KUPANG, DELEGASI.COM – Biyante Singh, selaku kuasa Hukum Keluarga Yohanes Limau, meminta Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk menghargai putusan Pengadilan Negeri Kupang yang mengabulkan gugatan penggugat pada Selasa, (22/6/2021).
Pihaknya juga meminta agar Pemprov NTT untuk tidak boleh arogan dengan perkara tanah yang hendak di bangun Rumah Sakit Pratama di Manulai II Kupang tersebut.
‘Jadi Pemprov NTT sudah kalah dalam putusan pengadilan 22 Juni 2021 lalu,” kata Biyante Singh.
Baca juga: Kalah di Pengadilan Negeri, Pemprov NTT Nyatakan Banding Terkait Kasus Sengketa Tanah RSUP
Ia mengisahkan, sejak awal Yohanes Limau melakukan guguatan terhadap obyek sengketa pada perkara nomor 228.
“Yang mana gugatan ini sudah dilakukan sebanyak dua kali, awalnya tahun 2019, pengguat Yohanes Limau menggugat keluarga Penun dan pemprov NTT serta Badan Pertanahan Kota Kupang. Pada tahun 2000 terjadi perdamaian keluarga Penun dan Limau yang dibuktikan dengan akta banding. Karena terjadi perdamaian maka kami mencabut perkara tersebut. Tahun 2020 kami gugat lagi pemprov NTT dan Badan Pertanahan Kota Kupang. Kemarin tanggal 22 Juni sudah ada putusan oleh pengadilan dimana isinya mengabulkan penggugat. Kami meminta Pemrov NTT untuk mengentikan segala aktivitas diatas obyek sengketa hingga ada keputusan tetap”, kata Biyante, Kamis, (24/6/2021).
Soal eksekusi oleh Pemprov NTT pada Tnggal 17-19 Januari tahun 2020 lalu, Biyante menyebut itu adalah bentuk arogansi Pemerintah Provinsi NTT.
“Saya tekankan saat itu bukan eksekusi. Sebab kewenangan Eksekusi adalah pengadilan. Saya melihat pemahaman hukum mereka amat dangkal. Tetapi hal itu sudah terungkap dalam fakta persidangan kemarin, terbukti di situ mereka buat setifikat diatas obyek sengketa pada tahun 2020. Dasar mereka membuat setifikat dimaksud dengan menggunakan putusan yang amarnya itu bersifat NO atau tidak dapat diterima,” ujarnya menjelaskan.
Menurutnya, dalam bukti dipengadilan yang diajukan Pemprov NTT, salah satu yang dilakukan adalah dengan melampirkan pelepasan hak tanpa batas, tidak ada uraian batas-batas. Yang menunjukkan batas-batas itu dari Keluarga Nenobatas, bukan keluarga Limau.
“Itu bukan eskekusi tapi tindakan otoriter oleh pemerintah. Kalau pemerintah mau laukan langkah hukum saya minta hormati jangan arogan. Kami sangat mendukung pembangunan rumah saklit tapi caranya harus santun.
Saya tegaskan mewakili keluarga Limau eksekusi berkedok pembongkaran itu dilakukan oleh oknum.
“Saya memberikan apresiasi kepada kepada majelisi hakim, karena di sini kebenaran itu ada. Ternyata Majelis Hakim sepikiran dengan kami”
“Kedepannya, sudah pasti terjadi kontra. Jika saya dinilai sebagai salah satu yang penghambat, itu sangat keliru. Yang saya perjuangkan ini adalah kebenaran, tidak ada maksud untuk menghalangi. Kami mendukung pembangunan rumah sakit tetapi caranya harus santun,” ujarnya.
“Saya mau ketemu langsung dengan mereka yang keluarkan pernyataan itu. Jika ada niat baik pemprov untuk bertemu saya dan klien saya bisa kita carikan solusinya,” sambungnya menjelaskan.
//delegasi(AgusT)
Belgia adalah negara yang kaya akan budaya dan sejarah, salah satu keindahan destinasi wisata yang…
Delegasi.com - Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Rote Ndao kembali mengambil langkah maju dalam penguatan…
Delegasi.com - Bawaslu Kabupaten Kupang langsung menanggapi laporan dugaan Politik Uang yang dilakukan salah satu…
Delegasi.com - Tokoh aktivis perempuan dan lingkungan hidup Nusa Tenggara Timur (NTT), Aleta Baun mengatakan…
Delegasi.com - Insiden mengejutkan terjadi saat kampanye dialogis pasangan calon gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT)…
Delegasi.com - Kelompok Mahasiswa di Kota Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) yang tergabung dalam…