Hakikat Akad Kredit Itu Distribusi Kepentingan Hak dan Kewajiban Kreditur & Debitur Secara Proporsional

  • Bagikan
Dr.Hironimus Buyanaya, SH.M.Hum

LARANTUKA-DELEGASI.COM–Hakikat Kontrak atau Perjanjian (Akad Kredit) adalah distribusi kepentingan para pihak Kreditur dan Debitur, dalam wujud hak dan kewajiban secara proporsional.

“Artinya, bahwa pernyataan kehendak dalam perjanjian kredit harus datang dari dua pihak.

Tidak hanya dari salah satu pihak saja.

Memang, dalam kontrak/akad tidak diatur tentang keadaan memaksa (force majore) sebagai keadaan yang dapat menghalangi pelaksanaan perjanjian ini.

Padahal, perjanjian dibuat juga berdasarkan kebiasaan,”ulas Dr. Hironimus Buyanaya,SH.M.Hum, lebih jauh dalam membedah Akad Kredit antara PT.Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bina Usaha Dana Larantuka dengan Peminjam Richardus Ricky Leo, dimana Pasal 8 Akad Kredit ini, yang menjadi alasan PT.BPR Bina Usaha Dana Larantuka menyita aset peminjam.

Ahli Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (UNDANA) ini bahkan menegaskan, oleh karena itu, keadaan memaksa harus dimuat dalam Akad Kredit.

“Iyah, tapi meski tidak dimuat, tetapi tetap dibaca sebagai kebiasaan sekaligus menjadi landasan perlindungan hukum bagi pihak Debitur.

Atas dasar ini, norma sanksi atau tindakan hukum BPR Larantuka seperti sita dan lelang harus berlandaskan pada keadaan memaksa, yang harus dibuktikan, adanya itikad baik, selain wanprestasi.

Wanprestasi juga harus berlandaskan atas keadaan memaksa dan itikad baik,”papar Alumnus Doktor Hukum Administrasi Negara, Universitas Airlangga, Surabaya ini lebih jauh.

Menurutnya, keadaan memaksa juga mesti dijadikan sebagai alasan untuk melakukan Rescedul pembayaran.

“Debitur alami kecelakaan, lalu alami situasi Pandemi Covid-19.

Apalagi, ada kebijakan Presiden Joko Widodo terkait Restrukturisasi dan Stimulus Perekonomian di masa Pandemi Covid-19.

Nah, Resceduling pun menjadi satu sarana hukum perlindungan Debitur karena keadaan memaksa tersebut,”pungkasnya lagi.

Olehnya, Dr. Hironimus Buyanaya, SH.M.Hum, juga Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum UNDANA ini, menilai Akad kredit yang dibuat PT.BPR Bina Usaha Dana Larantuka itu tidak utuh, lemah dan bertentangan dengan kebiasaan sebagai landasan dalam berkontrak.

Selain itu, sita dan lelang aset juga harus berlandaskan pada alasan keadaan memaksa yang harus dibuktikan Debitur.

“Sebab, Sita dan lelang aset tidak semata-mata berdasarkan bunyi kontrak.

Karena tujuan hukum selain kepastian, juga keadilan,”timpalnya, mengingatkan.

Karena itu, dengan kasus seperti ini, sarannya, Negara harus hadir lewat Otoritas Jasa Keuangan (OJK), melakukan intervensi, dalam hal ini membentuk pengawasan atas kontrak-kontrak baku yang cenderung merugikan Debitur, yang kontaknya diatur tidak adil.

Hal ini sejalan dengan visi misinya BPR, yang ikut membantu perekononomian rakyat kecil dan keselamatan ekonomi negara.

(Delegasi.Com/BBO)

Komentar ANDA?

  • Bagikan