“Kita sebagai orang Adonara memiliki keyakinan tradisional bahwa hak-hak kepemangkuan sebagai mandat dari alam itu sendiri (disebut oiasa bukan usuasa) biasanya memiliki daya untuk berbenah karena mendapat restu alam sebagai tempat berpijak (Lewotana). Dan upaya mengembalikan hak kepemangkuan kesulungan dan hak-hak kepemangkuan lainnya sesuai mandat alam, sesungguhnya perlu kita perjuangkan bersama sehingga dapat memberikan kesejukan pada para penghuni tanah Adonara”
Dr. Keron A. Petrus
Tulisan ini merupakan seri terakhir dari rangkaian tulisan Mengenal Lebih Dekat Ekologi Budaya Masyarakat Adonara. Tujuan mendasar dari rangkaian tulisan berseri ini adalah terjadinya ruang dialog untuk menemukan keberdaan sejarah menurut budaya Lamaholot-Adonara.
Memang, masih banyak warisan tutur terkait sejarah Adonara dalam pandangan budaya Lamaholot-Adonara yang perlu diuraikan. Namun tidak mungkin semuanya melalui tulisan. Ada bagian tertentu yang perlu diuraikan (dituturkan) secara langsung.
Menyadari adanya beragam versi, saya tetap berharap, akan muncul versi lain sebagai media dialog untuk menemukan alur tutur yang sesungguhnya. Saya bertanggung jawab terhadap semua yang telah diuraikan.
Salah satu aspek penting terciptanya tertib sosial, harmonisasi relasi dengan alam tempat berpijak (Lewotana) dalam budaya Lamaholot-Adonara adalah mendudukan orang pada posisinya. Dalam tulisan ini, posisi yang dimaksud adalah posisi kesulungan dengan hak kepemangkuan (sulung) yang melekat padanya. Posisi dan hak kepemangkuan tersebut merupakan dasar untuk menentukan hak-hak kepemangkuan dan pewarisan kepada generasi selanjutnya.
Pada seri sebelumnya (seri 3) telah diuraikan keturunan dari Kewae Sedo Bolen dan Kelake Ada Pehan ada 7 orang, semuanya laki-laki. Ado Bala adalah putra sulung (weruin) maka menurut budaya Lamaholot-Adonara Ado Bala adalah pemangku kesulungan Adonara. Karena itu, harus diketahui garis keturunan dari Ado Bala untuk kepentingan pewarisannya.
Warisan tutur yang diamanatkan hanyalah garis keturunan Ado Bala sebagai pemangku kesulungan. Dalam uraian ini dibatasi sampai generasi keempat. Pertimbangannya, generasi selanjutnya mudah ditelusuri.
Warisan tutur menjelaskan, Ado Bala (generasi pertama) menikah dengan Lipa Kiden. Putra tunggal mereka bernama Sili Labantara (generasi kedua). Kewae, memberinya julukan sebagai Kia Keleka Soni Soba Sayang, sapaannya, Kia Soba Sayang. Julukan ini diberikan oleh Kewae karena dimandatkan hak kepemangkuan tertentu. Di samping itu, Kia Soba Sayang juga diwarisi hak kepemangkuan sulung yang melekat padanya sebagai anak tunggal.
Kia Soba Sayang, menikah dengan Uba Tada. Putra dari hasil pernikahan mereka adalah Demon Koda (generasi ketiga). Demon Koda, kemudian menikah dengan Tuto Nepa, lahirlah Kia Soni (gerenasi keempat).
Warisan tutur selanjutnya menjelaskan, sejak generasi Ado Bala hingga Demon Koda tidak mudah mendapat jodoh (menikah). Dan, ketika menikah pun selalu dikaruniai anak tunggal laki-laki. Hal ini disebabkan warisan tutur tertentu yang dinilai “panas” (koda pelate’). Warisan tutur tersebut tidak lagi diturunkan ke generasi selanjutnya.
Tidak dapat dipungkiri, warisan tutur yang disampaikan ini menimbulkan banyak pertanyaan. Bagaimana dengan jejak keturunan ke enam saudara Adobala yang lain? Bagaimana pula dengan warisan hak-hak kesulungan dan hak-hak kepemangkuan lainnya?
Kita sebagai orang Adonara memiliki keyakinan tradisional bahwa hak-hak kepemangkuan sebagai mandat dari alam itu sendiri (disebut oiasa bukan usuasa) biasanya memiliki daya untuk berbenah karena mendapat restu alam sebagai tempat berpijak (Lewotana). Dan upaya mengembalikan hak kepemangkuan kesulungan dan hak-hak kepemangkuan lainnya sesuai mandat alam, sesungguhnya perlu kita perjuangkan bersama sehingga dapat memberikan kesejukan pada para penghuni tanah Adonara .
Tidak mudah memang, tetapi jika kita bersatu untuk Adonara maka Alam, Leluhur dan Alapet Rera Wulan akan merestuinya.
Dalam spirit persaudaraan, mari kita Himpun yang Belum Terurai untuk Adonara. Saya secara terbuka mengharapkan adanya warisan tutur garis keturunan dari Kewae Sedo Bolen dan Kelake Ado Pehan, khususnya Ado Bala versi lain. Dalam posisi ini, tentu saja tidak boleh saling mengklaim. Perlu dialog untuk menemukan yang sesungguhnya.
“Sejarah adalah Identitas, karena itu semua orang merasa berkepentingan terhadapnya” ***
Penulis adalah Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) NTT
Belgia adalah negara yang kaya akan budaya dan sejarah, salah satu keindahan destinasi wisata yang…
Delegasi.com - Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Rote Ndao kembali mengambil langkah maju dalam penguatan…
Delegasi.com - Bawaslu Kabupaten Kupang langsung menanggapi laporan dugaan Politik Uang yang dilakukan salah satu…
Delegasi.com - Tokoh aktivis perempuan dan lingkungan hidup Nusa Tenggara Timur (NTT), Aleta Baun mengatakan…
Delegasi.com - Insiden mengejutkan terjadi saat kampanye dialogis pasangan calon gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT)…
Delegasi.com - Kelompok Mahasiswa di Kota Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) yang tergabung dalam…