“Nama-nama perempuan ini adalah nama perempuan yang dibiarkan mati. Mereka bukanlah segelintir. Mereka adalah bagian dari rombongan. Mereka adalah yang beruntung untuk disebut dan kematiannya dibakar lilin. Yang lain tenggelam dan hilang begitu saja, dan kematiannya hanya menjadi milik keluarga mereka”
Delegasi.com – Sebagian bahkan nyaris tak ada kabar, kuburan pun tak ada nisan.
Raga mereka mati dan dilupakan begitu saja dalam perjuangan gigih untuk bebas dari kemiskinan. Mereka bukan hanya sekelumit dari pasar, mereka adalah bagian dari tubuh republik yang harus diperjuangkan. Republik tiada guna jika tak mampu melindungi bagian dari tubuhnya. Karena mereka jelas bukan pergi bertamasya. Mereka adalah bagian dari skema circular migration, para perantau yang diharapkan mengirimkan uang ke kampung halaman dan mengosongkan kemiskinan. Keluarga mereka tidak pernah berharap jenasahlah yang dikirim pulang. Apalagi dengan cerita disiksa tidur bersama anjing dan dibiarkan lukanya menganga.
Nasionalisme sempit?
Kabar datang dari Malaysia, dari Rusdi Kirana, Duta Besar Indonesia di negeri jiran. Ia mengusulkan agar pemerintah RI melakukan moratorium pengiriman tenaga kerja ke Malaysia. Langkah ini bisa dianggap tepat. Sudah saatnya pemerintah Indonesia memiliki posisi tawar terhadap pemerintah Malaysia. Pandangan kontra pasti ada. Namun sudah saatnya negara ada melindungi yang kecil. Tak disangka pikiran negarawan muncul dari Rusdi Kirana, seorang pedagang pemilik sekian ribu armada pesawat. Ia ternyata paham bagaimana memperlakukan warga negara. Raga mereka sejatinya raga dan wilayah republik yang wajib diperjuangkan
Apakah langkah Rusdi Kirana adalah bagian dari upaya membangkitkan nasionalisme sempit? Jelas bukan. Persoalan tata kelola ketenagakerjaan tidak hanya terletak di ujung, di Malaysia. Masalah besar menganga di Indonesia. Contohnya Adelina berasal dari pedalaman Timor, NTT tetapi paspornya terbit di Blitar, Jawa Timur. Upaya penunggalan data memang masih gagal, bahkan mimpi e-KTP pun kini dituturkan ulang oleh KPK.
Seorang kawan yang juga aktivis pembela buruh pernah saya tanya,
“Apakah engkau kalau diminta jadi Menakertrans akan mampu menyelesaikan persoalan?”
Ia menggeleng. Menjawab ‘tidak sanggup’. Banyaknya persoalan membuat solusi berbasis hak (right) warga negara sering kali dianggap bukanlah sebuah pilihan, karena tekanan pasar jauh lebih dominan.
Pasar dianggap mampu menemukan keseimbangannya sendiri.
Nyatanya ia selalu mengorbankan yang kecil, yang buta huruf, yang tak mampu keluar dari halaman majikannya untuk sekedar ‘minta tolong, saya disiksa mau mati’. Menderita dan diam memang tidak bisa dimengerti oleh mereka yang rasa manusianya hilang, dan sudah mengaku kalah.
Orang miskin dan warga negara
Sering kali ketika moratorium dihentikan atau coba untuk ditawarkan, ada sebagian yang berujar mengapa orang miskin yang dihukum dengan keputusan ini. Jawabannya cuma satu.
Ketika kita keluar sebagai Negara (State) itu bukan lagi soal orang miskin. Orang berkasta. Ia adalah warga negara Republik Indonesia.
Bisa dibayangkan ‘gilanya’ Presiden AS jika ada warga negara AS yang sakit dan dibiarkan tinggal bersama anjing yang kemudian mati.
