Hukrim  

Ahli Perbankan: Pihak Ketiga Tidak Bisa Dipidana Karena Kredit Macet Debitur Bank

Avatar photo

KUPANG, DELEGASI.COM- PIHAK ketiga/pihak lain, baik rekan bisnis maupun pihak keluarga tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya atas kredit macet seorang debitur. Karena itu, pihak ketiga/pihak lain yang tidak menandatangani kontrak (sebagai debitur, red) tidak dapat diproses hukum pidana (hukum perbankan, red) maupun pidana korupsi.

Demikian dikemukakan Ahli Perbankan, Dr. Prawitra Thalib, SH, MH dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dalam sidang kasus kredit macet Bank NTT dengan terdakwa Yohanes Sulayman dan Stefanus Sulayman dengan agenda mendengarkan keterangan Saksi Ahli Perbankan.  Sidang tersebut dipimpin Ketua Majelis Hakim Dju Johnson Mira Manggi, SH, M.Hum didampingi anggota Majelis Hakim Ali Muhtarom, SH, MH dan Ari Prabowo, SH di Pengadilan Tipikor Kupang, Kamis (5/11/20). Dalam sidang yang berlangsung sejak Pukul 15.00 Wita hingga Pukul 21.00 Wita (jam 9 malam) tersebut, hadir juga Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU), Hendrik Tiip dan Heri Franklin serta Maria dalam sidang tersebut.

Baca Juga :

Satu Lagi Tersangka Kasus Kredit Macet Bank NTT Diciduk Jaksa

Kejati NTT Sita Rp 9,5 Miliar Kasus Kredit Macet Bank NTT Cabang Surabaya

Menurut Ahli Perbankan Prawitra, seorang debitur apalagi pihak lain (rekan bisnis/keluarga, red) tidak dapat pidana, apalagi diproses dalam pidana korupsi karena kredit macet adalah masalah perdata. “Ketika debitur (penerima kredit) mengikat perjanjian dengan kreditur (bank), maka yang terikat kewajiban dan tanggungjawab dalam perjanjian tersebut adalah debitur dan bank. Tidak bisa orang di luar pihak-pihak pembuat perjanjian (debitur dan bank, red) tersebut, baik rekan bisnis/keluarga dimintai tanggungjawabnya untuk membayar  kredit,” tegasnya berulangkali menjawab pertanyaan Tim Kuasa Hukum Hukum Yohanes Sulayman dan Stefanus Sulayman dari Kantor Hukum Amos H.Z. Taka & Associates (Amos H.Z Taka, SH, MH, Dr. Melkianus Ndaomanu, SH, M.Hum, Chindra Adiano, SH, MH, CLA, Nurmawan Wahyudi, SH, MH).

Lebih lanjut Doktor Ilmu Hukum Perbankan itu menegaskan pendapatnya terkait status terdakwa Stefanus Sulayman (penjual aset, red) dengan sebuah ilustrasi jelas dan tegas. “Si ‘A’ (yang adalah rekan kerja/keluarga debitur, red) tidak bisa dituntut ikut bertanggungjawab mengembalikan kredit si ‘B’ kepada sebuah bank,” ujarnya menjawab pertanyaan Kuasa Hukum, Chindra Adiano.

Hal yang sama kembali ditegaskan oleh Ahli Perbankan, Prawitra saat ditanya oleh Anggota Tim Kuasa Hukum Nurmawan Wahyudi tentang apakah seorang penjual aset dapat dipidana karena debitur membayar aset kepadanya dengan menggunakan uang dari kredit bank (yang diproses secara benar dan layak, red). “Si ‘A’ (penjual aset, red) tidak bisa dipidana sekalipun ‘B’ selaku sang debitur membayar barang yang dibeli dari si ‘B’  dengan menggunakan aliran uang kredit dari bank. Alasannya, yang membuat perjanjian kredit ialah si ‘B’ dengan bank, dan bukan ‘A’. Hubungan kerja/keluarga antara A dan B di luar perjanjian kredit antara A dan bank,” ujarnya memberikan ilustrasi.

Baca Juga:

Deputi Kemenko Maritim dan Investasi Jajaki Sejumlah Project Pembangunan di Flotim

Lurah Liliba Dukung Pemkot Kupang Kaji Kembali Pelaksanaan Pesta Dimasa Pandemi COVID19

Prawitra kembali memberikan ilustrasi untuk menegaskan kembali pernyataannya saat menjawab pertanyaan Anggota Tim Kuasa Hukum Melkianus Ndaomanu tentang apakah seorang penjual aset perlu mengetahui asal dari uang yang dipakai untuk membeli aset yang akan diagunkan ke bank. “Ilustrasinya begini, apakah seorang penjual rokok akan menanyakan kepada pembeli rokok darimana asal uang yang dipakai untuk membeli rokok?  Bisa marah pembelinya. Kalau bank yang menanyakan asal uang kepada nasabah yang menyimpan uang dalam jumlah besar boleh karena ada aturannya.  Tapi kalau antara perorangan/swasta tidak perlu ditanyakan asal uangnya darimana,” tandas Prawitra.

