DELEGASI.COM, MATARAM – International Women’s Peace Group (IWPG) Indonesia mengadakan Peace Lecturer Training Education (PLTE) dengan sejumlah Aktivis LSM di NTB yang berpusat di UIN Mataram Kota Mataram, Selasa 22 Februari 2023 lalu
Program Pelatihan ini dimaksudkan untuk para pendidik yaitu Pelatihan Pengajar Perdamaian’ untuk membuat miliaran perempuan bersatu dalam perdamaian dan untuk semua perempuan di seluruh dunia untuk belajar dan mempraktikkan semangat perdamaian.
BACA JUGA :
IWPG Jalin Kerja Sama dengan Jaringan LSM di NTB
Ketua IWPG: Konferensi Perdamaian sebagai Momentum Membangun Perdamaian di Filipina
Demikian dikatakan Branch Manager IWPG Indonesia, Ana Milana melalui rilis IWPG Indonesia yang terima Redaksi DELEGASI.COM, Minggu, 26 Februari 2023.
Penyataan itu disampaiakan Ana Milana saat pertemuan dengan sedikitnya 25 LSM di NTB dalam rangka jalinan kersama dengan IWPG guna mencapai perdamaian duni di Kampus UIN Mataram Kota Mataram, Rabu 23 Februari 2023.
Dalam rilisnya itu Ana Milana menjelaskan pembelajaran bisa dilakukan fleksibel untuk peserta pelatihan dua kali seminggu, selama lima minggu. Disiapkan 10 kurikulum pelatihan, tugas dan pengumpulan tugas.
“Metodenya dilakukan secara home-schooling dengan menonton pembelajaran dalam bentuk video dalam dalam Youtube yang mudah diakses,” jelas Ana.
Untuk membahas setiap modul pelajaran, lalu digelar pertemuan secara daring bersama peserta-peserta lain.
“Di sana dibahas, apa yang saya dapat, saya rasakan, dan saya pikirkan ketika melihat video pembelajaran tersebut. Dalam diskusi tersebut, akan banyak hal baru yang dipelajari di luar video yang dilihat,” ungkapnya.
Jumlah murid dibatasi lima orang dalam satu kelas. Diskusi sebatas satu jam karena kesibukan setiap peserta kelas. Satu instruktur memandu murid untuk berbicara masing-masing 10 menit, untuk menyampaikan pendapat mereka setelah menyaksikan video tersebut, dan ditutup dengan menyimpulkan bersama-sama.
“Penugasan/ PR juga diberikan agar dapat dilihat seberapa baik materi itu bisa diterima oleh peserta. Setelah lulus dan menyelesaikan semua tugas yang diberikan, peserta akan mendapatkan sertifikat dan fasilitas untuk pengajar,” kata Ana
Diharapkan, para lulusan setidaknya bisa mengajarkan perdamaian minimal untuk keluarga sendiri.
“Sumber perdamaian dimulai dari diri sendiri. Berkembang jadi budaya, kita bagikan kepada orang sekitar kita,” demikian penjelasan Ana.
Komentar Aktivis
Pada kesempatan itu, Ibu Nurul, aktivis LSM Solidaritas Perempuan Mataram mengapresiasi kedatangan IWPG ke Mataram yang ingin memperkenalkan IWPG dan membagikan tujuan yang ingin dicapai tentang perdamaian, yang diyakini bisa tercapai atas kerja keras semua orang.
“Kalau sendiri atau pribadi tidak mungkin terjadi. Perlu dukungan para LSM untuk sama-sama
menciptakan perdamaian, lingkungan terdekat dulu, kota tempat tinggal,” kata alumni PLTE IWPG tersebut.
Yang terpenting menurutnya bagaimana cara untuk menyamakan arti atau defenisi perdamaian itu sendiri, terlebih dahulu.
“Bagi suatu LSM, topik perdamaian bukan sesuatu yang baru. Setiap LSM punya isu perdamaian. Karena itu, sesama aktivis LSM, baik secara pribadi maupun lembaga, perlu saling berbagi dan diskusi,” katanya.
Saleh, aktivis Pusat Bantuan Hukum Buruh Mitra mengatakan, “Bicara tentang perdamaian adalah sesuatu yang sangat menyenangkan. Bagaimana indahnya hidup ke depan, tanpa ada pertikaian. Saya senang hadir di sini,” ungkapnya.
Menurutnya, NTB jauh dari perdamaian.
“Menurut kami semua agama bukan sama, tetapi ada keyakinan yang sama bahwa perdamaian bisa tercapai. Ahmadiyah sendiri sudah hadir 16 tahun di NTB, tetapi tidak mendapat kedamaian. Kami diusir, rumah kami dibakar, sampai sekarang masih belum tuntas.
Dia sendiri mengakui, selama 16 tahun hidup di satu tempat yang jauh dari damai.
