KontraS Kritik Cara Militeristis yang Masih Dipakai di Papua

Avatar photo
Ilustrasi prajurit TNI di Papua. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

JAKARTA, DELEGASI.COM – Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (KontraSPapua Sam Awom mengkritik cara-cara militeristis yang masih digunakan pemerintah pusat RI dalam menangani persoalan di wilayah tersebut.

Terbaru, pemerintah bermaksud menambah pasukan organik TNI di wilayah Papua. Menko Polhukam Mahfud MD mengklaim penambahan pasukan itu tak lepas dari keinginan masyarakat Papua.

Namun, Sam Awom menilai pernyataan Mahfud itu hanyalah klaim sepihak.”Itu pernyataan sepihak, bahwa masyarakat Papua hari-hari ini meminta ada dialog atau perundingan. Saya pikir [penambahan pasukan] itu pernyataan pemerintah dan itu pendekatan militeristik yang sangat tidak disukai oleh rakyat Papua,” kata Sam saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (22/10).

Menurut pihaknya, masyarakat Papua sendiri saat ini sudah sangat trauma dengan berbagai peristiwa berpendekatan militeristis di sana.

Sam Awom menyatakan berkaca pada rencana terbaru pihaknya melihat itu seolah menunjukkan pemerintahan pusat RI di Jakarta tak mendengar seruan dan ajakan damai yang kerap disampaikan tokoh-tokoh Papua.

“Pemerintah Pusat justru selalu menggunakan pendekatan militeristik. Bagi seluruh kalangan pemerhati HAM ini malah jadi daerah militer baru yang akan diterapkan di Papua,” kata dia.

Dalam sejarah Indonesia, pemerintah RI pernah menetapkan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh hampir sepanjang dekade 1990an silam. DOM itu diterapkan untuk menekan kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Sementara itu, di Papua saat ini terdapat kelompok Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) yang disematkan sebutan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) oleh pemerintah RI.

Menurut Sam Awom, pemerintah termasuk Mahfud selaku Menko Polhukam seharusnya merumuskan strategi perdamaian jangka panjang di Papua. Apalagi seruan penarikan pasukan militer dan dialog perdamaian ini telah disampaikan masyarakat Papua sejak 2000 silam.

Tak hanya itu, Sam juga menilai penggunaan tentara dalam operasi dan pengamanan ini justru merugikan kedua belah pihak, yakni rakyat Papua dan pihak TNI.

“Dari pihak keluarga petugas TNI Polri juga kasihan ketika dikirim ke sana tertembak OPM itu. Ini kan membuat tragedi panjang bukan cuma dari pihak Papua tapi juga korban anggota yang ingin ada perdamaian tapi karena tugas negara,” kata dia.

“Bagi rakyat Papua, pemerintah itu selalu melakukan pendekatan militeristik yang justru semakin membuat rakyat Papua trauma,” imbuhnyA.

Sebelumnya setelah resmi menerima laporan TGPF Intan Jaya pada Rabu (21/10), Mahfud menyampaikan beberapa hal salah satunya terkait keinginannya untuk menambah pasukan militer di beberapa wilayah Papua.

“Begini, keliru kalau katakan orang Papua meminta agar aparat TNI Polri ditarik dari Papua. Yang minta itu KKB [Kelompok Kriminal Bersenjata], TNPB [Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat], itu yang minta. Kalau rakyatnya justru, kalau rakyat Papua itu perlu aparat yang itu untuk jaga keamanan,” tutur Mahfud kala itu.

“Jadi tidak ada yang menolak, kecuali KKB. Itu kalau rakyat sendiri justru minta agar ada perlindungan yang bisa mengamankan mereka gitu. Itu aja,” imbuhnya.

Rencana tersebut bertolak belakang dengan keinginan tokoh agama setempat. Komisioner Komnas HAM Choirul Anam dalam konferensi pers pada Sabtu (16/10) mengungkapkan dapat mandat untuk menyampaikan keinginan pendeta yang meminta pemerintah mengedepankan pendekatan damai dalam menyelesaikan persoalan di Papua.

Komentar ANDA?