Ibunya Ngidam, Hirup Asap Knalpot Oto

Avatar photo
Foto: Sr. Modesta Mudaj bersama Keluarga.

DELEGASI. COM–LAHIR dari sebuah keluarga sederhana di Kecamatan Amabi Oefeto Timur, Kabupaten Kupang. Kedua orangtua Sr Modesta Mudaj CSSM, Klemes Laga Mudaj dan Margaretha Genere Benolo, petani sederhana. Sr Desta, begitu ia disapa, lahir dan besar hingga menyelesaikan SD-SMA di Kenam. Masih remaja, ia menggantungkan cita-cita menjadi suster biarawati, guru Agama atau pengusaha. Dua cita-cita terakhir kandas. Ia memilih pertama.

Baca Juga:

Sambung Rasa, KORAMIL 02/Adonara Bangun Pos RAMIL Sagu

Tak pernah terbayang dalam benak Sr Modesta Mudaj CSSM menjawabi panggilan hidup membiara. Namun, rencana dan kehendak Tuhan terjadi tatkala biarawati dari Kongregasi Compassionist Sisters Servant of Mary (CSSM) atau Suster-suster Kompassionis Pelayan Maria menjawab kehendak Tuhan untuk mengabdi di jalan-Nya bagi umat dan sesama dalam tugas dan karya perutusan.

Foto: Sr. Modesta Mudaj, CSSM

 

Suster Modesta Mudaj CSSM adalah putri pasangan petani sederhana Klemes Laga Mudaj dan Margaretha Genere Benolo di Kenam, Kabupaten Kupang, Pulau Timor. Klemes berasal dari Dusun Kluang, Desa Belabaja, Nagawutun, Lembata. Masa SD hingga SMP ia habiskan di Kluang (Boto) kampung halamannya. Meski sang ayah merantau ke Oemofa, Klemes memilih sekolah SD-SMP di kampung halaman sebelum kembali ke Oemofa.

“Putri saya ini memilih jalan hidupnya sebagai suster biarawati. Sebagai orangtua, kami tentu sangat mendukung,” kata Klemes tatkala kami ngobrol di sela-sela sang putri, Sr Desta Mudaj CSSM berlibur di Kenam sebelum kembali ke Ruteng, Keuskupan Ruteng, Flores, tempat biarawati ini melewati jenjang pembinaan sebagai calon suster biarawati.

Baca Juga: Padre Marco,SVD: PWKI, Jadilah Hamba Roh Kebenaran, Garam Dan Terang Dunia

Suster Modesta mengisahkan, ia lahir pada Kamis, 30 Desember 1990 di Kenam, Kecamatan Amabi Oefeto Timur, Kabupaten Kupang, Keuskupan Agung Kupang, Nusa Tenggara Timur. Orangtuanya, Klemes Laga Mudaj-Margaretha Genere Benolon. Sebuah keluarga Katolik sederhana. Klemes bersama kakak serta adiknya lahir dan besar di Oemofa setelah sang ayah merantau di kampung itu sejak masih muda.

“Selama ibu mengandung saya, ibu ngidam, suka menghirup asap dari knalpot mobil, sesuatu yang unik baginya. Kebiasaan itu berlangsung selama usia kehamilan ibu mulai nol hingga sembilan bulan atau menjelang saya lahir. Saat lahir, saya diberi nama Melania, dari orang-orang yang membantu kelahiran saya. Namun, nama Melania tak direstui kedua orangtua dan tante,” kata Sr Desta Mudaj CSSM.

Setelah berusia tujuh bulan, ia dipermandikan di Stasi St Gregorius Agung Oemofa, Paroki Sta Maria Orang Miskin Noelmima, Keuskupan Agung Kupang kemudian diberi nama baptis: Meliana Modesta Mudaj. Masa kecilnya, ia lewati dengan mengikuti pendidikan di SD Inpres Kenam. Sekitar usia 11 tahun, ia punya lebih dari satu cita-cita. Misalnya, menjadi suster biarawati, guru Agama, dan pengusaha.

Aktif di Gereja

Sr Desta mengisahkan, sejak di SD ia selalu aktif sebagai putra-putri altar di Paroki St Gregorius Agung Oemofa. Selama menunaikan aktivitas sebagai putra-putri altar, benih panggilan menjadi suster biarawati mulai tumbuh. Kala melihat penampilan seorang suster biarawati, mulai tumbuh benih panggilan menjadi suster biarawati. Penampilan suster biarawati dengan baju putih terlihat begitu anggun kemudian menawan hati si gadis Desta.

Seiring perjalanan waktu, setelah menyelesaikan sekolah dasar tahun 2008, ia melanjutkan sekolah di SMP Negeri 1 Aot Oemofa. Masuk SMP Negeri itu, ia belajar dan melewati waktu bersama teman-teman penuh sukacita. Lambat laun, keinginan menjadi suster biarawati hilang. Ia tumbuh sebagai remaja yang suka bergaul dengan teman-teman yang kebanyakan anak-anak dari desa-desa sekitarnya. Rasa solidaritas dan merasa sebagai sesama saudara tumbuh di antara mereka.

