“Dalam perspektif kepemimpinan tradisional Kangae, ramuan kesejahteraan itu tergambar dalam sebuah filosofi ”Pigang Pitu-Makok Walu”. Satu konsepsi kesejahteraan komunal yang digambarkan dalam bentuk perwujudan tujuh piring dan delapan mangkuk. Artinya rakyat yang sejahtera adalah rakyat yang kehidupannya dipenuhi dengan bakul-bakul atau tataan-tataan yang berisi sumber pangan dan makanan.”
DELEGASI.COM – Dalam rangka apresiasi terhadap HUT PANCASILA 1 Juni 2021, tulisan kecil ini menjadi bagian dari inspirasi Bahwa esensi Pancasila adalah filosofi kesejahteraan yang bersumber dari nilai-nilai peradaban
Takdir sosial jadi alasan manusia hidup harus berdampingan dan membutuhkan satu dengan yang lain. Seseorang tak dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Kesosialan itu pula membuat manusia terus mencari hakekat diri membangun linngkungan yang lebih luas sebagai entitas, clan, etnikdan suku bangsa. Merintis jalan kebersamaan (communal) atas dasar perasaan senasib sepenanggungan.Sama rasa sama rata, untung dan malang.
Dengan akal budi manusia kemudian mengupayakan tatanan kehidupan agar menjadi lebih baik dan berkembang maju. Guna terciptanya tatanan yang ideal, masyarakat dalam sebuah komunitas lalu membangun paradigma tata kelola sebagai sebuah sistem yang mengikat kesinambungan proses-proses hidup.
Sistem ini yang berkembang sebagaipemerintah.Yaitu elemen penting dalam konstruksi sosial untuk menyelenggarakan hukum, politik,ekonomi, hingga budaya atau adat istiadat yang bermuara pada satu visi bersama yaitu kesejahteraan.
Dalam tradisi masyarakat tradisional Kangae Perangkat pemerintah sebagaimana yang dimaksud sangat ditentukan oleh peran figur pemimpin sentral Moän Ratu yang diperkuat oleh kelompok Duä Moän Watu Pitu (Tujuh pemangkuAdat) sebagai perangkat struktural adat yang memiliki peran penting menjabarkan visi Moän Ratu(sang pemimpin) yaitu sejauhmana wujudnya konsepsi hukum, politik, ekonomi, dan adat istiadat dalam masyarakat sebagai ramuan kesejahteraan.
Dalam perspektif kepemimpinan tradisional Kangae, ramuan kesejahteraan itu tergambar dalam sebuah filosofi ”Pigang Pitu-Makok Walu”. Satu konsepsi kesejahteraan komunal yang digambarkan dalam bentuk perwujudan tujuh piring dan delapan mangkuk. Artinya rakyat yang sejahtera adalah rakyat yang kehidupannya dipenuhi dengan bakul-bakul atau tataan-tataan yang berisi sumber pangan dan makanan.
Filosofi ”Pigang Pitu-Makok Walu”adalah juga sebuah analogi bahwa dari sumbernya delapan buah piring dan tujuh buah mangkuk itu menjadi cakupan yang berisi hakekat rasa keadilan dan kesejahteraan yang melingkupi semua orang.Pigang Pitu-Makok Walu juga sesungguhnya menjelaskan bagaimana kualitas seorang pemimpin mampu menggerakan seluruh potensi (peluang dan tantangan) menjadi energi yang menstimulus rancang bangun dalam menahkodai perahu layar Kangae menuju samudera harapan. Sebagai pranala tentang pemimpin saya mencuplik beberapa referensi teoritis tentang ”Kepemimpinan” sebagai sense of leadership, yang bersumber pada www.studilmu.com, apakah benar takdir seorang pemimpin karena dilahirkan ataukah seorang pemimpin lahir karena ia dibentuk.
Kepemimpinan adalah suatu sifat yang digambarkan sebagai perilaku sangat spesifik untuk membedakan pemimpin dari bukan pemimpin. Artinya seorang pemimpin adalah seorang yang berbeda dari latar belakang (rekam jejak) yang unggul dan memenuhi standar kriteria sebagai pemimpin dari yang buka pemimpin alias orang biasa.Kita dapat membuat perbedaan yang laizim antara kecakapan dan kharisma (daya pikat). Fiedler misalnya, menjelaskan bahwa “Perilalu kerja suatu kelompok dipengaruhi oleh sistem motifasi kepemimpinan dan sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi tertentu”.
