“Untuk mengeliminasi penguatan keutamaan rekruitmen politik pada basis sumber daya alokatif atau logistik yang biasanya didominasi para pemilik modal yang mengabaikan parpol maupun pemerintah, dibutuhkan idiologisasi desain institusi demokrasi yang memberi ruang bagi rekrutmen sumber daya otoritatif atas kepribadian (watak, integritas) dan kemampuan bagi kaum muda”
Marsel Tupen Masan (Mantan Ketua Pemuda Katolik Komda NTT)
DELEGASI.COM – Ruang kebangsaan kita hari ini, memang mempertontonkan kehidupan yang menurut Yudi Latif, “berdemokrasi tanpa kedalaman” (Kompas 16/4/2013).
Dikatakan bahwa demokrasi Indonesia saat ini tengah memenuhi sisi negatif dari poliarki yang dibayangkan Aristoteles, yakni: pemerintahan mediokritas yang didarahi praktik politik kotor di bawah penguasaan uang. Bawaan negatif ini memang tidak terhindarkan, karena demokrasi Indonesia dirayakan oleh kedangkalan, tanpa ada ruang bagi kedalaman etika dan penalaran.
Padahal demokrasi beradab sesungguhnya berdiri di atas sendi-sendi negara hukum (nomokrasi), dimana hukum yang sehat berenang di kedalaman samudra etika.
Hukum dan konstitusi hanya bisa di jalankan sejauh ada penghayatan dan komitmen etis yang kuat.
Tanpa kedalaman etika, hukum berhenti sebagai formalitas prosedural dan hampa substansi keadilan.
Demokrasi tanpa kedalaman, seperti dalam aliran sungai.
Hal-hal sepele dan ringan, dibiarkan mengambang di atas permukaan, sedangkan hal-hal berat dan berbobot di tenggelamkan.
Politik sebagai ruang penampakan dan pemindahan kekuasaan lebih dihiasi etiket, sedangkan substansi etika sebagai kebajikan hidup bersama, dikaramkan oleh ketiadaan fatsun politik.
Jejak pelanggaran etika politik bisa dilacak pada ruang ketergelinciran hukum dan politik karena komunikasi transaksional, yang membuat publik tidak percaya pada negara hukum.
Jika negara hukum tidak bisa di percaya, orang akan mencari keadilan dengan caranya sendiri, dan pihak-pihak yang menguasai sarana kekerasan dapat membuat demokrasi jadi anarki dan tirani.
Kasus polisi bunuh polisi, hanyalah salah satu riak dari suatu krisis demokrasi-nomokrasi yang lebih mendalam, yang bertali temali dengan merosotnya kualitas nalar publik, dan kesulitan kita dalam merubah mentalitas budaya dan masyarakat kita dalam menerima perpindahan politik di Indonesia dari satu rezim ke rezim yang lain.
Sejarawan Inggris, Arnold Toynbee mengatakan: muncul serta tumbuhnya sebuah peradaban buruk disebabkan oleh “Challenge and response”.
Challenge adalah keadaan-keadaan yang sangat buruk, sedangkan response merupakan jawaban terhadap persoalan yang buruk itu.
Keadaan buruk, terkait dengan praktik-praktik sosial, cara pandang, sistem pengorganisasian, interaksi kekuasaan dan norma yang berlaku.
Padahal perubahan peradaban di Indonesia terjadi sejak proklamasi kemerdekaan hingga reformasi.
Namun hingga hari ini, bangsa ini belum melakukan pemindahan kebudayaan dan pergantian masyarakat kolonial ke masyarakat berkebangsaan baru yang dicita-citakan para pendiri bangsa.
Mentalitas terjajah yang ditandai dengan kemalasan, betah bodoh (tidak mau belajar, egois, suka jalan pintas, bajing loncat, suka berbohong), senang sendiri dalam sikap hedonis baik dalam berpartai dan kekuasaan adalah realitias kekinian kita pasca reformasi.
Bagaimana merubah mentalitas budaya dan masyarakat kita dewasa ini adalah tugas utama kaum muda.
Pertama, tugas utama hari ini adalah melahirkan pemikiran-pemikran baru dan cerdas melalui kelompk-kelompok organisasi maupun kelompok-kelompok studi untuk mengkaji dan mendalami realitas sosial yang ada guna melakukan pemindahan kebudayaan dan masyarakat sesuai cita-cita Pancasila.
Oleh karena sejak reformasi, yang dihadirkan hanyalah kekuasaan baru dan perubahan kelembagaan negara, namun lembaga-lembaga tersebut, baik eksekutif, yudikatif dan legislatif yang menjadi personifikasi penyelenggara negara, belum menguat untuk mengayomi rakyat.
Kerja lembaga dan personalisasi kelembagaan, tidak di arahkan pada keutamaan prinsip menjaga keseimbangan peranan antara keharusan menyelenggarakan pemerintahan, dengan misi utama pelayanan publik, tetapi dimanfaatkan sebagai lahan baru pengembangan kepentingan yang sangat irasional.