Setelah tamat SMP Negeri 1 Aot tahun 2011, ia masuk SMA Negeri 1 Aot Kenam. Selama menimba ilmu di sekolah itu, panggilan menjadi suster biarawati tumbuh kembali. Panggilan itu muncul setelah ia bertemu dengan seorang suster biarawati Dominikan. Waktu berlalu tanpa ia sadari, namun panggilan menjadi suster biarawati timbul tenggelam.

“Kala itu, sebagai remaja puteri saya jalani hidup alamiah. Selama tujuh tahun lebih sejak SMP hingga SMA, saya percaya Tuhan tak pernah membiarkan benih panggilan dalam hati saya itu redup. Meskipun selama itu, saya berada dalam lingkungan pergaulan bersama teman-teman seusia saya. Kadang hidup bebas bersama teman-teman, menenggelamkan niat saya menjadi suster biarawati,” kenang Sr Desta.

Setamat SMA, ia mulai bingung untuk menentukan pilihan apakah melanjutkan kuliah atau memantapkan panggilan menjadi biarawati. Kala itu, ia harus memutuskan memilih satu jalan. Namun, suara hatinya lebih dominan: menjadi pelayan Tuhan melalui kehidupan membiara. Apalagi dikuatkan dengan informasi dari Fr Markos, yang pernah bertemu dan sharing soal panggilan.

Suatu waktu, Frater Markos menginformasikan bahwa dalam tak lama lagi ada kunjungan sejumlah suster biarawati dalam rangka liburan. Para suster itu mengabdi di Flores. Kalau ia punya niat hidup membiara, Fr Markos bersama para suster itu akan membantu agar bergabung di Kongregasi para suster itu.

Setelah mantap memutuskan untuk masuk biara, Sr Desta menyampaikan niatnya kepada kedua orangtua. Puji Tuhan. Kedua petani sederhana ini merestui niat dan pilihan hidup putri mereka. Setelah memutuskan masuk biara, awalnya ia tak pernah memiliki bayangan tentang kehidupan atau aktivitas para suster di balik tembok biara.

“Pada 27 Mei 2015, saya bertemu Sr Reti. Saat bertemu, terlintas pertanyaan dalam benak. Masa suster kok tidak berkerudung? Bukankah para suster mesti berkerudung sebagaimana saya lihat sebelumnya selama ini? Pertanyaan dalam hati itu akhirnya menyadarkan saya bahwa menjadi suster hingga mengenakan kerudung melewati proses yang pembinaan panjang dan berjenjang. Mulai dari tahapan pengenalan hingga mengenakan kerudung,” ujarnya.

Masuk Biara CSSM

Pada 28 Mei 2015, ia bersama sejumlah teman calon suster menumpang kapal dari Kupang menuju Aimere, Flores kemudian lanjut Ruteng, kota Kabupaten Manggarai, Keuskupan Ruteng. Tiba di Ruteng pada 29 Mei 2015 di Biara Compassionist Sisters Servant of Mary (CSSM) atau Suster-suster Kompassionis Pelayan Maria. Awalnya, ia agak sulit menyesuaikan diri dengan kehidupan biara. Pun cara dan lingkungan hidup yang baru. Rasanya semua serba baru.

Misalnya, kalau sebelumnya susah bangun pagi, kini harus bangun tepat waktu. Kalau dulu, malas berdoa, ia bersama teman-teman harus khusuk dalam doa di setiap waktu yang diatur pimpinan. Nah, tatkala berada di dalam biara, ia dituntut belajar menyesuaikan diri, hidup teratur sesuai aturan biara. Misalnya, bangun lebih awal untuk berdoa, mengikuti Perayaan Ekaristi, bekerja, belajar dan mengikuti kegiatan lainnya.

“Lewat semua aturan biara membawa saya pada sebuah refleksi bahwa ada nilai yang sangat berharga di balik semua itu. Nilai itu yaitu panggilan untuk menyesuaikan hidup saya dengan hidup Tuhan. Hari-hari berlalu tanpa terasa. Setahun telah saya lewati masa pengenalan yakni pengenalan diri sendiri. Pengenalan terhadap lingkungan maupun teman sekomunitas, terutama pengenalan akan Dia yang memanggil saya mengikuti jalan-Nya,” ujar Sr Desta.

Setelah melewati Masa Aspiran, ia memasuki tahap berikut yaitu postulan. Selama masa postulan, ada banyak pengalaman, kesulitan, tantangan maupun godaan yang dialami. Namun, diakuinya, semua itu adalah sarana untuk menyemai motivasi mewujudkan panggilan Tuhan. Setelah melewati masa postulan ia memasuki tahap berikut yaitu masa novisiat tahun pertama. “Kalau Tuhan merestui, tak lama saya akan menjalani Misi di Napoli, Italia. Kita saling doakan agar nama Tuhan dimuliakan melalui tugas perutusan di tempat baru nanti,” katanya.

Jakarta, 26 Januari 2021
Oleh: Ansel Deri

 

Komentar ANDA?