Ruteng, Delegasi.com – Sang Surya terbit dari timur menerobos lembah dan gunung di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Pancaran sinarnya menembus hutan belantara dan pegunungan di Pulau Flores.
Sebelum matahari menyinari alam semesta di Pulau Flores, terlebih dahulu ayam memberikan tanda-tanda dengan berkokok. Saat ayam berkokok, semua makhluk hidup mengetahui bahwa matahari tak lama lagi akan menyinari alam semesta.
Diberitakan kompas.com, pada Selasa (18/7/2017) pekan lalu, merupakan hari yang sangat istimewa dibandingkan dengan hari-hari lainnya bagi warga Kota Ruteng maupun penduduk Kabupaten Manggarai. Apa yang istimewa pada hari itu?
Pagi itu warga kota Ruteng mempersiapkan diri menyambut peserta balap sepeda internasional yang melintasi dan menginap semalam di kota dingin Ruteng.
Kali ini penyambutannya sangat berbeda dengan tahun 2016. Kaum perempuan dilibatkan dengan atraksi budaya khas warga Manggarai.
Peserta balap sepeda internasional sudah sering menyaksikan atraksi budaya Tarian Caci di Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat.
Kelincahan dan kehebatan kaum laki-laki Manggarai sudah dipentaskan saat menari Caci. Kali ini sangat unik. Keelokan para penari perempuan Flores dalam atraksi Ndundu Ndake ingin memikat hati dan pikiran dari pebalap sepeda.
Perempuan Flores, khususnya Manggarai segera berdandan dengan pakaian adat Manggarai dan bergegas ke Lapangan Motangrua Ruteng bergabung bersama penari lainnya yang akan menampilkan tarian massal Ndundu Ndake. Tarian ini dibawakan oleh 1.500 penari, baik laki-laki dan perempuan.
Liukan tubuh dengan irama yang sama sambil merentangkan selendang sungguh memukau para pebalap sepeda internasional dari Inggris, Rusia, Iran, Asia dan Indonesia yang menyaksikan dari podium kehormatan di halaman Kantor Bupati Manggarai.
Sesungguhnya, Ndundu Ndake, memanggil kaum perempuan Manggarai untuk menari bersama-sama. Orang Manggarai, khususnya bagian Kecamatan Cibal, menyapa perempuan dengan sebutan Ndu.
Biasanya orang Manggarai memanggil untuk sapaan halus anak perempuan adalah Ndu. Sedang bagian Kolang memanggil anak-anak gadis dengan sapaan halus adalah Ikeng. Sedang wilayah Kecamatan Macang Pacar, khususnya wilayah Rego menyapa perempuan secara halus dengan sebutan Neng.
Ndake adalah menari dengan diiringi musik gendang dan gong. Jadi pada zaman dahulu, setelah panen padi, di kampung-kampung dilakukan tarian Ndundu Ndake di halaman rumah adat.
Kali ini tarian massal Ndundu Ndake dipentaskan di lapangan Motangrua untuk mengungkapkan kegembiraan warga Manggarai terhadap para pebalap sepeda yang berani bertarung di jalan Transflores mulai dari Larantuka, Flores Timur sampai di Labuan Bajo, Flores Barat. Warga Manggarai menghibur pada pebalap itu dengan tarian Ndundu Ndake.
Selasa pagi (18/7/2017), ibu-ibu meninggalkan pekerjaan di rumah masing-masing. Sebanyak 1.500 perempuan bergegas untuk berdandan dan mengenakan sarung tenun Ikat Songke khas Manggarai dipadukan dengan kebaya Indonesia serta selendang, dan Bali Belo, selendang bermotif kain songke, Mbero (pakaian busana adat Manggarai untuk kaum perempuan).
Bali Belo dipakai di kepala kaum perempuan. Hari itu mereka menyambut para pebalap sepeda yang melintasi Pulau Flores dari Larantuka, Flores Timur, sampai Labuan Bajo, Flores Barat.
Dinginnya Kota Ruteng yang berada di ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut tidak meluluhkan semangat mereka untuk bergegas ke Lapangan Motangrua, Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai. Ibu-ibu bersama dengan istri-istri pejabat, serta anggota TNI dan Polri mulai bergerak ke tengah lapangan Motangrua untuk menari Ndundu Ndake.
Dalam bahasa orang Manggarai, “Ndundu” berarti panggilan untuk kaum perempuan, khususnya yang berasal dari wilayah Kecamatan Cibal. Sapaan halus kaum perempuan adalah “Ndu” dan “Ndake” berarti menari lepas. Jadi “Ndundu Ndake” berarti tarian khas kaum perempuan Manggarai.
