Kupang, Delegasi.Com – Aliansi Mahasiswa Sumba Barat menilai, Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat tidak konsisten dan secara sepihak memutuskan tapal batas perbatasan Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Barat Daya.
Demikian Koordinat Aliansi Mahasiswa Sumba Barat Herman Unu saat rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPRD NTT di Kupang, Jumat(26/7/2029).
Ada dua organisasi mahasiswa yang tergabung dalam aliansi itu yaitu Himpunan Pemuda dan Mahasiswa Asal Laboya Barat, Sumba Barat (HIPMALBAR) dan Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Laboya, Sumba Barat (IPMALAYA).
“Kami mempertanyakan sikap Gubernur NTT terkait penetapan tapal batas tersebut yang terkesan sepihak. Hal ini disebabkan karena sejak Zaman Swapraja Laboya dan Swapraja Kodi, UU Pemendagri No. 16 Tahun 2007 tentang pembentukan Kabupaten Sumba Barat Daya, hingga keputusan Gubernur termuat dalam berita acara pada tanggal 27 Februari 2019 di Labuan Bajo sudah melahirkan keputusan bahwa tapal batas ada di Kali Pola Pare,” kata Hermen Nunu.
Selanjutnya dikatakan, Gubernur NTT tidak konsisten atas keputusannya, sehingga pada Tanggal 20 Juni 2019, gubernur menetapkan batas yang baru, yaitu sejauh 2 Km kearah wilayah Sumba Barat dari batas sebelumnya yaitu Kali Pola Pare.
Aliansi mengambil sikap menuntut Gubernur agar tapal batas Sumba Barat dan Sumba Barat Daya di segmen selatan dikembalikan seperti semula, yaitu di Kali Pola Pare. Terkait dengan Desa Karang Indah yang menyatakan diri untuk memilih bergabung di Sumba Barat Daya, tidak dipermasalahkan.
Sementara Kabag Dinas Pengelola Perbatasan, Linus Lusi Making mengatakan pada prinsipnya pemerintah tak akan membiarkn masalah tapal batas menggantung.
“Kami pemerintah tidak ingin menggantung-gantungkan konflik yang ada tanpa ada penyelesaian, kami pemerintah menjamin bahwa tidak akan terjadi konflik ditengah masyarakat pasca keputusan Gubernur.”
Pihak Dinas Pengelola Perbatasan dalam mewakili pemerintah Provinsi NTT, berkeyakinan bahwa keputusan Gubernur tentang pengembalian Desa Karang Indah kepada SBD dan penetapan tapal batas ini tidak menghilangkan hak-hak masyarakat Sumba Barat atas tanah tersebut, seperti hak mengelola, hak-hak komunal masyarakat adat dan lain sebagainya.
“Jadi, ini hanya masalah wilayah administrasi pemerintah tanpa mencampuri hak-hak warga atas tanah yang mendiami tanah tersebut,” Imbuh Linus Lusi Making dalam menyampaikan pandangan Badan Pengelola Perbatasan mewakili pemerintah Provinsi NTT dalam Rapat Dengar Pendapat tersebut
Komisi 1 DPRD Provinsi NTT menyarankan, agar pihak pemerintah kembali turun ke lapangan dan mengkaji ulang melalui regulasi dan mekanisme yang ada untuk menyelesaikan masalah tapal batas ini. Hal ini dikarenakan, ternyata pasca keputusan gubernur terkait tapal batas masih menyisakan masalah diantara masyarakat. DPRD Provinsi NTT Komisi 1 berkeinginan untuk menyelesaikan masalah tanpa ada lagi masalah.
DPRD NTT juga menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan keluh kesah warga Sumba Barat, khususnya di Desa Weetana dan Desa Gaura. Hal ini disebabkan karena masyarakat berpikir bahwa masalah batas wilayah administrasi pemerintahan akan menentukan batas kepemilikan tanah antara masyarakat Wetana dan Gaura di Sumba Barat dengan masyarakat Desa Karang Indah di Sumba Barat Daya.
//delegasi (hermen)