OPINI  

Catatan Demonstrasi Terhadap Truk-F

Avatar photo
Darius Mauritsius (Pusat Layanan Pengembangan Kapasitas, Legislative Drafting dan Anti Korupsi (PKLDAK UNDANA)

Dalam penyelesaian sengketa, proses mediasi wajib dilakukan terlebih dahulu. Apabila tidak menempuh prosedur mediasi, penyelesaian sengketa tersebut melanggar ketentuan pasal 130 HIR dan atau pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Oleh: Darius Mauritsius

(Pusat Layanan Pengembangan Kapasitas, Legislative Drafting dan Anti Korupsi

 (PKLDAK UNDANA)

Pemberitaan media di Kabupaten Sikka tentang Demontrasi yang dilakukan oleh sekelompok orang yang dipimpin oleh saudara Paul Pau dikarenakan kepedulian dan keresahan Kelompok masyarakat tersebut terhadap Lembaga yang namanya Truk-F ada 2 Tuntutan yang ditulis saudara Paul dkk yaitu: 1 Bubarkan Truk-F dan 2 Kembalikan Fungsi Truk- F.

Tuntutan Pertama: Bubarkan Truk-F, jika dilihat tuntutan ini memang terlalu berlebihan karena untuk membubarkan sutu lembaga apalagi yang suda berbadan hukum itu ada mekanimenya (Contoh: PP No 27 Tahun 1998 Tentang Penggabungan, Peleburan, Dan Pengambilalihan PT Dan Pp No. 43 Tahun 2005 Tentang Penggabungan, Peleburan, Dan Pengambilalihan BUMN).

Yang menarik adalah Tuntutan Kedua: Kembalikan Fungsi Truk-F, walaupun saya dan mungkin kita yang membaca belum pernah melihat, membaca dan mendengar  Visi dan Misi Truk-F namun yang pastinya adalah pembentukan sebuah lembaga yang bergerak di bidang kemanusian pastilah bertujuan untuk Menciptkan kebahagian hidup, keadilan yang mana nilai-nilainya itu tidak terlepas dari nilai Pancasila.

Pernyataan Saudara Paul Pau yang berbuyi: Masalah-Masalah yang Ditangani Truk-F Selalu Bermuara Pada Pengadilan Sehingga Menimbulkan Persoalan Baru.

Maksud pernyataan ini haruslah dilihat kasus-per kasus dan janganlah di generalisir karena Pusat Layanan PKLDAK UNDANA sepakat tentang perjuangan Truk-F terkait Kejahatan-kejahatan yang dikategorikan sebagai extraordinary crime kejahatan terhadap kemanusiaan (TPPO), genosida, korupsi, terorisme, dan Narkoba haruslah di dorong secara cepat untuk diadili.

Untuk kasus-kasus lain Contoh kasus KDRT, Kasus Keperdataan dan kasus pidana lainnya haruslah dicermati dalam penyelesaiaannya karena tujuan hukum bukan hanya Kepastian Hukum saja tetapii ada Kemanfaatan Hukum dan Keadilan Hukum.

Dalam Kasus KDRT, pertanyaannya adalah: Apakah dengan mengadili pelaku KDRT, hukum dapat dikatakan Adil? Apakah dengan mengadili pelaku KDRT hukum dikatakan bermanfaat? (Hukum tidak bermanfaat karena keberadaan hukum telah memisahkan serta menghilangkan seseorang yang menjadi tulangpunggung dalam keluarga misalnya)

Dalam contoh kasus ini Peradilan Negara adalah benteng terakhir setela dilakukannya proses dialog dan mediasi secara kekeluargaan.

Dalam contoh kasus ini Pusat Layanan PKLDAK UNDANA mendorong Truk-F dan lembaga-lembaga kemanusian lainnya yang ada di Kab. Sikka untuk mengambil peran sebagai mediator penyelesaian kasus.

Terdapat beberapa cara penyelesaian sengketa non-litugasi, salah satunya ialah melalui Mediasi. Ketentuan mediasi diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Selanjutnya disebut dengan PERMA No. 1/2016) yang merupakan pengganti Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008.

Dalam penyelesaian sengketa, proses mediasi wajib dilakukan terlebih dahulu. Apabila tidak menempuh prosedur mediasi, penyelesaian sengketa tersebut melanggar ketentuan pasal 130 HIR dan atau pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Menurut PERMA No. 1/2016, mediasi merupakan cara menyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh Mediator. Sifat dari proses mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain.

Keterandalan peradilan negara yang ditetapkan oleh negara sebagai institusi resmi dalam menyelesaikan berbagai kasus sengketa (kasus kriminal, keperdataan dan KDRT) sudah mulai diragukan dan mendapat kritik dari masyarakat.

Keraguan itu muncul karena institusi peradilan yang diandalkan oleh negara tersebut belum sepenuhnya menyentuh esensi yang sesungguhnya dari suatu proses hukum yang berorientasi pada perwujudan perdamaian di antara para pihak, termasuk antara (para) pelaku dengan (para) korban beserta seluruh keluarganya.

Kebanyakan orang lebih berpikir bahwa dengan adanya keadilan diputuskan oleh hakim dan dilanjutkan dengan proses eksekusi maka dianggap sudah selesai urusannya. Proses hukum yang demikian itu justru masih menyimpan suatu dendam kusumat yang sesewaktu bakal muncul, dan bahkan mungkin semakin kompleks dan memperburuk hubungan sosial di antara para pihak yang berperkara. ***

 

Komentar ANDA?