Kupang, Delegasi.Com – BPK RI menemukan adanya kelebihan pembayaran alias mark up (penggelembungan, red) dana tantiem dan jasa produksi (Jaspro) sekitar Rp 9,1 milyar pada Bank NTT di tahun buku 2013.
Kelebihan pembayaran dana tantiem dan Jaspro tersebut berasal dari kelebihan perhitungan dan pembayaran dana tantiem dan jaspro sekitar Rp 3,6 miliar dan pajak penghasilan (Pph 21) yang tidak dipotong dari penerima dana tantiem dan jaspro saat pembayaran.
Hal tersebut terungkap dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (BPK) RI Wilayah VI Provinsi NTT terhadap Operasional atas PT Bank Pembangunan Daerah NTT Tahun Buku (TB) 2013 dan 2014.
Seperti direalis Suaraflobamora.com, minggu(10/4/2019), berdasarkan pemeriksaannya, BPK menemukan bahwa :
(1) Dana Tantiem TB 2013 dibagikan sebesar tiga persen yaitu Rp 7.852.142.912,- kepada Komisari dan Direksi Bank NTT yang diperhitungkan secara proporsional;
(2) Jaspro pegawai TB 2013 dibagikan sebesar sembilan persen yaitu Rp 23.556.422.800,- kepada kepala sekretariat komisaris, komite dewan komisaris dan pegawai;
(3) Pembagian tantiem dan jaspro TB 2013 tidak diambil dari laba ditahan tetapi diambil dari biaya yang sudah dibebankan pada laporan laba/rugi perusahaan TB 2013;
(4) Kekurangan yang timbul akibat pembagian tantiem dan jasa produksi TB 2013 dibebankan pada masing-masing pos biaya tahun berjalan anggaran PT Bank NTT (tahun 2014, red); dan
(5) Perlakuan dan pengakuan pajak penghasilan pasal 21 (PPh 21) atas pembagian tantiem dan jasa produksi TB 2013 adalah Bank memberikan tunjangan PPh Pasal 21 yang diambil dari biaya tahun berjalan pada anggaran PT Bank NTT.
Dalam LHP BPK, disimpulkan bahwa nilai laba yang dijadikan dasar perhitungan usulan pembagian tantiem dan jaspro karyawan PT Bank NTT TB 2013 tidak sesuai dengan laba bersih setelah pajak pada Laporan Keuangan yang telah diaudit akuntan public dan telah disahkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank NTT pada tanggal 12 Juni 2014 yakni Rp 231.722.260.256.
Dengan dasar perhitungan laba bersih tersebut, tantiem yang seharusnya dibagikan hanya sebesar Rp 6.951.667.808. dan Jaspro yang seharusnya dibagikan sebesar Rp 20.855.003.423.
Namun dalam realisasinya, Direksi menggunakan laba sebelum pajak yakni Rp 261.738.097.077 sebagai dasar perhitungan tantiem dan jaspro. Akibatnya, tantiem yang direalisasikan sebesar Rp 7.852.142.912. Dengan demikian terjadi kelebihan pembayaran tantiem sebesar Rp 900.475.104.
Sedangkan jaspro yang direalisasi berdasarkan laba bersih sebelum pajak menjadi Rp 23.556.428.736 dari seharus (sesuai laba bersih yang telah diaudit, red) Rp 20.855.003.423. Dengan demikian terjadi kelebihan pembayaran jaspro sebesar Rp 2.701.425.312.
Berdasarkan itu, BPK menemukan adanya kelebihan biaya yang dikeluarkan oleh PT Bank NTT melalui pembagian tantiem dan jasa produksi sebesar Rp 3.601.894.480,- (Rp 900.475.104 + Rp 2.701.425.312).
Direksi kemudian membebankan pembayaran tersebut pada pos biaya tahun 2014. Menurut BPK, seharusnya Direksi menggunakan laba bersih setelah pajak yang telah diaudit sebagaimana amanat RUPS sehingga tidak terjadi kelebihan pembayaran tantiem dan jaspro hingga lebih dari Rp 3,6 milyar tersebut.
Selain itu, BPK juga menemukan bahwa Bank NTT tidak melakukan pemotongan PPh 21 atas pembagian tantiem kepada Komisaris dan Direksi Bank NTT dan jaspro kepada karyawan pada TB 2013 sebesar Rp 5.556.466.100. Direksi kemudian membebankan PPh 21 yang tidak dipotong tersebut kepada pos biaya tahun buku 2014.
Ini menyalahi UU No.40 tentang Perseroan Terbatas karena tantiem dan jaspro merupakan laba yang ditahan dan harus diambil dari tahun buku yang bersangkutan. BPK juga menemukan bahwa dalam pembagian tantiem dan jaspro TB 2013 dan tahun buku sebelumnya (tahun 2012, red), PPh 21 dibebankan/dipotong dari tantiem/jaspro masing-masing komisaris/direksi dan karyawan.
Untuk membenarkan tindakan yang ‘mengangkangi’ amanat RUPS tersebut, Direksi Bank NTT membuat ketentuan intern yang mengatur tentang pelaksanaan perhitungan dan pembayaran tantiem dan jasa produksi sesuai Surat Keputusan Direksi No.125 Tahun 2014, tertanggal 16 Desember 2014 (setelah menjadi temuan pemeriksaan BPK, red).
Padahal sesuai Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-16/PJ.44/192 tentang Pembagian Bonus, Gratifikasi, Jaspro dan Tantiem, antara lain dikatakan :
(1) Apabila bonus, gratifikasi, dan jasporo dibayarkan kepada karyawan maupun direksi dan komisaris dibebankan kepada retained earning (laba ditahan, red) maka pembayaran tersebut merupakan penggunaan retained earning, sehingga bukan merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh; dan
(2) Tantiem merupakan bagian keuntungan yang diberikan kepada direksi dan komisaris oleh pemegang saham yang didasarkan pada suatu prosentasi/jumlah tertentu dari laba perusahaan setelah kena pajak. Oleh karena itu, pemberian tantiem tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dalam menghitung penghasilan kena pajak dan bagi si penerimanya merupakan penghasilan sehingga dikenakan pemotongan PPh 21.
Seperti diberitakan sebelumnya, 8 orang pejabat tinggi bank NTT menerima dana tantiem sekitar Rp 41 miliar pada tahun 2015, 2016 dan 2017. Dan diduga ada mark up pembayaran dana tantiem dalam 5 tahun terakhir di Bank NTT.
//delegasi(SF/hermen)
Bayangkan rumah yang bukan sekadar tempat tinggal, tetapi sebuah karya seni fungsional. Rumah minimalis modern,…
Bayangkan rumah mungil yang nyaman, di mana setiap sudutnya dirancang dengan cermat untuk memaksimalkan ruang…
Bayangkan sebuah rumah, bersih, lapang, dan menenangkan. Bukan sekadar tren, desain minimalis didasarkan pada prinsip-prinsip…
Bayangkan rumah yang bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga perwujudan harmoni antara manusia dan alam.…
Bayangkan sebuah hunian yang memadukan kesederhanaan minimalis dengan aura industri yang kokoh. Rumah minimalis dengan…
Rumah, tempat bernaung dan beristirahat, tak hanya sekadar bangunan. Ia adalah refleksi diri, sebuah ekosistem…