KUPANG, DELEGASI.COM – Kelompok Kerja (Pokja) LPSE Kabupaten Alor diduga merekayasa tender Proyek Pembangunan 3 unit Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk 3 Puskesmas, yakni Puskesmas Lantoka, Kayang, dan Mademang (masing-masing senilai Rp 3,5 M) atau dengan total senilai Rp 10,5 Milyar Tahun 2020.
Rekayasa itu diduga dilakukan oleh Pokja LPSE dengan mengulang tender hingga 3 kali, serta mengubah syarat (memasukkan syarat tender yang aneh-aneh, red) dan jadwal tender sebanyak 29 kali untuk meloloskan CV. Gabe Jaya yang diumumkan Pokja sebagai pemenang 3 paket tender pembangunan Prasana Listrik Tenaga Surya tersebut sekaligus.
Ketua Pokja LPSE Kabupaten Alor yang menangani tender proyek tersebut, Mel Atakai yang berusaha dikonfirmasi tim media ini melalui telepon selularnya, tidak menjawab beberapa kali panggilan teleponnya.
Tim media ini juga berusaha menghubunginya via Short Message System (SMS). Tim media ini memperkenalkan diri dan maksud/tujuan untuk diwawancarai terkait dugaan rekayasa tender tersebut, namun hingga berita ini ditayangkan, Mel Atakai tidak ditanggapi SMS itu.
Informasi yang dihimpun tim media ini dari beberapa sumber yang sangat layak dipercaya (nama dan alamat ada pada redaksi, red), Harga Perkiraan Sendiri (HPS) 3 paket proyek tersebut masing-masing senilai Rp 3.499.999.891.
“Tender 3 paket PLTS itu diulang sampai 3 kali. Anehnya, Pokja LPSE Alor memenangkan 3 paket proyek itu hanya oleh 1 perusahaan dengan kualifikasi kecil, yakni CV. Gabe Jaya,” ungkapnya.
Pengumuman pasca kualifikasi 3 proyek dengan nilai masing-masing sekitar Rp 3,5 Milyar itu ditayangkan Pokja LPSE Kabupaten Alor pada tanggal 5 Juni 2020.
“Sesuai pengumuman Pokja, seluruh tahapan proses tender tersebut dimulai pada tanggal 5 Juni 2020 akan berakhir pada tanggal 13 Juli 2020 dengan penandatanganan kontrak.
Namun jadwal dan persyaratan tender 3 paket proyek itu sengaja diubah oleh Pokja sebanyak 29 kali,” ungkapnya.
Dari awal tender sampai diulang untuk ketiga kalinya, lanjutnya, Pokja LPSE Alor melakukan perubahan – perubahan persyaratan dalam setiap masa tender serta menambahkan persyaratan melampirkan sertifikat SA 8000 dan Kabel NYY.
Namun salah menyebut sertifikat EN 56018 yang sebenarnya bukan untuk kabel NYY melainkan jenis kabel yang dikhususkan pada photovoltaic Power Supplay sistem pada jumlah voltase yang sesuai standard yakni jenis H1Z2Z2-K 1.
“Sehingga pada akhirnya perusahaan – perusahaan yang memiliki kualifikasi dan kelengkapan administrasi baik dari ESDM atau LPJK digugurkan dengan berbagai alasan serta termasuk salah satunya yang disyaratkan PPK ini yakni tidak memiliki sertifikat SA8000 untuk panel surya yang diadakan dan sertifikat Kabel yang nota bene dalam dokumen lelang disebutkan jenis NYY,” jelasnya.
Menurutnya, berdasarkan informasi dari pihak pabrikan serta importir material – material tenaga surya menerangkan, bahwa jarang bahkan tidak ada yang memiliki sertifikat ini SA8000 pada panel surya untuk di Indonesia.
“Sertifikat SA 8000 : 2014 adalah sertifikat Hak asasi manusia dan perbudakan yang harus dimiliki oleh pabrik –pabrik penyedia Material Panel surya di beberapa Negara produsen.
Ini aneh sekali karena persyaratan ini tidak ada hubungan dengan kualitas pekerjaan,” tandasnya kontraktor yang sudah banyak makan garam tentang kelistrikan NTT.