Lalu muncul pula sejumlah teori kepemimpinan seperti teori Orang Hebat ( Great-Man Theory) bahwa “Pemimpin hebat adalah orang-orang hebat yang dilahirkan ke dunia, bukan orang-orang hebat yang dibentuk menjadi pemimpin hebat”. Agak paradoks karena banyak fakta menunjukan banyak pemimpin justru lahir dari jalan proses.
Ada juga theoriSifat (Trait Theory) oleh Jenkins dan Max Weber. Jenkins; mengidentifikasi sifat-sifat kepemimpinan berdasarkan garis keturunan (genetik pemimpin) atau warisan pemimpin. Bahwa dalam diri seorang pemimpin biasanya membawahi sifat pemimpin sebelumnya seperti:Kecerdasan, dan Daya Tarik (pesona),Kepribadian dan kharisma. oleh Max Weber, ia justru menggambarkan kepemimpinan seseorang justru terletak pada Kharismanya.Bahwa, “Kharisma adalah kekuatan revolusioner terbesar yang mampu mengajak orang lain untuk melakukan pengabdian dan mengikuti arahan pemimpin berkharismatik tersebut”.
Melihat teorinya Max Weber saya lalu teringat pada sosok Bung Karno.Dalam jejak masa lalu Kangae saya pernah mendengar kisah tentang pemimpin Meken Bemuaja, sang pendiri Dinasti Adat Kangae (sekitar tahun 900 an Masehi) dan jejak sesudahnya antara lain generasi Ratu Keu (1902) yang anti penjajah.
Moän Bemuaja digambarkan sebagai pribadi kharismatik yang berasal dari Rae Raja Buanggala yang lahir dan besar di Sumatera (Bukit Barisan) pada masa Dinasti Balaputradewa. Terdampat di Watumilok (pantai Waipare) kemudian menetap di Natar Mapan Mekendetun Wolo Larun yang kemudian menggagas konsep pemerintahan tradisional Duä Moän watu Pitu (tujuh pemangku/kepala adat), mengagas konsep perkampungan tradisional Kangae, memperkenalkan terknik bercocok tanam sebagai cara mengalihkan kebiasaan nomaden dan hidup dari berburuh, mengembangkan tenik menenun (jejak Gore Kapa Bekor) sebagai warian tentang benang pintal dan kapas purba, dan sebagainya yang masih tersimpan baik hingga kini.
Pemimpin adalah Musafir Mimpi
Seorang Pemimpin adalah seorang pemimpi. Memiliki pandangan dan konsep yang jauh kedepan. Ialah sesorang yang kerap dipandang berpikir beda dan bertindak beda (out of the box)dari kebiasaan banyak orang. Saya menyebutnya ”musafir mimpi” yaitu orang yang suka bertualang tentang cita-cita besar. Dengankebijakasanaan ide, ia bertualang membangun gagasan dan merancang strategi bagi mimpinya bahwa rakyat dan seutuhnya Kangae harus sejahtera. Bagaimana Pigang Pitu Makok Waludapat berwujud sebagai simbol kesejahteraan.
Pigang Pitu Makok Walu adalah satu peradaban,nilai kuno jaman purba yang ditanamkan sebagai pokok kesejahteraan. Jika digeser ke era modern nampak kemiripan makna dengan esensi kepemimpinan dalam konteks kesejahteraan masa kini yang popular dengan istilah grand design atau cetak biru pembangunan.Dimana para pemimpin diberi alat bantu pedoman cetak biru untuk mengelola segala potensi pembangunan yaitu keseluruhan gambaran yang memuat kerangka dan rencana strategis sebagaisiklus besar yang terus bergerak sistemik menjadi alur proses. Bahwa segala sesuatu dimulai dariperencanaan (menentukan obyek kebutuhan, sasaran dan keluaran), lalu tahapan membangun jaring aspirasi (curah pendapat) yang melibatkan stakeholders masyarakat termasuk pemerintah menurut tingkatan.Mulai dari forum musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di Desa hingga Provinsi dan Pusat untuk penyerasian.Kemudian tahap penyusunan dokumen dalam spektrum RPJP (rencana pembangunan jangka panjang) yang biasanya ditetapkan sekitar 20 atau 25 tahun, atau RPJM (rencana pembangunan jangka menengah – lima tahun), dan rencana kerja jangka pendek yang biasanya satu tahun (RKP). Tahap-tahapan ini menjadi semacam satu bab proses sebelum nantinya menuju tahap penyusunan APBD yaitu dokumen hukum tentang pengelolaan keuangan untuk pembangunan. Disini ada peran kolaboratif semisalnya pemerintah daerah besama-sama dengan lembaga DPRD.Sebelum ditetapkan menjadi Perda APBD, rumusan dokumen APBD harus dievaluasi oleh kementerian terkait. Bahwa dokumen anggaran harus mempunya otoritas perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi dan stabilisasi, karena pada akhirnya tujuan penganggaran sendiri merupakan sebuah cetak biru yang akan menentukan tingkatan dan pencapaian terhadap pemenuhan hak-hak dasar rakyat seperti listrik, air bersih, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya.
