JAKARTA, DELEGASI.COM – Pengesahan Omnibus law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja oleh DPR pada Senin (5/10/2020) mengundang kekecewaan dari berbagai pihak. Kesepakatan antara pemerintah dan para wakil rakyat itu pun menuai respons dari Majelis Ulama Indonesia ( MUI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah. MUI menilai pengesahan UU Cipta Kerja di tengah ramainya penolakan masyarakat menunjukkan kesan perpolitikan Tanah Air dikuasai oligarki.
Sementara itu, NU berpendapat pengesahan UU Cipta Kerja yang seakan memaksa hingga menimbulkan resistensi publik merupakan bentuk praktik kenegaraan yang buruk. Adapun Muhammadiyah mengatakan, pihaknya sejak awal telah meminta DPR menunda bahkan membatalkan pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja yang terdapat banyak pasal kontroversial.
Berikut tanggapan MUI, NU, dan Muhammadiyah terkait pengesahan UU Cipta Kerja:
Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas menyesalkan sikap para politisi yang menyetujui disahkannya UU Cipta Kerja di tengah penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Anwar menilai pengesahan omnibus law UU Cipta Kerja menunjukkan para politisi lebih mendengarkan aspirasi segelintir orang, dibandingkan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan, UU Cipta Kerja dinilai lebih banyak mengakomodasi kepentingan pemodal dibandingkan masyarakat umum. “Jadi kesan bahwa dunia perpolitikan kita sekarang sudah dikuasai oligarki politik semakin tampak dengan jelas,” ujar Anwar, Senin (5/10/2020).
Menurut Anwar, para wakil rakyat di DPR banyak yang tersandera, sehingga cenderung tidak berani menyuarakan kepentingan publik yang lebih luas, yang sering berseberangan dengan kepentingan para pimpinan partai politik. Hal ini, lanjut Anwar, diakibatkan kekhawatiran atas pergantian antar waktu (PAW) yang mungkin dilakukan oleh pimpinan partai politik bila menunjukkan sikap berbeda.
“Sehingga akhirnya para anggota DPR tersebut lebih mendengarkan keinginan pimpinan partainya daripada mendengarkan keinginan rakyatnya,” kata Anwar. Ia menduga, pembahasan hingga pengesahan UU Cipta Kerja yang berjalan cepat, sarat dengan kepentingan. Anwar pun mendorong Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). “Sebaiknya Presiden mengeluarkan Perppu sebagai pengganti dari UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan ini agar rakyat dan masyarakat luas bisa hidup kembali dengan aman, tenang dan damai, apalagi negeri ini sekarang sedang dilanda Covid-19,” ujar Anwar, Kamis (8/10/2020). Anwar menyampaikan, kondisi seperti ini akan sangat merugikan negara jika terjadi berlarut-larut, terlebih angka pandemi Covid-19 masih terus meningkat. Ia meminta pemerintah mendengarkan tuntutan rakyat. Pemerintah, lanjut Anwar, seharusnya menjadikan kesejahteraan dan keselamatan masyarakat menjadi priotritas utama.
Ketua Umum Pengurus Besar NU (PBNU) Said Aqil Siradj menyayangkan pembahasan UU Cipta Kerja yang terburu-buru. “Nahdlatul Ulama menyesalkan proses legislasi UU Cipta Kerja yang terburu-buru, tertutup, dan enggan membuka diri terhadap aspirasi publik,” kata Said dalam keterangannya, Jumat (9/10/2020).
Ia menambahkan, pembahasan UU Cipta Kerja seharusnya diperlukan kesabaran, ketelitian, kehati-hatian, dan partisipasi yang luas dari semua pihak, mengingat mencakup perubahan puluhan undang-undang. Said menyampaikan, pengesahan UU Cipta Kerja di tengah pandemi Covid-19 dan menimbulkan penolakan dari masyarakat menjadi bentuk praktik kenegaraan yang buruk.
“Di tengah suasana pandemi, memaksakan pengesahan undang-undang yang menimbulkan resistensi publik adalah bentuk praktik kenegaraan yang buruk,” tuturnya.
Said mengatakan upaya pemerintah untuk menarik investasi dengan UU Cipta Kerja seyogyanya dibarengi dengan perlindungan terhadap hak-hak para pekerja. NU pun menyoroti pendidikan yang masuk ke dalam Pasal 65 UU Cipta Kerja. Sebab, hal tersebut berpotensi menjerumuskan pendidikan ke dalam kapilatisme. “Ini akan menjerumuskan Indonesia ke dalam kapitalisme pendidikan. Pada gilirannya pendidikan terbaik hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berpunya,” lanjutnya.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengimbau seluruh elemen masyarakat menahan diri jika merasa keberatan terhadap pemerintah karena telah mengesahkan omnibus law UU Cipta Kerja.
“Kalau memang terdapat keberatan terhadap UU atau materi dalam UU dapat melakukan judicial review. Demo dan unjuk rasa tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan akan menimbulkan masalah baru,” kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, melalui keterangan tertulis, Rabu (7/10/2020).
Menurut dia, sejak awal, Muhammadiyah meminta DPR untuk menunda bahkan membatalkan pembahasan RUU omnibus law.
“Selain karena masih dalam masa Covid-19, di dalam RUU juga banyak pasal yang kontroversial,” kata dia.
“RUU tidak mendapatkan tanggapan luas dari masyarakat, padahal seharusnya sesuai UU, setiap RUU harus mendapatkan masukan dari masyarakat,” imbuhnya. Tapi, pada akhirnya DPR tetap mengesahkan omnibus law UU Cipta Kerja.
//delegasi(kompas)
Belgia adalah negara yang kaya akan budaya dan sejarah, salah satu keindahan destinasi wisata yang…
Delegasi.com - Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Rote Ndao kembali mengambil langkah maju dalam penguatan…
Delegasi.com - Bawaslu Kabupaten Kupang langsung menanggapi laporan dugaan Politik Uang yang dilakukan salah satu…
Delegasi.com - Tokoh aktivis perempuan dan lingkungan hidup Nusa Tenggara Timur (NTT), Aleta Baun mengatakan…
Delegasi.com - Insiden mengejutkan terjadi saat kampanye dialogis pasangan calon gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT)…
Delegasi.com - Kelompok Mahasiswa di Kota Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) yang tergabung dalam…