“Seharusnya guru honor diterima sebagai guru PNS dengan sekema khusus. Misalnya, mereka yang telah mengbadi selama 5 tahun lebih, dan berusia 35 tahun ke atas, tidak perlu mengikuti tes. Cukup dengan menilai dokumen portofilio, dan dokumen portofilo terbaca jelas dalam data pokok peserta didik (dapodik) di sekolah masing-masing. Jika dokumen portofolionya tidak memenuhi sayarat, maka diperlukan pelatihan profesi guru untuk memenuhi kekurangan itu”
Dr. Marsel Robot
KUPANG, DELEGASI.COM –Riuh rendah demontrasi guru honor menuntut keadilan dalam penerimaan sebagai guru Pegawai Negeri Sipil melalui jalur tes Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) sampai ke sudut-sudut negeri ini.
Mereka menuding pemerintah tidak berpihak terhadap nasib guru honorer yang telah mengabdi sekian lama. Bahkan, tes guru P3K yang diselenggarakan 13-17 September lalu hanya bentuk ejekan terhadap guru honor.
Pasalnya, passing grade (ambang batas) kelulusan terlampau tinggi 270. Lagi pula, soal begitu berat, dan tidak sesuai dengan ilmu yang mereka ajarkan di sekolah.
Tak ingin ketinggalan kereta, sejumlah guru honor, penggiat literasi, dan pengamat pendidikan Nusa Tenggara Timur ikut bersuara mendorong pemerintah untuk merevisi regulasi atau mengubah skema penerimaan guru honor menjadi guru dengan Status Pegawai Negeri Sipil.
Komunitas Forum Guru Honor menggelar diskusi bertajuk: “Ngopi Sore dan Bincang-bincang Peduli Nasib Guru Honorer,” 22 September di Resto Celebes, Kota Kupang.
Acara itu digagas oleh Anwar Puah Geno (mantan Ketua DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur) dan Winston Rondo yang juga mantan anggota DPRD NTT). Hadir sebagai narasumber, Dr. David Pandi Staf Khusus Gubernur NTT, anggota DPRD NTT Ana Waha Kolin, Dr. Marsel Robot (akademisi), Winston Rondo, Kabid GTK Dibud NTT Adelino, sejumlah guru honor, dan awak media.
Dr. Marsel Robot, salah seorang narasumber dalam diksui itu mengatakan, “Pemerintah menggunakan kacamata rabun jauh untuk melihat nasib guru honorer dan kaum disabilitas. Dedikasi dan prestasi guru honor dan guru honor penyandang disabilitas sungguh diabaikan.
Mereka hanya diimingi dengan afirmasi (penambahan nilai) 10-15 persen, sementara, passing grade-nya (ambang batas kelulusannya) tinggi, 270.”
“Apa arti semua itu? Pada pihak lain, program pemerintah seperti “Kampus Mengajar” sungguh mubazir.
Mahasiswa disuruh turun ke sekolah-sekolah tanpa persiapan dan pelatihan yang memadai untuk meperkuat kapasitas dan kompetensi. Mereka pergi tidak membawa apa-apa, dan pulang tidak meninggalkan apa-apa. Mengapa uang sebanyak itu tidak diberikan semacam insentif dan pelatihan profesi guru terhadap guru honor. Sebab, mereka tetap berada di sana. Tandas dosen Program Studi Bahasa dan astra Indonesi FKIP Undana itu.
Menurut penggiat literasi itu, “Seharusnya guru honor diterima sebagai guru PNS dengan sekema khusus. Misalnya, mereka yang telah mengbadi selama 5 tahun lebih, dan berusia 35 tahun ke atas, tidak perlu mengikuti tes. Cukup dengan menilai dokumen portofilio, dan dokumen portofilo terbaca jelas dalam data pokok peserta didik (dapodik) di sekolah masing-masing. Jika dokumen portofolionya tidak memenuhi sayarat, maka diperlukan pelatihan profesi guru untuk memenuhi kekurangan itu. Regulasi seperti ini pernah berlaku bagi guru negeri untuk mendapat sertifikak pendidik yang dikenal dengan Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Guru yang lulus PPG akan mendapat tambah pendatapatan satu kali gaji pokok. Mengapa aturan itu tidak diterapkan kepada guru honor yang telah mengabdi belasan atau puluhan tahun.”
Menurut Marsel, guru honorer yang belum mencapai 5 tahun belum berusia 35 tahun boleh mengikuti tes, tetapi passing grade-nya juga diturunkan hingga 200.
Mengabaikan Guru Penyandang Disabilitas
Menurut Marsel Robot, hal yang lebih menyakitkan lagi ialah perhatian pemerintah terhadap penyandang cacat (disabilitas) yang juga berstatus guru honorer.
Mereka mempunyai keterbatasan.
Bayangkan, soal ujian sama dengan orang normal, passing grade-nya juga sama dengan guru normal (270), durasi pengerjaannya soal juga sama.
Lebih menyedihkan lagi, nilai afirmasinya hanya 10 persen. Itu lebih rendah dari guru normal yang 15 persen. Padahal, dia cacat (disabel).
Tidak masuk akal. Soal yang diberikan kepada mereka seharusnyan khusus dan dengan durasi waktu yang berbeda.
Demikian pula passing grade-nya juga harus lebih rendah dari guru honor normal atau nilai afirmasinya dinaikkan.
“Saya menilai pemerintah justeru merendahkan kaum disabilitas,”tutur Marsel.
“Pemerintah harus membuka kacamata rabun jauh itu agar melihat mata telanjang tentang guru honor dan guru yang berstatus disabilitas.
Mereka telah mengabdi, berprestasi, dan telah menyumbangkan tenaga dan pikiran kepada anak-anak negeri ini.” tandas sastrawan ini.
//delegasi(mar)