Demikian filosofi Pigang Pitu Makok Walu adalahsiklus proses menuju sejahtera yang dapat digambarkan sebagai berikut :
Dari kesemua rumusan konsep diatas mengandung makna tanggungjawab, pelibatan (peran serta), dan keterwakilan disamping perencanaan, visi-misi, strategi, dan kontrol sosial. Bagaimana hakekatnya bahwa tanpa Sa Lerung Pale jika tidak diawali dengan proses menumbuk apalagi saling meniadakan. Ilustrasi nama mulai dari Balik hingga Sa Lerung Pale adalah ungkapan merujuk kepada orang (stakeholder/pemangku) terhadap konstruksi (peran/kerja) bagaimana gambaran semula hanyalah biji padi (gabah) harus ditumbuk untuk dapat dimasak atau diracik agar menjadi makanan. Ada begitu banyak orang yang harus memperoleh bgaian (porsi) maka yang telah jadi makanan haru pula dibagi secara adilmerata tanpa meniadakan aatau terlewatkan maka kehadrian Sa Lerung Pale menjadi penting untuk mengawasi kalau-kalau ada yang terlewatkan atau tidak kebagian.
Akar proses dan hasilnya akan dijumpai sebagai berikut:
a. BALIK – BAI Gabah ditumbuk pada lesung – analisis potensi dan masalah menjadi gambaran umum pembahasan
b. BELA – SEA Menampih ampas pasca ditumbuk agar pisah dari biji sehingga tidak tercampur dengan gabah – proses klasifikasi (skematik) mana potensi dan mana yang menjadi masalah
c. LIDI – LI’i, Pilih untuk memisahkan mana gabah dan mana biji beras – Proses penentuan urgensitas masalah
d. LAWE – KAHER, Memilah atau mensortir mana biji yang utuh, mana biji yang patah (wenit/dedak) – menentukan skala prioritas dan penting
e. TOA – HERING, Menanak/memasak – proses menentukan beban/plafon anggaran. Hal yang mirip dengan RK atau KUA dan PPAS
f. LERING – GA’e, Mengangkat – tahapan penbahaasan untuk penetapan menjadi dokumen resmi anggaran (APBD)
g. WODON – HOKO, Mencedok porsi – penjabaran anggaran beradasarkan ruang lingkup operasional hal yang kurang lebih sama dengan alokasi dan atau realisasi anggaran ke dinas-dinas (OPD)
h. LUDJU – BUWU, Membagi sesuai porsi – alokasi anggaran sesuai dengan pos-pos kebutuhan anggaran. Hal ini guna mencegah over budget ataa rekayasa atau mark up anggaran sebagai bagian dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
i. BALA – AJAR,Meratakan – berhubungan dengan esensi keadilan distributif (apakah sesuai atau tidak)
j. SA LERUNG PALE – Maä, Adalah bagian dari peran kontrol, memantau, atau mengawasi dan mengkritik. Dalam ungkapan lokal disebut dengan ”ata le eban naruk, pale alet lora loning naruk maä”. Kritik otokritik adalah bagian dari peran pembanguan. Yang sesuai atau tidak sesuai. Apakah diantara realisasi dan target anggaran, memenuhi asas keadilan dan kesejahteraan. Apakah suatu perencanaan sejalan dengan implementasinya. Jika sukses pemimpin mendapat pujian (reward). Jika pemimpin gagalmaka akan ada punishment.Maka antara proses, konsepsi dan aplikatifnya harus sejalan***
Penulis adlah Pelaku Seni, Tinggal di Kota Kupang
Bayangkan rumah yang bukan sekadar tempat tinggal, tetapi sebuah karya seni fungsional. Rumah minimalis modern,…
Bayangkan rumah mungil yang nyaman, di mana setiap sudutnya dirancang dengan cermat untuk memaksimalkan ruang…
Bayangkan sebuah rumah, bersih, lapang, dan menenangkan. Bukan sekadar tren, desain minimalis didasarkan pada prinsip-prinsip…
Bayangkan rumah yang bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga perwujudan harmoni antara manusia dan alam.…
Bayangkan sebuah hunian yang memadukan kesederhanaan minimalis dengan aura industri yang kokoh. Rumah minimalis dengan…
Rumah, tempat bernaung dan beristirahat, tak hanya sekadar bangunan. Ia adalah refleksi diri, sebuah ekosistem…