“Desa Golo Nderu adalah salah satu desa yang paling terisolasi di Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Sejarah Desa Golo Nderu adalah sejarah orang jauh. Jauh dari jalan raya, jauh9 dari listrik, jauh dari jaringan internet, jauh dari air bersih, jauh dari segalanya. Lebih fatal lagi jauh dari pemerintah”
Marsel Robot
Beberapa kabar terakhir dari Desa Golo Nderu, sejumlah anak sekolah dasar menyurati Presiden Jokowi untuk memberikan listrik agar mereka bisa belajar di malam hari dan mendirikan tower telkomsel agar bisa mengikuti pembelajaran online sebagaimana anak-anak lain di Indonesia (Kompas.com 21 Juli 2020).
Berikutnya, pada tanggal 07 Agustus 2020 lalu, TVRI NTT menyiarkan tentang kondisi buruknya jalan raya menuju Desa Golo Nderu yang menyebabkan desa itu terisolasi. Kabar lain yang lebih serem, pemuda desa itu berencana menyegel pintu masuk desa agar tidak dikunjungi oleh pemerintah, politikus, atau Dewan Perwakilan Rakyat.
Pemuda-pemuda desa, berencana memasang spanduk di batas desa bertulisakan, “Hati-Hati ke Desa Golo Nderu, Jalan Rusak Parah.” “Awas! Golo Nderu Gelap.” Rasa gerah atas keadaan yang tak banyak berubah. Pemerintah terasa begitu jauh, DPR jutek dan sibuk dengan dirinya. Padahal, frasa “suara rakyat” sebagai jualan DPR kepada pemerintah sebagai bentuk lain main mata untuk… hem…! Kalianlah yang tahu.
Mungkin juga, sengaja memelihara kemiskinan agar mendapat privilese, sekaligus menjadikan tema kampanye paling smart. DPR mabuk ambisi dengan mulut berbusa berseru lantang,
“Kami akan membuatkan jalan aspal ke desa ini.”
Rakyat pun senang disiram gerimis kata-kata manis. Padahal, janji ditaruh di tangan angin. Kenyataan janji adalah kenyataan dalam kata-kata. Realitas sesungguhnya adalah kegetiran yang melampaui empeduh.
Karena itu, kerinduan orang Golo Nderu untuk kemajuan adalah penderitaan.
Desa Golo Nderu adalah salah satu desa yang paling terisolasi di Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, NTT.
Sejarah Desa Golo Nderu adalah sejarah orang jauh. Jauh dari jalan raya, jauh9 dari listrik, jauh dari jaringan internet, jauh dari air bersih, jauh dari segalanya. Lebih fatal lagi jauh dari pemerintah.
Jika dirumuskan dalam sebuah kalimat, Desa Golo Nderu adalah “Desa Jauh.” Keadaan memang tak banyak berubah sejak 50-an tahun lalu. Selama 13 tahun masuk Manggarai Timur sebagai kabupaten pemekaran, toh desa itu masih menampakkan wajahnya yang begitu lebam.
Jalan masuk ke desa itu sangat buruk. Pernah diaspal. Tapi, itu tadi, namanya aspal-aspalan. Usianya cuma sebulan. Keadaan malah parah karena bebatuan berseliweran di jalan.
Jalan bukan lagi sebagai idaman, malah menjadi ancaman.
Jika Anda bepergian ke Desa Golo Nderu dan mendapatkan penduduk desa itu, lantas sekadar berbasa-basi mengajukan pertanyaan dalam bahasa mereka, soo meu? Atau dalam frasa yang lebih primitif, “soo miu?” (bagaimana keadaan kalian?), maka jawaban yang selalu sama, terkesan duplikasi, do nggo’o kali gha i (seperti sedia kala).
Jawaban itu begitu sederhana dan pendek nian, tetapi menyarankan pesan yang menyakitkan. Suatu verbalisasi sikap aproriasi masyarakat akan nasib mereka yang tak banyak berubah.
Kadang, frasa itu diucapkan dengan kemiringan kepala untuk mempertegas nasnya nasib mereka di balik pintu pembangunan yang terkesan senyap dan tertutup rapat buat mereka.
Orang Golo Nderu sering mengandaikan hidup dan keadaan mereka dalam kalimat, gereng nenge le dedek agu benta le Dewa (menunggu undangan ajal dan pagggilan Tuhan).
Ungkapan ini melembaga dalam pemikiran mereka hingga hari ini. Pada zaman dulu, ungkapan ini tidak bernada negatif. Karena hampir semua daerah bernasib sama (terbelakang).
Namun, sekarang ungkapan ini sangat negatif, setidaknya untuk menyatakan dua hal.
Pertama, dalam ungkapan ini terekspresi sikap kepasrahan orang Golo Nderu terhadap Morin agu Ngaran (Sang Penguasa).
Ada semacam pengakuan terhadap kekuatan di luar diri mereka (Dewa) yang paling berhak atau mempunyai otoritas untuk mencabut nyawa (dedek).