Maraknya korupsi, nepotisme, kolusi, pembodohan oleh kebohongan, dinasti politik dan politik uang melalui bulan madu kekuasaan, menunjukkan para pemimpin politik yang masuk ke rimba raya politik melalui partai politik, tidak memiliki keutamaan-keutamaan moral ke arah pemindahan kebudayaan dan masyarakat secara berkeadaban.
Perjalanan peradaban bangsa kita hendaknya senantiasa terdeteksi, untuk menuntun kaum muda mengembangkan komitmennya pada keaktualan permasalahan kebangsaan hari ini.
Sehingga mampu mengembangkan idealisme perubahan dan pembaharuan di masa yang akan datang atas ruang dan perjalanan waktu di masa yang akan datang.
Kedua, untuk problem yang tengah menimpah bangsa, di butuhkan keberanian moral kaum muda, terutama mahasiswa, untuk membentuk sikap kritis profetis dalam melihat realitas kehidupan politik bangsa dan negara.
Meningkatnya kepemimpinan mahasiswa, baik melalui organisasi intra maupun ekstra kampus, dapat memungkinkan munculnya kelompok elite baru (elite menengah) yang langsung maupun tidak langsung dapat melakukan pembaharuan terhadap realitas kehidupan kebangsaan kita dewasa ini.
Kita membutuhkan kaum muda yang mampu mengembangkan kreatifitasnya dalam masalah hukum, politik, ekonomi, budaya bahkan pendidikan.
Hal ini dapat memindahkan kebudayaan dan masyarakat Indonesia dari keterjajahan oleh kekuasaan yang tidak mensejahterahkan rakyat dan dehumanisasi dunia teknologi yang mengancam kehidupan spiritual bangsa kita.
Kita juga merindukan pemikiran kritis kaum muda untuk melakukan koreksi kritis pada kepemimpinan politik di daerah-daerah yang tidak mengedukasi rakyat.
Tetapi melitanikan harta dan uang dalam rumah-rumah ambisi politik, sampai merendahkan rakyat oleh arogansi kekuasaan.
Konfigurasi ini, dapat menjadi acuan pijak generasi muda untuk membangun wawasan kekinian dalam model pembelajaran guna meningkatkan peradaban intelektual, bagaimana membangun bangsa dan negara secara berkeadaban di masa depan.
Pertama, segala keburukan dan kedangkalan yang tercipta, harus menjadi orientasi nilai dan habitus baru untuk melahirkan generasi baru yang memiliki kapasitas intelektual dan kapasitas iman.
Ini sebagai modal spiritual mengembangkan penalaran secara jernih dan mendalam pada kemuliaan kepentingan bersama dan berdemokrasi secara berkeadaban.
Salah satunya adalah idiologisasi desain institusi demokrasi yang memberi ruang bagi rekrutmen sumber daya otoritatif atas kepribadian (watak, integritas) dan kemampuan.
Hal ini untuk mengeliminasi penguatan keutamaan rekrutmen politik pada basis sumber daya alokatif atau logistik dewasa ini, yang didominasi para pemilik modal, sehingga penguatan institusi baik parpol maupun pemerintahan, sering terabaikan.
Oleh karena terjadi pemujaan berlebihan pada budaya kedangkalan dan pada interes-interes material dan praktis.
Inilah tantangan generasi muda hari ini, dalam mengupayakan rekrutmen kader masa depan bangsa pada kapasitas kepemimpinan yang terukur dari pengalaman berorganisasi, berpolitik maupun bekerja.
Kedua, generasi muda sebagai institusi sosial adalah keseluruhan bentuk dan struktur sosial yang selalu ada dan dibangun dalam setiap ruang generasi.
Agar menjadi kekuatan utama penciptaan perubahan dan pembaharuan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Melalui organisasi pembinaan (pemuda, mahasiswa), maupun organisasi profesi maupun politik, warga bangsa merindukan lahirnya kader-kader politik yang memiliki nalar murni.
Sehingga dapat melahirkan pemurnian budaya politik pada institusi-institusi yang di bangun.
Oleh karena budaya politik, dapat memberikan panduan kontrol bagi perilaku politik yang efektif dalam prinsip-prinsip kesantunan politik berupa:
1) integritas, kejujuran dan ketulusan dalam mendefinisikan situasi dimana tindakan politik berlangsung;
2) Independesnsi, dalam arti tindakan politik, baik individu maupun kolektif yang dilandasai oleh nurani dan kesadaran tentang apa yang diyakininya paling benar, paling baik, dan paling bermanfaat.
3) Prinsip untuk tidak berbuat jahat dan melecehkan atau menyengsarakan individu atau kolektivitas masyarakat warga; 4) Prinsip keadilan, yang menuntut agar institusi tidak perlu membangun sikap diskriminatif yang merugikan atau mengorbankan pihak lain.
Tantangan kita hari ini adalah: bagaimana setiap kelompok organisasi pembinaan, profesi maupun politik, disemangati untuk mengembangkan ruang kaderisasi.
Agar generasi yang terlahir hari ini memiliki kemampuan nalar dan kecakapan prediktif dalam mengkristalisasikan diri sebagai obyek dan subyek kepentingan bangsa dan negara dimasa depan. Ini pekerjaan rumah kita bersama.
Kupang, 28 Oktober 2022
Merenung di relung-relung Sumpah Pemuda