SOE, DELEGASI.COM – Keturunan Meo Besi dan Meo Pae tak berhak menyerahkan lahan/tanah Pubabu (yang kini dikenal sebagai Besipae, red) kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT karena keduanya hanya keturunan Temukung alias Kepala Kampung dalam struktur adat Amanuban.
Demikian ditegaskan Ketua Masyarakat Hukum Adat dan Budaya Amanuban, Smarthenryk Nope SH, (dari Sonaf Sunkolo Niki-Niki, red) kepada Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) tertanggal 24 Agustus 2020 yang menanggapi proses penyerahan lahan hutan Pubabu/Besipae antara turunan Meo Besi dan Meo Pae, yakni P.R. Nabuasa, Frans Nabuasa dan Nope J.D.I. Nabuasa kepada Pemprov NTT pada tanggal 21 Agustus 2020.
“Kedudukan pihak-pihak yang menyerahkan tanah Besipae (keturunan Meo Besi dan Meo Pae, red) tanggal 21 Agustus 2020 itu dalam hukum Adat Amanuban, tidak berhak untuk menyerahkan tanah tersebut karena mereka adalah keturunan Temukung, bahkan di bawah Fetor,” tulis Marthenryk Nope, SH.
Ia mempertanyakan penyerahan lahan pada tanggal 21 Agustus 2020 dari keturunan Meo Besi dan Meo Pae kepada Pemprov NTT.
“Penyerahan kemarin tanggal 21 Agustus 2020 tersebut untuk menyerahkan tanah Besipae yang mana? Kalau penyerahan itu untuk tanah yang telah disertifikatkan, maka menjadi pertanyaan bagi kami, bagaimana tanah sudah bersertifikat lalu dibuat penyerahan hak lagi?” kritiknya.
Smarthenryk Nope dari Sonaf Niki-Niki dalam suratnya bernomor: 05/PMHA&B/VIII/2020 tersebut, juga menjelaskan tentang sejarah dan sistem pemerintahan Kerajaan Amanuban pada awal abad ke-19 yang ditulis dalam laporan J.D. Kruseman di tahun 1836 berjudul
“Beschrijving van Timor en eenige naburige eilanden”, De Osterling 2:1-41;
Menurut Laporan Kruseman, kerajaan Amanuban bersama kerajaan lainnya di Timor adalah kerajaan yang merdeka dan bebas dari penjajahan Belanda dan baru mengalami penjajahan setelah kekalahan dalam perang Niki-Niki tahun 1910.
Tahun 1912, raja Amanuban Noni Nope/ Noni Nuban menandatangani Korteverklaring Zelfbestuur. “Dalam menjalankan pemerintahan kerajaan Amanuban, raja Amanuban dibantu oleh pejabat yang disebut Fetor dan Fetor tersebut dibantu oleh Temukung,” jelas Smarhenryk Nope.
Hal itu juga, lanjutnya, tertulis dalam laporan Kruseman tersebut di atas (sebagaimana dikuti Dr. I Gde Parimartha, red) yang menjelaskan sistim pemerintahan raja-raja Timor sebagai berikut :
“Dalam hubungan antara atasan dan bawahan, Kruseman antara lain menyebutkan, seorang raja di sini dibantu pejabat-pejabat (rijksbestierders), yang menggunakan titel Fetor.
Di bawah Fetor masih ada petugas bertitel Temukung yang mengepalai wilayah tingkat desa (kampung).
Temukung membawahi sekitar 10-50 keluarga di wilayahnya, dan tugasnya mengumpulkan pajak, mengerahkan tenaga untuk kepentingan raja atau fetornya.
Hukuman dijalankan langsung oleh raja atau Fetor tanpa ada lembaga atau orang-orang penasehat. Menunjukan bahwa kekuasaan masih lebih bertumpu pada penguasa tertinggi.
Namun penting adanya pembantu raja serupa kelompok prajurit, disebut –orang brani-, atau Meo. Setiap raja memiliki orang-orang semacam itu, yang dapat bertindak sebagai pelopor perang, dan biasanya berasal dari orang-orang yang ada hubungan darah dengan raja. Pembantu-pembantu bawahan raja memandang pusat sebagai sumber asal usul dan sakral”.
Dari uraian Kruseman itu, kata Nope, maka jelas bagi kita tentang struktur pemerintahan adat di Timor termasuk Amanuban.
“Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedudukan pihak-pihak yang menyerahkan tanah Besipae tanggal 21 Agustus 2020 itu dalam hukum Adat Amanuban, tidak berhak untuk menyerahkan tanah tersebut karena mereka adalah keturunan Temukung, bahkan di bawah Fetor,” tegasnya.
Nope menjelaskan, sejak tahun 1910 ketika Amanuban dan kerajaan-kerajaan di Timor tunduk kepada Belanda tidak pernah disebutkan dalam catatan sejarah, pemerintah Kolonial Belanda pernah merampas secara paksa tanah-tanah masyarakat.
Bahkan sampai sekarang masih tercatat, bahwa Amanuban adalah kerajaan yang dihormati hukum-hukum ulayatnya.
“Itulah sebabnya di Amanuban tidak ada tanah Eigendom.
Namun dalam kasus Pubabu ini, Amanuban sebagai bagian dari Republik Indonesia malah hak-hak kami diabaikan dan dilalaikan,” ungkapnya.
Nope mempertanyakan, apa maksud tersembunyi dibalik upaya pejabat Pemprov NTT dengan memutar balikan hukum adat Amanuban?
“Pejabat Pemprov NTT membangun opini dan mengadu domba masyarakat adat. Yang sangat mengecewakan kami adalah tindakan para pejabat Pemprov ini telah merusak tatanan budaya dan adat istiadat serta perdababan masyarakat Timor.
Kalau keturunan Temukung jadi raja lalu keturunan Fetor dan raja jadi apa?” kritiknya.
Nope menjelaskan, dahulu tanah Besipae merupakan KIO (Hutan Adat, red) dalam hukum adat Amanuban sejak dahulu bernama “Pubabu”.
Ketika tahun 1982, dengan pemanfaatan Kio Pubabu untuk pengembangan ternak antara pemerintah Indonesia dan Australia, maka terjadi rekonsiliasi antara Meo Besi dan Meo Pae maka diusulkan agar dinamai Besipae.
//delegasi (*/tim)
Belgia adalah negara yang kaya akan budaya dan sejarah, salah satu keindahan destinasi wisata yang…
Delegasi.com - Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Rote Ndao kembali mengambil langkah maju dalam penguatan…
Delegasi.com - Bawaslu Kabupaten Kupang langsung menanggapi laporan dugaan Politik Uang yang dilakukan salah satu…
Delegasi.com - Tokoh aktivis perempuan dan lingkungan hidup Nusa Tenggara Timur (NTT), Aleta Baun mengatakan…
Delegasi.com - Insiden mengejutkan terjadi saat kampanye dialogis pasangan calon gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT)…
Delegasi.com - Kelompok Mahasiswa di Kota Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) yang tergabung dalam…