Kupang, Delegasi.com – Gubernur Nusa Tenggara Timur, Frans Lebu Raya mengaku miris terhadap penilai soal mutu pendidikan di NTT, hanya dilihat dari aspek prosentase tingkat kelulusan saja. Padahal menurutnya banyak aspek yang harus dilihat untuk mengukur kulaitas pendidikan itu sendiri. Hal itu dikatakan Lebu Raya ketika membuka seminar sehari yang diselenggarakan oleh Dewan pendidikan NTT bertajuk “Kebijakan Lima Hari Sekolah, Masalah atau Solusi” yang berlangsung di Aula Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) NTT, di Kupang, Selasa (8/8/2017).
Lebu Raya, mengakui masih terdapat berbagai masalah di bidang pendidikan yang harus terus dikerjakan dan diselesaikan. Saat ini, pemerintah sedang berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Nusa Tenggara Timur. Rendahnya mutu pendidikan di NTT, sering hanya disoroti dari prosentase kelulusan saja. “Untuk itu, kita tidak boleh pesimis, harus optimis dalam meningkatkan prosentase kelulusan. Proses belajar-mengajar harus menjadi perhatian serius dengan menonjolkan proses yang berkualitas,” pinta Lebu Raya.
Kata Gubernur, memajukan pendidikan pasti ada input, proses dan output. Karenanya, proses itu harus dilaksanakan secara berkualitas dan menghasilkan output yang sesuai dengan harapan semua pihak. Gubernur Lebu Raya, mencotohkan pengalamannya dalam mengamati proses pendidikan yang selama ini diterapkan bila menghadapi ujian akhir yaitu dengan mempelajari soal-soal ujian tahun lalu, fotocopy bahan pelajaran dan hafalan.
“Apakah itu cara terbaik? Menurut saya tidak. Kita harus berupaya agar proses kegiatan belajar-mengajar harus kita kerjakan sebaik-baiknya, selama tiga tahun berturut-turut atau enam tahun berturut-turut untuk tingkat sekolah dasar, dalam membentuk karakter dan disiplin anak-anak sehingga kita yakin betul dapat menghasilkan anak didik yang lebih berkualitas, melalui proses belajar dan mengajar secara berkualitas pula,” pinta Gubernur.
Di hadapan Ketua Dewan pendidikan NTT, Simon Riwu Kaho dan undangan yang hadir, Gubernur Lebu Raya, mengatakan muncul gagasan lima hari sekolah, memang menjadi polemik, apakah tetap enam hari atau lima hari sekolah. “Kita tidak boleh larut dalam perdebatan polemik ini, mari kita ambil hikmahnya yang lebih baik. Peraturan lima hari sekolah tentu tidak bisa serentak dilaksanakan di seluruh NTT. Kita harus sesuaikan dengan kondisi setempat,” tambahnya.
Terkait dengan karakter anak bangsa, menurut Gubernur Lebu Raya, dalam kegiatan proses belajar dan mengajar harus membentuk karakter anak didik yang berjiwa Pancasilais, sebagai ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lanjut Gubernur, bangsa ini dihadapkan dengan tantangan yang luar biasa, yaitu dengan adanya sekelompok orang yang ingin mengganti ideologi negara, Pancasila.
“Saya berulangkali tegaskan bahwa Pancasila harga mati dan NTT menolak keras yang namanya radikalisme, menolak seluruh Ormas anti Pancasila,” tegasnya. Ketua Dewan Pendidikan NTT, Simon Riwu Kaho, selaku ketua panitia penyelenggara, mengatakan agenda hari ini adalah pembahasan kebijakan lima hari sekolah yang dalam implementasinya apakah merupakan solusi dalam rangka pendidikan bermutu atau akan menimbulkan masalah baru. Pada dasarnya setiap anak bangsa berhak mendapatkan akses pendidikan yang merata dan berkualias serta berdaya saing sesuai bakat dan kemampuan yang dimiliki.
Menurut Riwu Kaho, maksud dan tujuan digelar seminar sehari tersebut adalah untuk menjelaskan kebijakan lima hari sekolah sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah yang akan diterapkan pada tahun ajaran 2017/2018. Selanjutnya, lewat seminar ini diharapkan bisa dijaring aspirasi nasyarakat bagi perbaikan pendidikan di NTT.
Seminar sehari bidang pendidikan ini menghadirkan pembicara, antara lain, Simon Riwu Kaho (Ketua Dewan Pendidikan NTT), Johanna E. Lisapaly (Kadis Pendidikan NTT) dan dosen FKIP/PPs Undana, Feliks Tans. Sedangkan peserta berasal dari DPRD NTT, anggota Dewan Pendidikan NTT, Dinas Pendidikan NTT dan Pengawas Pendidikan se- NTT.//delegasi (ger/hms)