“Gak usah jauh-jauh ke Rusia dan Ukraina, hidup warga antarkampung pun masih jauh dari damai.
Di antara aktivis pun jauh dari perdamaian, ada banyak intrik. Kami sendiri bermimpi kedamaian,tetapi antara kami sendiri tidak terjadi kedamaian. Itu mengapa kami hadir di sini, mau dapat perdamaian yang hakiki,” katanya.
Dipaparkan oleh beliau bahwa saat ini masih sering terjadi konflik antar agama maupun antar kelompok di NTB, bahkan antar kampung, warga bisa saling bunuh, saling bakar.
“Mudah-mudahan ada kedamaian di masa depan,” harapan beliau.
Badarudin dari LSBH NTB mengatakan, konflik itu harus disudahi untuk meraih perdamaian. “Ibaratnya, satu pohon dipotong baru tumbuh tunas,” katanya.
“Apa itu kedamaian? Bagaimana cara meraih kedamaian itu. Banyak pengetahuan. Ada motif dan tujuan menciptakan kedamaian melalui perang. Negara mengobarkan perang dengan tujuan menemukan perdamaian. Namun, ada cara damai dengan bicara secara kekeluargaan, kesepakatan dan berpihak kepada kedua belah pihak untuk mencapai keadilan,” katanya.
Dia menuturkan, ada perbedaan antara menggibah orang dengan menilai orang.
“Ada perbedaan yang tajam, menilai hanya sekedar mengetahui siapa orang itu. Tetapi kalau menggibah, itu artinya sangat benci kepada orang tersebut,” katanya.
“Bagaimana menciptakan suatu perdamaian kalau kita saja tidak menerima perbedaan? Saya ingin tanyakan dalam forum ini, apakah bisa perdamaian itu bisa hadir di tengah ketidakadilan dan ketidakbenaran?” katanya.
Ada beberapa kasus agama yang sedang santer di NTB. Kelompok mayoritas menghajar sekelompok minoritas. Beribadah pun dilarang. Artinya, kedamaian di NTB ini situasinya tidak
baik baik saja, sedang tidak damai. “Apakah kita sedang nyaman dengan ketidakdamaian ini? Tidak ada manusia yang tidak menginginkan perdamaian,” katanya.
Ibu Dwi Suciana, LSM Mitra Samya mengatakan tentang filosofi FingerPeace, dibentuk dari dua jari yang bentuknya berbeda dan fungsinya berbeda-beda. Demikian halnya di lingkungan kehutanan sebagai konsentrasi LSM tersebut.
“Konflik terjadi akibat regulasi, ada pembedaan regulasi pusat, provinsi, kabupaten, desa, memicu riak-riak ketidakamanan dan ketidaknyamanan,” katanya.
“Wilayah dampingan kami, bisa terkontrol dengan baik. Karena kearifan lokal. Untungnya bisa mengendalikan,” katanya.
Beliau tertarik mengikuti PLTE. “Alangkah baiknya berkomitmen mengikuti home schooling perdamaian ini secara utuh,” katanya.
Saat kasus pandemi, kita semua diuji, dari strata tertinggi hingga terendah. Tanggung jawab sebagai orang jaringan bisa meluruskan masalah yang merebak di tengah masyarakat.
“Yang saya temui Dompu, Bima, aman-aman saja. Konflik di tingkat masyarakat masih terkontrol, perang yang terjadi adalah perang regulasi. Kami masih terus belajar tentang perdamaian ditingkat tapak,” katanya.
Ibu Selly Sembiring dari Koalisi Perempuan Indonesia wilayah NTB mengatakan, “Kata damai itu memang sesuatu yang sulit dicapai. Klien-klien kami, dari kalangan perempuan dan anak menderita sekali tanpa kedamaian akibat konflik dari dalam rumah tangga sendiri, tetangga, dan masyarakat yang jauh dari rasa damai. Banyak kasus yang tidak masuk akal, suami menjual istri. Itu nyata. Istri hanya penjual bensin dan rokok di pinggir jalan, namun hasil penjualannya diambil oleh suami. Tak cukup sampai di situ, istrinya dijual lagi ke pria lain, untuk dapat uang, lalu uangnya diambil untuk main judi. Ada beberapa kasus seperti itu.”
LSM yang khusus mendampingi perempuan dan anak ini bisa menangani beberapa kasus yang sama dalam setahun.
“Bahkan, delapan tahun belakangan ini, sepenuh waktu kami hanya mengurusi perempuan yang mengalami ketidakdamaian dalam rumah tangganya,” katanya.
“Sering kali agama tidak mampu berperan sebagai pendamai, sebab agama dalam lembaga, masih mengedepankan lembaganya masing-masing.
Demikian halnya di kalangan LSM. Padahal sebenarnya, kita bisa sama-sama menyelesaikan masalah dengan jaringan luar biasa yang kita jalin, yang jauh lebih baik dari sebelumnya,” ungkapnya.
//delegasi(**/tim)