OPINI  

Gereja, Perubahan Sosial di NTT dan 500 Tahun Reformasi

Avatar photo

                    Oleh: Dominggus Elcid Li

 

Apa peran gereja dalam proses perubahan sosial? Salah satu peran utama yang bisa diambil oleh gereja dalam proses perubahan sosial adalah gereja harus mampu membaca tanda ketidakadilan, dan bersikap sebagai hakim yang adil.  Kemampuan gereja untuk hadir sebagai kekuatan transformatif merupakan harapan orang banyak, namun tidak selalu mudah untuk diwujudkan.

Pertanyaannya bagaimana agar gereja mampu menempatkan diri sebagai hakim yang adil? Bukankah gereja juga merupakan bagian dari masyarakat yang tidak terlepas dari ‘konflik kepentingan’ di dalamnya? Bukankah sering kali gereja cenderung memilih berada dalam posisi ‘status quo’, dan tak mau mengambil risiko? Pertanyaan-pertanyaan ini akan menjadi pertanyaan sepanjang perjalanan, sebab, sering kali gereja tidak mampu keluar dengan ‘suara kenabiannya’ untuk berbicara tentang hal-hal yang menjadi tantangan zaman.

Sejauh pengamatan saya sebagai sosiolog ada beberapa kondisi yang membuat gereja tidak mampu keluar dan menjadi kekuatan transformatif. Pertama, pandangan gereja pada umumnya merupakan cermin dari keputusan kolektif, dan karena pengetahuan pun sifatnya kolektif membuat kritik atau pun pandangan baru sulit muncul dari dalam gereja yang cenderung ada dalam tawanan mayoritas.Jumlah suara tidak selalu merepresentasikan kebenaran, kejernihan akal budi satu orang sangat mungkin tenggelam dalam kawanan.

Kedua, ketidakmampuan pemimpin gereja dalam mengambil sikap dan memutuskan. Pemimpin dalam tubuh gereja tak hanya berfungsi untuk mendengar, menampung dan meneruskan, tetapi pemimpin juga bertugas memberi arah dan warna dalam pelayanannya. Seorang pemimpin tak hanya berdialog dengan orang yang ada di sekitarnya, ia juga berdialog dengan para pemikir-pelayan lain di belahan dunia lain, dari masa silam, dan membayangkan bagaimana generasi masa depan melihat kita.

Ketiga, ketika gereja amat berjarak dari realitas sehari-hari atau gereja terasing dari persoalan umat, dengan sendirinya gereja cenderung tak mampu menemukan kata-kata kenabian, apalagi mengimplementasikannya.Gereja jelas bukan LSM, oleh sebab itu kepedulian gereja seharusnya lebih dari LSM. Di dalam gereja orang berlatih untuk hidup baik, orang membaca Alkitab, menginterpretasikan, melakukan refleksi dan menyebarkannya kepada khalayak ramai. Persoalannya apa yang terjadi jika kabar gembira hanya tinggal sebagai ucapan, dan tidak mendekati realitas? Ketika simulasi hidup baik hanya puas dilakukan dalam ruang imajinasi, pada akhirnya kemampuan menyebarkan kabar gembira pun hanya seluas halaman gereja.

Keempat, insan gereja tidak belajar sejarah dan sistem dunia yang makin kompleks. Contohnya ruang pribadi (privat) semakin minim dengan perkembangan teknologi komunikasi. Ruang pribadi, komunitas dan publik pun cenderung tidak dibedakan. Seharusnya ruang sakral tidak dicampur dengan ruang komedi. Eksistensi gereja sangat terkait dengan kemampuan gereja untuk belajar, beradaptasi, dan mengambil peran.

Upaya untuk memaknai kehadiran GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor) di berbagai wilayah pelayanannya, terutama di Pulau Timor, Sabu, Rote, Alor dan di berbagai klasis yang berada di luar wilayah Provinsi NTT senantiasa dihadapkan dengan tantangan ‘Apakah Gereja sudah hadir dan menjawab tantangan zaman ini?’ Pertanyaan ini pertanyaan abadi. Seperti pertanyaan kontemplatif ‘Who am I’ yang senantiasa ditanyakan oleh orang Kristen hingga akhir hayatnya.

Dengan mengambil posisi sebagai manusia peziarah yang senantiasa belajar, Gereja mungkin diluputkan dari kecenderungan untuk menjadi keliru. Dengan sungguh-sungguh belajar berdoa mungkin pengetahuan bisa hadir. Berdoa menjadi teramat penting bagi kita untuk mendengar suara Bapa bagi kita yang sedang berziarah. Dialog semacam ini selamanya akan menjadi bagian dari ‘ruang dalam’ para peziarah.

“Apakah ini suara saya atau kehendakMu Bapa?”

“Apakah ini demi kemuliaan namaMu atau kah ini hanya ilusi semata?”

“Apakah kabar gembira tercermin dari hela nafasku dan tatapan mataku?”

“Apakah ini yang terbaik yang bisa saya lakukan?”