Tetapi ini bukan hanya persoalan antara kita, Indonesia, dengan negara lain. Ini persoalan kita dengan para penjahat, mafia yang menguasai rantai perdagangan orang di dalam negeri sendiri.
Contoh mafia terselubung yang berkuasa atas insitusi kenegaraan adalah mafia yang mampu mendiamkan kasus perdagangan orang di Medan. Kasus itu menyebabkan dua orang perempuan mati. Rista Botha dan Marni Baun yang dikurung selama 4 tahun layaknya burung di Medan.
Mereka berdua mati di Bulan Februari tahun 2014. Seluruh dokumen mereka sudah saya serahkan kepada Presiden Jokowi, ketika diundang ke istana untuk menyampaikan persoalan. Sayangnya, jangankan keadilan, BAP-nya pun tidak pernah jadi.
Tahun lalu, seorang peneliti dari UGM datang ke Kupang (NTT) untuk berdiskusi soal undang-undang perlindungan asisten rumah tangga.
Disebut asisten agar mereka diperlakukan dengan layak bukan dijadikan babu yang segala suka bisa diperintah tanpa belas kasih. Setelah diskusi, ia berujar di tempat yang sama sempat digali dan ditemukan tulang belulang manusia lain yang dikuburkan di pabrik sarang burung walet (yanwo dalam Bahasa Mandarin). Jadi bukan cuma Rista dan Marni.
Masih ada lain yang tak bernama. Mohar si pedagang sarang burung walet yang tinggal di Jalan Brigjen Katamso bebas.
Tak hanya itu polisi, si serse yang mengurus kasus ini juga sudah jadi pejabat di ibukota. Seluruh dokumen ini ada di tangan Jokowi.
Semoga beliau ingat. Jika telah hilang, kami bersedia kirim ulang.
Jika hingga kini kasus ini tidak memberikan rasa keadilan untuk puluhan warga maka itu bukan lah salah Jokowi.
Ia hanya bagian dari sistem yang buruk, dan jelas ia tak mampu merubahnya seorang diri.
Ia juga tak punya daya mengontrol Kapolri untuk mengontrol anak buahnya membuatkan BAP untuk perempuan-perempuan yang mati. Ini bukan negeri jiran, ini Medan Bung!
Negara adalah kita
Upaya untuk membuka kasus perdagangan orang di Indonesia tidak mungkin hanya jadi bahan obrolan omong kosong para pejabat.
Tidak perlu pakai kemeja putih sebagai simbol kesucian jika kalian para pejabat tidak mampu menjaga martabat kemanusiaan.
Sederhana itu penting, tetapi kita harus punya prinsip.
Warga negara kita bukan anjing dan burung.
Kasus-kasus perdagangan orang perlu dibuka hingga tuntas.
Sayangnya dengan pemahaman perdagangan orang hanya dalam hukum administrasi negara, maka logika perdagangan orang tidak akan mungkin tersentuh.
Undang-undang tindak pidana perdagangan orang yang dibikin sejak tahun 2007 tidak cukup untuk disosialisasikan kepada polisi, jaksa, dan hakim.
Di NTT contohnya di tahun 2017. Seorang hakim yang terhormat melepaskan bandar besar perdagangan orang bernama Diana Aman alias Diana Tjia.
Hingga hari ini bandar itu hilang. Seorang serse di Mabes Polri yang sempat kami temui begitu herannya dan ia bertanya ‘Mengapa seorang bandar besar bisa dilepaskan hilang begitu saja padahal untuk menangkapnya telah habis ratusan juta rupiah?’
Hingga kini human traffickingdianggap tidak lebih penting dari drug trafficking. Manusia yang dijadikan anjing dan burung dianggap tidak lebih penting daripada obat-obatan pembius.
Antara logika dan prioritas memang selalu ada jeda.
Andaikan mereka paham, para para babinsa di desa-desa kita juga bisa membantu mendeteksi jaringan perdagangan orang.
Persoalan perdagangan orang memang bagian dari jenis kriminalitas jaringan terkini.