Prawitra juga mengatakan, proses hukum pidana korupsi terhadap debitur karena kredit macet merupakan sebuah penghinaan terhadap undang-undang nomor 4 tahun 1996 pasal 6 tentang eksekusi Hak Tanggungan (HT) sebagai jaminan kredit.  “Jika itu yang terjadi, maka saya sangat sayangkan. Ke depan orang tidak akan mau lagi percaya kepada bank milik pemerintah (Bank NTT, red). Kenapa? Karena kalau pinjam uang disana (di Bank NTT), lalu tiba-tiba macet bisa dituduh korupsi,” tegasnya.

Menurut Dr. Prawitra Thalib, seharusnya pihak bank paham maksud dan tujuan dari Hak Tanggungan yang dijaminkan sang debitur sehingga kemudian tidak keliru mempidanakan debitur untuk suatu persoalan yang sebenarnya itu ranah perdata. “Apalah arti mengikat sebuah Hak Tanggungan yang mahal-mahal dengan membayar notaris yang mahal-mahal jika hak tanggungan itu tidak ada fungsinya (tidak dilihat dan diakui bank sebagai jaminan untuk mengganti kredit macet, red),” kritiknya.

Menurutnya proses hukum pidana korupsi terhadap debitur merupakan kekeliruan fatal karena bisa berakibat hengkangnya para nasabah. Karena nasabah akan berpikir, kalau kredit di bank pemerintah akan masuk penjara jika kreditnya macet di kemudian hari.

“Dengan begitu, Bank pemerintah itu kemudian hanya bisa menjadi semacam bank untuk simpanan saja.  Penyaluran kreditnya tidak mencapai target karena orang takut kredit. Untuk kredit, orang larinya ke bank swasta karena kalau gagal bayar, maka konsekuensinya eksekusi jaminan. Bahkan ke depan bank tersebut bisa saja tidak mendapatkan kepercayaan untuk tambahan finansial,” tandas Prawitra.

Prawitra memaparkan, ketika terjadi kredit macet (status collect 5, red), maka yang harus dilakukan oleh bank selaku pemegang hak pengikat pertama adalah mengeksekusi atau mengambilalih hak tanggungan debitur. “Bank dalam konteks ini tidak punya kewajiban untuk memanggil debitur guna melakukan evaluasi lagi, kecuali itu baru di collect 1 dan callect 2.  Walau demikian, bank tetap memberitahukan tentang hak eksekusi kepada debitur,” urainya.

Prawitra menambahkan bahwa jika status kredit itu baru di level collect satu, maka debitur dipanggil/diberitahukan untuk melaksanakan kewajibanya, karena menurutnya ketika diberitahukan, maka debitur akan melakukan banyak upaya untuk menuntaskan semua kewajibannya kepada bank. “Jika pada akhirnya debitur tidak punya cara lain lagi dalam arti tidak mampu bayar ya hak tanggungannya dieksekusi,” ujarnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Ahli Hukum Pidana Korupsi Dr. Bambang Suheryadi, SH, M.Hum pada sidang yang sama, mengatakan, Kasus Kredit macet di Bank Pembangunan Daerah (BPD) NTT alias Bank NTT merupakan masalah perdata sehingga tidak dapat dipidana (dengan Undang-Undang Perbankan, red), apalagi diproses dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor).

“Kalau permohonan kredit diajukan sesuai SOP, agunan ada dan dinilai dengan benar, kredit dicairkan, tapi kemudian macet. Itu tidak bisa diproses pidana. Kalau saya sepanjang sejak awal tidak ada unsur kesengajaan/niat (fraud/kecurangan perbankan, red) untuk memperkaya diri yang melawan hukum dan merugikan negara tidak bisa dipidana,” ujarnya.

Dr. Bambang Suheryadi, SH, M.Hum berulangkali menegaskan bahwa perikatan/perjanjian kredit antara kreditur (bank) dan debitur (nasabah) merupakan perbuatan keperdataan, sehingga apabila terjadi wanprestasi (ingkar yang dilakukan oleh salah satu pihak, red) maka penyelesaiannya harus ditempuh dengan upaya hukum keperdataan (sesuai perjanjian/perikatan/kontrak) yang telah disepakati dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.

“Jika proses kredit, sejak permohonan kredit, pengajuan agunan, analisis kredit, hinggga pencairan kredit dilakukan secara benar sesuai SOP (Standar Operasi dan Prosedur, red) dan kemudian hari kredit tersebut macet maka pihak-pihak yang terkait tidak bisa dipidana. Penyelesaiannya tetap dilakukan secara perdata, yakni melelang jaminan/agunan yang sebelumnya telah diikat hak tanggungannya secara sempurna,” jelasnya.

Seperti diberitakan berbagai media sebelumnya, YS dan SS ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT bersama beberapa tersangka lainnya dalam kasus kredit macet Bank NTT Cabang Surabaya total kredit sekitar Rp 130 Milyar.

Berdasarkan fakta persidangan, YS adalah salah satu debitur Bank NTT yang kreditnya dalam restrukturisasi/penjadwalan ulang kredit.  Sedangkan SS adalah seorang pelaku jual beli aset yang tidak terlibat dalam kredit macet saudaranya, YS. Namun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), YS dan SS didakwa melakukan tindak pidana korupsi sesuai Pasal 2 dan 3 serta Pasal 18 UU Tipikor, dan Pasal 55 KUHP.

//delegsi(*/tim)

Komentar ANDA?