Ia menjelaskan, sertifikat SA8000 tersebut jarang sekali bahkan tidak dimiliki importir atau pabrik panel tidak memilikinya kecuali hasil crop dari internet.
“Dan kabel dengan jenis NYY tetapi salah dalam menyebutkan test certificate-nya menyebabkan peserta-peserta mengupload jenis NYY dan sertifikatnya dikarenakan dari sisi teknis kabel NYY memiliki kemampuan hantar diatas kabel type H1Z2Z2-K 1 (orang awam menyebutnya kabel speaker) disamping itu tentunya dengan harga yang lebih mahal,” ujarnya.
Disamping itu, paparnya, dalam peraturan pengadaan barang dan jasa yang menurut Permen PUPR 14 2020 yang telah menggantikan peraturan lainnya yakni dalam pasal 24 ayat 3 point a, b c menyebutkan bahwa pemaketan pekerjaan konstruksi untuk : Nilai HPS s/d 2,5 M diisyaratkan hanya untuk Penyedia Pekerjaan Konstruksi dengan Kualifikasi usaha kecil.
“Sedangkan Nilai HPS diatas 2,5 M s/d 50 M disyaratkan hanya untuk penyedia pekerjaan konstruksi dengan kualifikasi usaha menengah.
Tapi mengapa CV. Gabe Jaya dengan kualifikasi kecil dimenangkan untuk paket di atas Rp 2,5 M? Padahal nilai penawaran perusahaan ini paling tinggi dibandingkan semua penawaran yang masuk,” ungkapnya.
Menurutnya, CV Gabe Jaya belum tentu memiliki tenaga kerja ahli yang cukup terhadap pekerjaan tersebut?
“Biasanya, untuk perusahaan dalam Kualifikasi kecil hanya memiliki 1 SKA madya atau Muda,” katanya.
Pokja LPSE Alor, jelasnya, juga mengulang evaluasi dan pembuktian kualifikasi hingga tiga kali.
“Tapi kepastian waktunya tidak jelas. Pokja merubah jadwal seenaknya tanpa pemberitahuan kepada peserta tender. Kami juga memantau di LPSE Alor, ternyata tidak melihat adanya perusahaan yang sedang melakukan pembuktian kualifikasi.
Atas kejanggalan-kejanggalan itu, pihaknya menyanggah hasil pelelangan setelah Pokja LPSE Alor mengumumkan CV Gabe Jaya sebagai pemenang tunggal tender 3 paket proyek tersebut.
“Kami tidak menerima hasil evaluasi pelelangan ini. Karena itu kami memohon agar Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) untuk melakukan pengkajian dan mengambil tindakan terhadap Pokja karena terdapat indikasi KKN di mana satu perusahaan CV dapat di menangkan pada pagu kualifikasi menengah dan rekayasa lainnya,” pintanya.
Saat berada di Alor, ceritanya, ia juga ditemukan salah satu Kapal angkut antar pulau yang sudah dijanjikan untuk memuat material proyek PLTS.
“Kapal tersebut milik bapak Yakobus Laka yang dijanjikan oleh Ketua Pokja, MA untuk memuat material proyek PLTS itu jauh sebelum pelelangan,” ungkapnya.
Hal lainnya yang memperkuat indikasi KKN, lanjutnya, adalah tidak dijawabnya sanggahan-sanggahan peserta lelang dengan tepat waktu.
“Tapi kemudian muncul jawaban yang bahkan berisi permohonan maaf atas ketidaktelitian Pokja serta merubah hasil-hasil evaluasi serta jawaban-jawaban yang tidak professional yang mana seharusnya menunjukan Kualifikasi perusahaan pemenang, alamat untuk pengecekan atau undangan pengecekan terhadap hasil-hasil pelelangan,” paparnya.
Yang menggelikan, lanjutnya, walalupun Pokja telah mengakui ketidaktelitiannya dan mengakui telah melakukan perubahan-perubahan jadwal dan syarat tender (sebanyak 29 kali, red) tapi Pokja LPSE Alor tetap melanjutkan proses tender itu hingga penandatanganan kontrak kerja.
“Pokja sepertinya tanpa merasa berdosa dan melanjutkan proses penandatangan kontrak kerja. Ada apa dibalik itu semua?” tanyanya menyelidik.
//delegasi(*/tim)