 

Keterlibatan gereja dalam isu-isu kemasyarakatan

Salah satu hal yang menjadi persoalan di wilayah pelayanan GMIT saat ini adalah terkait kemiskinan dan dampaknya terhadap kemanusiaan. Kemiskinan bisa dibaca melalui angka statistik, maupun melalui pengalaman langsung bersentuhan dengan kaum miskin. Pembacaan melalui hitungan statistik bisa dilihat dari angka anak yang putus sekolah yang teramat tinggi, rendahnya angka produktivitas pertanian, minimnya angka konsumsi air bersih, hingga yang paling ekstrim adalah tingginya korban perdagangan orang yang berujung pada kematian. Ini semua merupakan tanda-tanda kemiskinan dan penderitaan. Pertanyaannya sejauhmana keterlibatan gereja untuk solidaritas bersama?

Tak jarang jika kita fokus pada angka-angka, ada sisi kemanusiaan yang tak muncul dari data-data yang dilampirkan. Sering kali kita berdebat besar-kecilnya jumlah orang miskin, namun diam terhadap hal-hal yang mendasar namun karena belum ‘di-coding’ atau diberi nama tetap tidak dikenal. Seharusnya dalam posisi berdoa, hal-hal yang cenderung tidak dikenal bisa di-identifikasi, disuarakan, dan dicarikan jalan keluarnya. Tugas gereja adalah memberi nama dan menyuarakan suara-suara orang yang menderita dan dilupakan. Untuk ini otoritas gereja perlu mengambil posisi sebagai gembala yang melindungi.

Saat ini fokus pemerintah lebih ditujukan pada pengembangan infrastruktur, di NTT khususnya infrastruktur pengairan maupun jembatan. Pembangunan yang menitikberatkan pada pengembangan infrastruktur amat terkait dengan strategi untuk menaikan angka pertumbuhan ekonomi. Hal ini amat berbeda dengan strategi pendidikan yang selama ini ditempuh gereja baik misi maupun zending. Mundurnya sektor keuangan di Eropa cukup berdampak pada sekolah-sekolah swasta keagamaan, yayasan pendidikan swasta kini cenderung terbengkalai. Sejauhmana gereja prihatin terhadap sekolah-sekolah yang berada di pedalaman, baik terkait kesejahteraan guru, kualitas pedagogis, hingga isi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan anak. Sebab, apakah mungkin kurikulum yang seragam dari Sabang sampai Merauke mampu membuat anak-anak dari pelosok NTT mampu bersaing? Apakah mungkin membuat laboratorium kurikulum untuk memetakan jenis pengetahuan dasar yang dibutuhkan anak?

Seharusnya untuk jangka panjang setidaknya ada dua hal yang perlu menjadi perhatian kita bersama: pertama, pendidikan yang memerdekakan dan bukan pendidikan yang sekedar menjadi halte untuk kekalahan yang pasti. Tingginya angka putus sekolah di NTT, yang rata-rata anak hanya selesai sekolah di SMP Kelas satu merupakan pertanyaan bersama, apa yang sedang terjadi? Begitu cepatnya anak-anak masuk ke dalam pasar kerja untuk mencari uang tunai, dan dieksploitasi merupakan gambaran umum. Kasus pemalsuan umur tenaga kerja ke luar negeri merupakan ekses lain.Hingga saat ini mimpi pendidikan yang memerdekakan hanya menjadi milik sebagian kecil yang mampu.

Kedua, Air untuk semua, air untuk pertanian, dan bukan ‘air mata umat’ merupakan persoalan konkrit.  Krisis air di NTT merupakan persoalan serius. Kehidupan para petani di luar musim hujan di NTT masih jarang menjadi pembahasan.  Apa yang mereka makan dan tanam di luar musim hujan? Apakah panen dari hasil hujan sepanjang tiga bulan, dan bahkan di beberapa tempat hanya beberapa belas hari dalam setahun cukup untuk hidup? Jika ‘air’ bukan lah barang privat, karena untuk mengadakannya membutuhkan kerjasama semua pihak, mengapa penderitaan karena kekurangan air dibiarkan menjadi persoalan pribadi? Sejauhmana gereja peka terhadap persoalan para petani? Apakah gereja menjadi kekuatan transformatif untuk para petani?

Krisis kehidupan petani di pedesaan membuahkan migrasi berisiko. Ketika komoditas pertanian tak lagi laku dijual, tubuh lah yang dijual. Atas nama kebutuhan pekerja domestik dari negeri atau provinsi seberang, tubuh perempuan dari daerah Kepulauan Timor lah yang dijual untuk menambal lubang-lubang kemiskinan dari pedalaman. Pertanyaannya sejauh mana gereja peka terhadap dampak kemiskinan dalam bentuk perbudakan, dan sejauhmana gereja memandang anggota gereja sebagai satu tubuh?Dulu dalam sejarahnya, budak-budak yang diambil dari Kepulauan Timor adalah budak yang bukan beragama Islam dan Kristen.