Kedua, ungkapan ini sebagai ekspresi kejengkelan mereka terhadap kealpaan pemerintah dalam mengubah hidup mereka. Gereng nege le dedek agu benta le Dewa, sebuah sarkaistik yang mengisyaratkan bahwa memang mereka menjalani hidup apa adanya.
Pemerintah, DPR mencapai desa itu bila musim kampanye tiba.
Desa itu menjadi panggung untuk mementaskan kontraversi atau sumber inspirasi dalam mengeritik pemerintah sebelumnya atau DPR sebelumnya.
Bersamaan itu, Golo Nderu disaloni janji-janji. Di halaman kampung ditumbuhi mimpi-mimpi indah calon sang pemimpin baru. “Kalau saya terpilih, maka jembatan dan jalan akan bangun.”
Janji tanpa kenyataan tentu lebih pahit dari hidup mereka. Itulah semacam “bahasa porno pembangunan.”
Secara antropologis, Golo Nderu begitu memukau memamerkan sisa masa silam.
Di sana, Anda akan menyaksikan para petani melukis bumi dengan sawah jaring laba-laba atau petak sawah yang menggarisi pinggang bukit (terasering).
Anda akan berjumpa dengan pemandangan alam yang begitu ranum.
Sinar keemasan mentari pagi mengusap pohon dadap dan lidah pagi menjilat pucuk kopi.
Senja hari pun burung-burung menghitung waktu di perbukitan.
Hutan rimba di bagian utara desa itu bagia aula alam yang menggemahkan suara burung. Juga, masih terasa kasiat kemanusiaan dalam senyum dan tawa di antara mereka.
Namun, dari perspektif modernisme, apalagi jika memandang desa itu dengan kacamata pembangunan, maka Desa Golo Nderu adalah gundukan ironi. Memang, seperti itu, tak begitu terasa detak pembangunan di sana.
Selama 10 tahun di bawah kepemipinan Bupati Yosef Tote dan Andreas Agas, desa itu memang sangat jauh dari pemerintah. Tentu, saya tak ingin terjebak dalam apriori atau sikap latah terhadap kepemimpinan Andreas Agas (Bupati) dan Stefanus Djahur (Wakil Bupati) yang sedang mempin Manggarai Timur. Masih ada serpihan harapan dari kedua orang ini mengubah keadaan desa itu.
Belum lama ini, Wakil Bupati Stefanus Djahur melawat ke desa itu untuk urusan penebangan hutan Golo Bangga oleh sebagian rakyat desa itu.
Ia sendiri merasakan buruknya infrastruktur jalan raya menuju desa itu bagai bercanda dengan maut. Entah apa yang dipikirkannya sebagai wakil bupati, atau ia berpikir seandainya dialah yang bupati.
Wakil bupati amat terbeban bukan hanya buruk jalan raya menuju desa itu, melainkan karena desa itu hanya berjarak 7 km dari tempat kelahirannya.
Rakyat desa itu sesungguhnya tidak meminta banyak hal dari pemerintah. Mereka hanya meminta jalan beraspal yang layak (bukan jalan asal aspal, atau aspal asal-asal).
Di atas jalan tidak hanya mengalirkan barang dan jasa, tetapi juga menemukan jalan keluar terbaik bagi pilihan kemajuan desa itu. Jalan raya merupakan pusat pertumbuhan ekonomi, pusat pertumbuhan informasi, bahkan pusat pertumbuhan ilmu pengetahuan.
Buruknya infrakstur (jalan raya) memburukkan keadaan perekonomian.
Harga barang komoditi jauh di bawah harga komoditi yang sama di desa tetangga. Keadaan itu, tidak saja mendedahkan hidup mereka, tetapi juga kadang mereka direndahkan.
Itulah sebabnya, belakangan ada semacam gerakan moral sejumlah masyarakat Desa Golo Nderu. Mereka menginvestasi gengsi atau pembelian martabat.
Ramai-ramai membeli tanah di desa tetangga (Rana Mbeling) yang terbilang akses jalan raya sangat baik. Bahkan sebagian membeli tanah di Borong (ibu Kota Kabupaten Manggarai Timur). Penginvestasian itu sesungguhnya usaha untuk memecat diri dari julukan ata wao mai (orang dari timur).
Di sana ia diakui sebagai ata (orang) dalam pengertian yang luas (kaya dan berpengaruh). Dengan kata lain, ia perlahan mengundurkan diri ata pale awon (orang paling timur) sebagai konotasi orang jauh.
Desa itu terus saja menyinyir kenyataan tandingan. Semisal, meski jalan raya begitu buruk menuju desa itu, tetapi mereka membeli truck, puluhan kendaraan roda dua untuk mengarungi jalan seburuk itu.
Jika mereka cuek dan acuh tak acuh sampai mengancam menyegel desa itu, sesungguhnya sebagai ekspresi bahwa merindukan kemajuan adalah juga penderitaan. Sebab, yang paling subur di sana adalah janji yang taruh di di tangan angin itulah.
Penulis Adalah Dosen,Kepala Pusat Studi Kebudayaan dan Pariwisata Undana