Sel-nya mirip jaringan teroris dan narkoba. Yang namanya jaringan memang sulit terdeteksi, karena ia beradaptasi dengan baik dengan realitas virtual.
Namun, setiap jaringan terdapatlah ujung. Jika ada ujung dibuka jangan lah dilepas, jika ketika diurut di kepalanya kita temukan pejabat penghianat kemanusiaan.
Itu yang sulit.
Kencing, uang, dan hukum
Kasus Diana Aman seorang pelaku perdagangan orang yang menyebabkan kematian Yufrinda Selan masih menggantung.
Seluruh pelakunya terancam bebas. Diana Aman kata penyidik polisi yang mengutip pengakuan para korban yang dikurungnya di Boyolali, Jawa Tengah adalah pemain lama yang suka menyogok. Kabar ia menyogok para penegak hukum dari ratusan juta rupiah hingga milyar rupiah beredar di Kupang.
Sayang KPK belum sampai di sini. Masih sibuk urus Pilkada dan politisi semata.
Diana Aman menurut kabar burung sudah beredar di RRC.
Kabar jelasnya tidak ada yang tahu. Tuntutan masyarakat sipil yang meminta agar Kapolda NTT di tahun 2017 untuk bergerak menangkap tidak berujung hasil.
Kapolda diam seribu bahasa, dan pindah ke Jakarta tanpa rasa sesal.
Diana Aman menurut penyidik Mabes Polri itu jika marah kepada para calon TKI asal NTT itu yang bertanya dan meminta haknya, ia kencing dan memintanya agar mereka minum air kencingnya.
Cerita semacam ini tidak lantas membuat para aparat penegak hukum bergerak mencari Diana. Sebaliknya mereka diam seribu bahasa.
Hakim dan Jaksa seolah sepakat diam. Pihak kepolisian yang diam berdalih bahwa ‘tidak ada permintaan untuk mencari Diana’.
Padahal petisi warga sudah dimuat di Koran. Kapolda NTT punya wewenang meminta bantuan Mabes Polri. Itu pun tidak dibikin.
Jadi kalau Rusdi Kirana meminta agar moratorium itu dijalankan itu bukan untuk menghukum Malaysia, atau pun sekedar mencari sentimen chauvinistik.
Tetapi kita diminta untuk berpikir ulang dan bertanya mengapa para perempuan kita dibiarkan tidur dengan anjing, disuruh tidur di lantai tiga seperti burung, dan diminumkan air kencing ketika mengeluh. Moratorium ini bukan hanya untuk Malaysia dan juga untuk negara-negara di Timur Tengah, tetapi harus dijalankan di negeri kita sendiri.
Moratorium perdagangan orang.
Ini bukan soal presidennya siapa. Ini bukan soal cebong atau micin.
Ini soal akal sehat. Sampai kapan kita mau membiarkan kita dipermainkan pasar–dan juga perasaan saling menyalahkan tanpa ujung pangkal? Sampai kapan para pejabat kita membiarkan yang kecil diperas, dibiarkan mati, dan diminumkan air kencing? Batas negara memang makin tipis dengan semakin lancar dengan naik drastis volume penerbangan sejak 2002, teknologi informasi yang membuat kita seolah berjarak, dan sekian skema penyatuan pasar dan deregulasi kawasan.
Tetapi, negara harus tetap ada. Negara adalah kita. Keliru kita anggap bahwa presiden, gubernur, adalah penentu segala sesuatu.
Mereka penting, mereka kepala dan pejabat negara, tetapi lebih penting lagi adalah kita warga negara. Warga negara yang bersatu dan tidak tidur dalam ilusi, pasti bisa membedakan mana teror, mana manusia. Mana pejabat, mana penjahat.
Ini bukan soal negara siapa, tetapi ada negara atau tidak.
Moratorium adalah sebagian penanda bahwa negara tidak boleh kalah–oleh pasar maupun teror.//delegasi(sumber: IRGCS)