedang bergumul dengan banyak tantangan.
Tantangan itu terkait persoalan kaum termarjinal dalam konteks kami, perjuangan untuk mendapatkan kembali hak-hak dan martabat bagi masyarakat, dan perlawanan terhadap kejahatan dan ketidakadilan personal dan struktural dalam berbagai aspek kehidupan.
Penghargaan yang anda berikan ini, akan memperkuat identitas saya sebagai seorang pejuang Hak Asasi Manusia dalam gereja dan masyarakat, khususnya untuk mengadvokasi hak-hak perempuan dan anak yang rentan terhadap kemiskinan, eksploitasi dan kekerasan di konteks di mana saya berasal.
Bagi saya, penghargaan ini sesungguhnya tidak hanya diberikan kepada saya secara pribadi. Bagaimanapun, pekerjaan yang sudah saya kerjakan selama ini di tempat di mana saya berasal, saya kerjakan bersama sahabat-sahabat saya, laki-laki dan perempuan, juga suami saya. Oleh karena itu, di kesempatan yang sangat istimewa ini, saya ingin menyebut sahabat-sahabat yang membagikan visi dan semangat yang sama dengan saya, yang bahkan tak jarang mempertaruhkan hidup mereka dalam bahaya demi terciptanya belas-kasih, transformasi dan pembebasan dalam konteks sosial kami. Saya menyebut sahabat-sahabat saya di Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) yang bersama-sama dengan mereka, saya mengerjakan penelitian dan publikasi terhadap isu-isu sensitif di sekitar tema perempuan, budaya dan agama. Saya juga menyebut sahabat-sahabat, dosen dan mahasiswa, di Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang tempat di mana saya mengajar; saya menyebut sahabat-sahabat saya di sinode GMIT yang telah berusaha dengan mengerahkan kemampuan terbaik mereka untuk menampilkan pelayanan gereja yang “out of the box” dari pemahaman tradisional terkait hakikat dan misi gereja; saya juga menyebut sahabat-sahabat dalam gerakan ekumenis, gerakan lintas iman, dan gerakan sosial kemasyarakatan yang lebih luas di Indonesia.
Mereka ini tidak takut untuk menyampaikan ide, pendapat dan aksi menuju sebuah transformasi.
Hari ini, saya berdiri di hadapan saudara dan saudariku gereja-gereja Protestan di Switzerland dan saya tahu bahwa saya sesungguhnya sedang berdiri pada tahap penting dalam kehidupan saya. Saya dapat berdiri di sini, pertama-tama hanya oleh anugerah Allah. Hanya anugerah Allah semata yang memampukan saya dan saudara-saudari saya di Timor untuk berjuang bersama memberdayakan perempuan dan anak-anak yang berada dalam situasi yang sulit, dan perjuangan itu kemudian juga diakui dalam lingkaran ekumenis internasional.
Sebagai ketua sinode, saya memimpin gereja bersama-sama dengan kawan-kawanku Majelis Sinode Harian yang lain: tiga perempuan dan seorang laki-laki. Gereja kami memiliki lebih dari 2000 jemaat di 46 klasis yang dilayani oleh sekitar 1.300 pendeta di Propinsi Nusa Tenggara Timur yang termasuk dalam kepulauan Indonesia. Propinsi kami, ditandai dengan kemiskinan, gizi buruk, perdagangan orang, kerentanan terhadap konflik yang sangat mudah digerakkan dalam konteks multikultural dan multireligius. Menjadi ketua sinode dalam konteks saya berarti melakukan banyak kunjungan, yang dekat maupun jauh, menggunakan pesawat, kapal laut, mobil, bahkan sepeda motor atau berjalan kaki. Menjadi ketua sinode itu juga berarti melakukan banyak percakapan, memediasi dan mengupayakan perdamaian; mendorong gereja untuk tidak hanya berpikir tentang dirinya sendiri tetapi melihat melihat jalan-jalan untuk dapat menjadi berkat dalam pergumulan kehidupan manusia dan alam; itu berarti pula terlibat dalam pertemuan dan percakapan publik demi perjuangan bagi perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan.
Saya dilahirkan dan dibesarkan oleh orangtua yang sederhana. Ibu saya, meninggal tahun 2007, adalah anak perempuan yang cerdas di masa kecilnya. Ketika ibu saya berumur 2 tahun, ayahnya meninggal dunia. Nenek saya, tanpa penghasilan yang tetap harus membesarkan empat orang anaknya sendiri. Nenek saya memutuskan untuk hanya menyekolahkan dua orang anak laki-lakinya ke pendidikan lanjutan. Ibu saya dan saudara perempuannya hanya mendapat kesempatan untuk sekolah hingga SD. Ibu saya dan kakak perempuannya harus bekerja keras setiap hari untuk menanam sayur dan menjualnya ke pasar untuk mendukung biaya sekolah saudara laki-lakinya. Ibu saya kemudian, di usia yang sangat muda, berjanji pada dirinya jika suatu saat nanti mempunya anak, ia akan bekerja sangat keras untuk memastikan semua anak baik perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi.