Ndundu Ndake itu perempuan yang menari di mana perempuan itu diajak untuk menari bahkan sembari berpelukan, dipeluk oleh seorang pria. Tarian ini biasa dibawakan saat upacara perkawinan dan upacara adat pada Congko Lokap (bersihkan rumah adat).
Lalu pada kegiatan Tour de Flores 2017 tarian ini dipentaskan secara massal dengan melibatkan 1.500 penari yang terdiri dari kaum ibu.
Ini merupakan sejarah pertama kaum ibu menunjukkan kebolehan menari Ndundu Ndake secara massal di lapangan terbuka. Ini juga pertama kali Pemerintah Kabupaten Manggarai menggandeng kaum ibu untuk menari Ndundu Ndake.
Bupati Manggarai, Deno Kamelus kepada KompasTravel, Selasa (18/7/2017) menjelaskan, Pemerintah Kabupaten Manggarai menyiapkan dengan matang untuk menyambut pebalap Tour de Flores 2017.
“Saya menghadirkan 1.500 penari perempuan untuk menari Ndundu Ndake di Lapangan Motangrua menyambut pebalap internasional. Tarian ini juga mengungkapkan rasa kegembiraan dari warga Manggarai terhadap peserta lomba balap sepeda yang bermalam di Kota Ruteng,” kata Deno Kamelus.
“Mereka berlatih selama satu minggu. Mereka menggenakan pakaian adat khas Manggarai, yakni tenun songke, kebaya Indonesia, selendang, Mbero dan Bali Belo. Semua itu sesuai dengan cara berpakaian dari kaum perempuan Manggarai saat menari atau ada ritual adat di rumah adat Manggarai,” sambungnya.
Kamelus menjelaskan, tarian massal Ndundu Ndake dengan melibatkan 1.500 penari meraih rekor dari Lembaga Prestasi Indonesia Dunia (Leprid). Ini merupakan rekor baru di lembaga itu atas pementasan massal tari tradisional yang melibatkan warga setempat.
“Saya bangga dan bergembira atas rekor ini yang diberikan oleh sebuah lembaga di Indonesia. Ini juga memacu saya untuk terus memperhatikan kearifan lokal dalam bidang budaya,” katanya.
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Nusa Tenggara Timur, Marius Jelamu mengungkapkan, cara warga dan Pemerintah Kabupaten Manggarai saat menyambut pebalap sepeda internasional Tour de Flores sangat berbeda dengan kabupaten lain di Flores.
“Saat kaum perempuan Manggarai menari Ndundu Ndake yang diiringi bunyi gong dan gendang di lapangan Motangrua, bulu kuduk saya berdiri. Saya ikut merinding melihat ribuan penari menghentakkan kaki secara bersamaan dengan gerakan tubuh yang indah dan memukau penonton dan pebalap sepeda,” katanya kepada KompasTravel di Ruteng, Selasa (18/7/2017).
Jelamu menjelaskan, ajang ini tidak sekadar untuk mengangkat potensi pariwisata budaya di NTT tetapi sesungguhnya mengangkat martabat daerah di kancah internasional serta martabat bangsa di dunia internasional. “Indonesia, khususnya NTT adalah negeri yang damai, aman, dan layak untuk dikunjungi,” katanya.
Juara Etape Kelima dari Borong-Ruteng, Daniel Whitehous asal Inggris mengungkapkan, atraksi budaya di seluruh Pulau Flores sangat indah dan menakjubkan. “It is amazing dance that I know. I love it. I love Flores,” katanya.
Pebalap asal Indonesia yang bergabung di KFC team, Muhammad Imam Arifin yang berhasil juara III pada Etape Kelima ini mengungkapkan keindahan Pulau Flores tidak hanya pada alamnya, tetapi juga pada budaya dan manusianya yang ramah dan senyum.
“Saat melintasi enam Etape dari Larantuka, Flores Timur sampai Labuan Bajo, Flores Barat, warga Flores memadati pinggir jalan Transflores sambil mengungkapkan kegembiraan lewat senyuman khasnya,” tutur Arifin//delegas(kompas.com)
Bayangkan rumah yang menggabungkan keindahan estetika industrial dengan efisiensi minimalis. Struktur kokoh beton dan besi…
Bayangkan sebuah pabrik tua di era revolusi industri, baja yang mengkilap, mesin-mesin besar berwarna gelap,…
Bayangkan sebuah ruangan yang memadukan sentuhan masa lalu dengan teknologi modern. Dinding bata ekspos yang…
Bayangkan ruang makan yang memancarkan aura industri masa lalu, namun tetap nyaman dan modern. Desain…
Rumah minimalis, dengan kesederhanaannya yang elegan, kini semakin dipercantik dengan sentuhan desain geometris. Bentuk-bentuk geometris,…
Bayangkan sebuah rumah yang dihiasi pintu minimalis, bukan sekadar pembatas ruangan, tetapi sebuah karya seni…