500 Tahun Reformasi:From Conflict to Communion

Pemaknaan ulang peran gereja teramat penting. Memaknai sejarah kehadiran gereja di NTT khususnya juga teramat penting. Sejarah gereja merupakan sejarah panjang yang kompleks. Pembentukan institusi gereja Katholik dan munculnya Gereja Protestan di Eropa dan penyebarannya di daerah Kepulauan Timor tak lepas dari sejarah Eropa.

Sejarah gereja adalah bagian dari sejarah kolonialisme Eropa. Agama Katholik datang dari tangan pedagang Portugis. Sedangkan gereja Protestan hadir sebagai bagian kehadiran VOC Belanda. Konfigurasi penyebaran agama Katholik dan Protestan di wilayah ‘Kepulauan Timor’ amat terkait dengan dominasi kedua Bangsa Eropa ini. Bahkan kontestasinya juga tak lepas dari sejarah di Eropa.

Dalam catatan para sejarawan, daerah Timor merupakan daerah yang sepi sekedar menjadi pos terluar dalam dunia dagang. Sebaliknya bagi Belanda, setelah perang Napoleon Bonaparte lebih memilih Jawa sebagai lokasi ekspansi. Hal ini bisa dirunut berdasarkan kronologi proses pasifikasi yang terjadi di Jawa, Sumatra dan Timor. Proses pasifikasi di Timor terjadi di tahun 1900-an.

Saat ini di Eropa, upaya untuk memandang kembali proses reformasi sudah dimulai sejak beberapa tahun silam antara Gereja Katholik dan Gereja Lutheran. Bahkan upaya untuk mengidentifikasi konflik dan upaya untuk menemukan titik temu telah mereka bingkai bersama dalam buku From Conflict to Communion (2013) yang ditulis untuk memperingati 500 tahun reformasi.

Salah satu bagian pembukaan yang ditulis oleh Karlheinz Diez, Uskup Fulda wakil dari Gereja Katholik, dan Eero Huovinen, Uskup Emeritus Helsinki, wakil dari Gereja Lutheran (hal.7) berbunyi:

The true unity of the church can only exist as unity in the truth of the gospel of Jesus Christ. The fact that the struggle for this truth in the sixteenth century led to the loss of unity in Western Christendom belongs to the dark pages of church history. In 2017, we must confess openly that we have been guilty before Christ of damaging the unity of the church.

Di Timor bagi sebagian orang Gereja Katholik disebut sebagai ‘gereja tua’, dan Gereja Protestan yang diwakili GMIT disebut sebagai ‘gereja muda’. Rivalitas kedua gereja kadang terjadi. Namun lapis-lapisan gereja tak hanya muncul dari kedua gereja ini, tapi juga datang dari gereja Protestan yang tidak berafiliasi dengan GMIT.

Upaya memaknai dialog 500 tahun reformasi, tak cukup hanya dilakukan melalui perspektif Eropa kontinental, tetapi seharusnya proses berdialog juga dilakukan dengan mempertimbangkan sejarah gereja di Kepulauan Timor. Bagaimana kaum yang sebelumnya ‘memeluk agama asli’ kemudian terpolarisasi dalam beragam gereja. Pada umumnya kondisi ‘berbeda gereja’ dimaknai sebagai kondisi terberi (given).

Jika di Eropa dialog ekumene dilakukan dengan mempelajari sejarah konflik, membahas pandangan masing-masing gereja, membangun kesepakatan berdialog, dan mencoba berdoa bersama maka dari posisi di Timor seharusnya hal ini menjadi lebih mudah karena sebelumnya kedua gereja masuk maka kekerabatan merupakan simpul utama. Meskipun memang kita agak kesulitan jika suku-etnis-agama ada dalam posisi sebangun dan menjadi alasan membangun tembok, sehingga upaya dialog cenderung diputuskan oleh prasangka-prasangka sosial yang membatu. Jika orang di Eropa berdialog untuk mencari pemahaman, sementara di Timor orang cenderung terpisah, maka kita pun wajar bertanya apa yang sedang terjadi. Kalimat terakhir dari kutipan kedua wakil gereja di atas perlu menjadi bahan renungan bersama.

Sambil kita bersama-sama diajak untuk melihat sejarah gereja dan peran sosialnya, kita pun diajak untuk melihat bagaimana agama-agama asli dipinggirkan sekian lama oleh gereja. Sebelum agama-agama asli ini punah, kita mungkin bisa membantu menyelamatkan mereka. Sebab pengetahuan dan ritus keagamaan adalah satu. Dengan langkah ini kita mungkin lebih mengenali diri kita sendiri, dan mempermudah kita untuk bergerak ke lautan yang lebih dalam. Pengakuan dari pemerintah terhadap keberadaan ‘penganut kepercayaan’ perlu menjadi catatan bagi kita. Bagaimana kita berdialog dengan diri (self) dalam rentang sejarah merupakan satu tugas peradaban yang tak mungkin kita abaikan begitu saja.//

*Penulis ada sosiolog bekerja sebagai peneliti di IRGSC, ia dibesarkan di Timor. Tulisan ini disampaikan dalam Sidang Majelis Sinode GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor) tanggal 21 Februari 2017 di Kupang.

Komentar ANDA?