Saya sangat beruntung karena ayah saya, yang meninggal pada tahun 2012 mempunyai penghasilan sebagai seorang polisi dan ibu saya berkomitmen untuk hidup sangat sederhana untuk memastikan bahwa saya dan saudara-saudari saya memperoleh kesempatan untuk bersekolah. Sayangnya, tidak semua anak-anak di Timor memperoleh kesempatan seperti yang saya dapatkan, bahkan hingga hari ini banyak anak-anak dan perempuan Timor yang harus berjuang untuk memperoleh akses terhadap pendidikan yang baik, kesehaan dan ekonomi. Banyak dari mereka yang meninggalkan kampungnya, meninggalkan pulaunya, bahkan pergi ke luar negeri untuk mencari pekerjaan sebagai pekerja migran, tanpa pendidikan dan keahlian yang cukup. Karenanya, mereka sangat rentan terjebak dalam jaringan perdagangan orang yang kejam.
Sebagai orang yang memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dan kemudian ditahbis sebagai seorang pendeta, bahkan memperoleh kesempatan untuk belajar ke luar negeri, saya menerima warisan spirit dari ibu saya untuk mendedikasikan diri saya untuk melakukan pendampingan kepada perempuan dan laki-laki yang rentan dalam konteks saya. Mungkin saudara-saudari juga ketahui bahwa kehidupan sosial di konteks saya sesungguhnya adalah kehidupan sosial yang masih terluka akibat kekerasan anti-komunis yang muncul pada tahun 1965-1966. Trauma kolektif itu masih tetap ada di sana. Warisan impunitas masih sangat kuat, bahkan dalam gereja. Dalam keadaan inilah saya melihat, tugas saya adalah mengajak para anggota dan pemimpin gereja untuk merefleksikan isu-isu tersebut dan mengambil aksi untuk transformasi dan pembebasan.
Saya ingin mendedikasikan penghargaan ini pertama-tama untuk ibu saya. Sebenarnya saya sangat berharap dia masih hidup sehingga dia dapat melihat saya berdiri di hadapan saudara-saudari sekalian sambil terus membawa ke masa depan warisan perjuangan dan pemberdayaannya. Saya juga mendedikasikan penghargaan ini untuk para perempuan di Flobamora (Flores, Sabu, Timor, Rote dan Alor) yang bekerja sangat keras untuk memastikan anak-anaknya memperoleh akses pendidikan. Saya dedikasikan penghargaan ini kepada anak-anak saya, Rulien, Meriana dan Alberd, dan untuk semua anak di Timor untuk menginspirasi mereka supaya mempunyai mimpi dan berjuang agar mimpi mereka menjadi nyata. Saya juga mendedikasikan penghargaan ini kepada kelompok dan komunitas rentan yang sedang berjuang untuk hak-hak mereka—korban perdagangan orang, orang dengan HIV/AIDS, korban dan penyintas ketidakadilan politik dan impunitas, dan kepada mereka yang menderita karena identitas gender dan orientasi seksual. Saya dedikasikan penghargaan ini kepada mereka yang berjuang untuk terbebas dari diskriminasi dan kekerasan, dan untuk semua yang sedang berjuang untuk kesetaraan dan keadilan.
Saya tidak tahu ke mana hidup akan menuntun saya setelah ini. Di negara seperti Indonesia, di mana kami juga sedang berjuang dengan isu radikalisme agama serta ketidakstabilan politik dan ekonomi, upaya-upaya kami untuk selalu berada di sisi komunitas termarginal, mungkin akan membuat kami berada dalam resiko. Bagaimanapun juga dalam setiap situasi, kita tidak boleh kehilangan pengharapan dan visi kerajaan Allah yang ditandai dengan keadilan, damai, kesetaraan dan keutuhan ciptaan.
Mari kita berdoa agar gereja-gereja di seluruh dunia tidak kehilangan iman, harapan, dan belas kasih untuk berjuang demi kebenaran dan keadilan; untuk juga mendukung satu dengan yang lain demi berpartisipasi dalam misi Allah.
Terimakasih banyak telah memberikan penghargaan ini kepada saya dan kepada gereja saya. Terimakasih banyak juga telah menjadi tuan dan nyonya rumah dan menjamu saya selama beberapa hari ini. Saya saya menikmati negerimu yang cantik ini, keramahtamahanmu yang luar biasa, dan saya belajar dari konteksmu. Saya sangat mengapresiasi penghargaan ini sebagai suatu cara menghargai pekerjaan-pekerjaan baik yang telah dikerjakan sebelumnya, seperti halnya pekerjaan yang telah dikerjakan oleh Silvia Michel dan perempuan-perempuan hebat lainnya dalam sejarah dunia. Penghargaan ini juga merupakan salah satu jalan untuk mendukung dan mendorong pekerjaan-pekerjaan baik yang sedang dimulai dan dikerjakan di seluruh dunia. Ini adalah salah satu cara gereja di seluruh dunia saling mendukung satu dengan lain untuk terlibat dalam misi Allah dari generasi ke generasi. Saya berdoa, kiranya Allah selalu memberkati saudara-saudari di negeri yang indah ini, khususnya ketika sebagai gereja, kalian bergumul dengan dampak sekularisasi dan berjuang untuk pelayanan perempuan yang efektif dalam kepermimpinan gereja dan masyarakat. Kiranya Anugerah Allah menyertai seluruh ciptaanNya, sekarang dan selamanya. //delegasi(*)