Oleh Febri Edo
Jurnalis
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, (KBBI), Ad hominem (yang berarti “tertuju pada pribadi atau karakter seseorang”), merupakan singkatan dari argumentum ad hominem. Adalah upaya untuk menyerang kebenaran suatu klaim dengan menunjuk sifat negatif orang yang mendukung klaim tersebut.[1] Penalaran ad hominem biasanya dipandang sebagai kesesatan logika.[2][3][4]
Benny K. Harman, adalah angota Fraksi Partai Demokrat DPR RI dari daerah pemilihan NTT. Saat ini BKH, demikian Benny K.Harman disapa telah memasuki tiga periode menjadi anggota DPR RI. Tiga Periode berturut-turut bukanlah, sesuatu yang mudah baginya menduduki kursi DPRI. Karena atas kepercayaan masyarakat NTT sekaligus kepedulianya terhadap rakyat NTT. Terpilihnya BKH tiga periode menjadi Dewan, bukanlah tanpa alasan. Ini berarti roh demokrasi adalah hakekat nurani rakyat.
Publik NTT kini sedang tertuju pada hajatan politik suksesi pemilihan kepala daerah (Pilgub) 2018 mendatang. Bagi BKH momentum ini merupakan kesempatan berharga jika beliau telibat dalam pesta demokrasi lima tahunan itu sebagai calon gubernur. Setidaknya ini yang dinantikan dan menjadi harapan seluruh rakyat NTT. Sebab jika dilihat dari track record, integritas, kapibilitas yang dimiliki, sosok BKH sudah teruji dan beliau sangat layak untuk dicalonkan.
Dalam bidang hukum, sosok beliau suda tak asing. BKH salah satu tokoh pejuang hukum dan konstitusi serta tokoh pejuang masalah HAM di negeri ini.
Sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR RI yang membidangi masalah Hukum dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai mitra kerja, sikap beliau sangat konsisten memperkuat institusi KPK terutama, UU KPK maupun memperjelas fungsi KPK (makna dari kolektif kolegial, untuk memperkuat KPK).
Dibalik sikapnya yang tegas dan konsisten terhadp sebuah perjuangan, publik seakan didokrin dengan argumentum ad populum. Public selalu memandang dari sisi yang lain terhadap sosok BKH. Publik membandingkan identitas k BKH sebagai dan anggota DPR maupun sebagai kader Partai Demokrat. Tentu kita harus membedakan mana argumentum ad homin dan mana argumentum ad populum.
Menurut KBBI Argumentum ad populum (Latin untuk “menanyakan pendapat kepada rakyat”) dalam teori argumentasi, adalah suatu argumen yang keliru. Yangmenympulkan bahwa suatu proposisi itu benar karena dipercayai oleh banyak atau kebanyakan orang. Dengan kata lain, ide dasar dari argumen adalah: “Jika banyak yang percaya hal itu, maka hal itu adalah benar.”
Bukan itu yang mau dibahas di sini. Bukan soal Partai Demokrat ataupun anggota DPR RI. Namun yang lebih penting adalah sosok BKH sebagai bakal calon Gubernur NTT mendatang.
Menilai BKH di mata segelintir orang, banyak yang kontra. Bukan karena dia banyak skandal atau terjerat berbagai kasus hukum tetapi bagi banyak orang, langkah dan gaya kepemimpinannya penuh dengan kontradiktif.dengan demikian penilain merekapun juga sangat kontraiktif pula. Mulai dari loyalitasnya terhadap partainya, statusnya sebgai DPR RI hingga pertanyaan seputar keberpihakanya kepada rakyat
Dalam demokrasi liberal yang cendrung menghalalkan segala cara, menghalalkan segala isu politik merupakan sebuah konsekuensi yang tak terhindari. Hanya saja, bangunan tradisi bangsa kita yang membawa nama partai, lembaga DPR serta suku/ budaya yang sudah ada sejak nenek moyang kita, seharusnya menjadi menjadi filter untuk membatasi ruang gerak isu yang tidak layak itu untuk dijadikan bahan kampanye politik. Apalagi menjatuhkan citra lawan politik.
Menjatuhkan lawan politik, atau orang yang tidak kita sukai dengan cara mengait-ngaitkan apa yang dia lakukan itu, adalah bentuk kesalahan berfikir yang fatal! Kalau dalam logika namanya Logical Fallacy Ad Hominem.
Apakah karena BKH itu kader Partai Demokrat? Tentu kita tahu, banyak kader Partai Demokrat tersangkut korupsi. Lantas kita menjudge bahwa BKH juga seperti mereka?. Ini masuk dalam kesesatan berpikir, yang menilai sosok dan Lembaga (Partai dan Dewan)
Saya kira itu over generalisir masalah. Sebab kalau mengingat kembali memori Pilgub tahun kemarin, ketika sedang populernya nama BKH dikancah calon gubernur waktu itu, jelang hari H, hari pencoblosan BKH dipanggil KPK sebagai SAKSI dalam kasus Simulator SIM. Pada saat yang sama public (pemilih) menilai jika BKH iu ‘koruptor’. Terkadang publik dilematis terhadap informasi mana saksi, mana terdakwa dan mana tersangka. Publik dibutakan informasi, seakan akan dipanggil KPK adalah tersangka, adalah koruptor.
Kebenaran tetaplah benar. sampai sekarang, terbukti BKH sangat menghormati hukum dan konstitusi. Dan pertanyaan publik pun beraneka ragam, “apakah itu by design KPK pasca pilgub NTT waktu itu?”. Tentu jawabannya ada dalami hati dan ipikiran akyat NTT
Jka secara personal atau pandaangan politik yang berbeda kritik itu lahir maka itu sama saja seperti anak kecil yang suka merengek!
Artinya, kita boleh saja menyerang BKH. Namun, apabila anda ingin menyerangnya, maka kritiklah beliau akibat kebijakan-kebijakannya yang dianggap tidak pro rakyat.
Kritiklah dengan argumentasi yang jelas dan beradab. Sebab apabila kita memakai pendekatan itu, maka sesungguhnya kita secara perlahan dan tidak sadar sedang mencabut akar pembangunan NTT yag kita idam-idmkan.
Kasus Human tranfficking yang merajalela di NTT maupun korupsi ke tiga terbesar vers ICW.Oleh karena itu mailah bersikap dewasa dalam berpolitik apalagi kita adalah penonton, tim hura-hura dalam riak-riak politik di negeri ini.
Bagi mereka para pemain, maka pertontonkanah sesuatu pertunjukkan yang eduktif, suatu sukses kepemimpina yang mendewasakan.
Akhirnya marilah kita sama sama menjaga dan mengawal suksesi PilgubNTT mendatang yang ramah, santun dan beretika sehingga perubahan yag kita kumandangkan dapa tercapai..//