OPINI  

Mengaliwahanakan Tradisi Tutur Ke Tradisi Lakon ‘Kae Wae Ge’

Avatar photo
Adegan Ase (adik) berpamitan dengan para Ende (Ibu). (Sumber: Dokumentasi Pribadi).

“Penggarapan Drama Musikal Kae Wae Ge bertujuan merevitalisasi nilai dan pesan moral  ceritera rakayat Kae- Wae Ge dalam  medium yang baru yang lebih akrab dengan generasi milenial. Dengan kata lain, penggarapan Drama Muskal Kae Wae Ge sebagai cara   baru untuk mewariskan ceritera Kae Wae Ge dalam bentuk yang lebih hidup. Artinya, mengubah cara pewarisan dari bertutur ke bentuk gerak atau  tontonan. Hal ini lebih mudah dan lebih adaptif dengan budaya modern dimana internet  telah menyediakan aplikasi untuk menyebarkan ceritera rakyat Kae Wae  Ge melalui media virtual”

Kristo Muliagan Robot

GENERASI milenial dewasa ini hanya tidur dengan selimut ibunya, tanpa mitos, legenda, fabel,  atau ceritera rakyat yang memberikannya karakter yang tipikal (lokal dan komunal). Anak modern dikepung tekologi informasi yang begitu meluas, akut  hingga merebut  kepesonaaannya sebagai anak manusia. Kesialan sosial yang paling menakutkan ialah anak kehilangan sense of human yang lazimnya didapatkan dari kitab-kitab lisan seperti  mitos, legenda, fabel, ceritera rakyat, atau dari bentuk-bentuk kebudayaan lainnya.

Tesis penting yang menjadi basis pemikiran ini ialah bagaimana kekayaan rohaniah (terkandung dalam mitos, legenda, fabel, dongeng) yang menjadi  rujukan nilai dan karakter mulai hilang  kedaulatannya. Misalkan, Android atau aplikasi berbasis internet  yang  telah menggantikan status  ayah dan ibu  sebagai penceritera dapat mewariskan nilai-nilai peradaban kepada generasi milenial. Dalam konteks itulah, digitalisasi (menganimasikan) ceritera rakyat menjadi jalan utama revitalisasi foklor ke format lakon.

Pemilihan media drama muskial  mempuyai keunggulan, karena memadukan tiga unsur seni yakni  lakon, musik dan tari dan mudah diapload ke dalam format aplikasi. Digitalisasi melalui aplikasi internet seperti Youtube, Line, Instrgram atau jenis aplikasi lainnnya lebih cepat mencapai sasaran dan lebih luas wilayah publisitasnya. Di samping itu, pustaka digital dapat dijadikan materi muatan lokal setiap jenjang pendidikan. Dengan begitu, nilai-nilai atau ajaran hidup  yang terkandung di dalamnya dapat diakses dan amalkan oleh siapapun. Sebab, pewarisan melalui buku atau teks dianggap “jadul” (zaman dulu).

 

Adegan ketika para janda menemukan sang adik yang tersesat (Sumber: Dokumentasi Pribadi).

 

Tulisan ini mencoba menggarap format tuturan ceritera lisan Kae Wae Ge di Kampung Taga, Desa Golo Nderu, Kecamatan Kota Komba Utara, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.  Ceritera ini berintikan dua bersaudara,  Ase (berusia 3 tahun) dan Ka’e (berusia 5 tahun) diusir ibu tiri dari rumah dan pergi jauh melewati hutan, sungai, ngarai tanpa tujuan.

Mereka hanya dibekali segumpal benang yang diwariskan ibu mereka sebelum meninggal. Satu ujung benang itu dipegang oleh Ase dan ujung lain  dipegang oleh Ka’e. Benang itu yang menuntun mereka berdua, terutama adik yang mengikutinya. Ketika benang putus, sang Ase kehilangan arah, tertatih dan terluntah di hutan. Sedangkan sang kaka (Kae) melanjutkan perjalanan entah ke mana hingga puluhan tahun tidak pernah bertemu.

Namun, benang itu pulalah yang mempersatukan keduanya, ketika mereka melakukan pertarungan sabung ayam. Ase yang miskin latah dan hidup bersama seorang janda di hutan mempunyai ayam yang sangat jago dan tak terkalahkan. Ia pun  diundang Raja untuk beradu ayam di Istana.

Sebab, Raja juga mempunyai ayam yang sangat jago dan tak terkalahkan oleh ayam siapapun di penjuru kota. Raja itu adalah Kae (Kakak). Tapi keduanya tidak saling mengetahuinya. Ayam mereka sangat jago, karena di salah satu kakinya diikat benang hitam. Benang jimat warisan ibu kandung mereka.

Ketika  kedua ayam itu  saling bertemu,  maka pertandingan kedua ayam itu sangat alot. Keduanya sangat kuat. Pada akhirnya, ayam sang Raja kalah dan mati. Raja marah dan malu. Ia menyuruh prajuritnya untuk menangkap dan menyekap Ase di kandang . Tidak diberi makan dan minum. Namun, setiap kali ia lapar dan haus, ia menyanyikan lagu yang pernah dinyanyikan sejak putus benang dan ditinggalkan kakanya (Kae) di hutan. Raja sudah sering menyiksanya karena ia menyanyikan lagu itu.

Pada suatu sore, ketika matahari terbenam , Ase menyanyikan lagu itu. Raja meminta prajuritnya menyeret dia lagi ke ruang Raja. Kali ini, Raja ingin mendapatkan jawaban dari Ase. “Mengapa kau menyanyikan lagu itu?” Tanya   Raja. “Ini lagu saya dan kakak saya, ketika kami dulu jalan bersama meninggalkan rumah. Setiap kali saya haus dan lapar saya meminta air dan makan dengan lagu ini kepada kakak saya. Namun, kakak saya tidak meghiraukan.” Apakah kau tahu keberadaan kakakmu sekarang?” Tanya Raja. “Tidak.” “Siapa Nama Kakakmu?” “Kae.” Jawab Ase pendek. Apa buktinya bahwa kau bersaudara dengan Kae? Tanya Raja serius. Ase mengeluarkan benang dari sakunya. Sebagian benang itu diikat pada kaki ayam sebagai jimat agar ayamnya selalu menang dalam setiap pertarungan. “Ini benang apa?” “Benang warisan ibu kami sebelum ia meninggal. Ketika saya dan kakak meninggalkan rumah, salah satu ujung benang  saya yang pegang dan ujung yang lain dipegang oleh Kae, kakak saya.” Coba sekali lagi menyanyikan lagu itu.” Pinta Raja. Ase menyanyikan lagu itu secara sungguh-sungguh. Raja perlahan bersedih hati, ia jatuh dari kursi kerajaan. Kemudian perlahan ia siuman memeluk Ase dan mencium kakinya. Kae menangis  penuh haru sembari berkata, “akulah Kae, kakakmu yang kau cari.” Prajurit dan penajaga istana sangat kaget. Raja bisa takhluk dan mencium kaki rakyat jelata itu. Raja memeluk Ase dan megatakan, “kaulah adikku dan akulah kakakmu. Saya meminta maaf telah menyiksamu selama ini.” Ini rumah kita, ini kerajaan kita. Kita hidup bersama lagi di sini.” Kata sang raja. Benang itulah yang memisahkan Ase dan Kae, tetapi benang itu pula yang mempersatukan keduanya.

 

Transisi tarian melingkar yang diperagakan oleh actor dan penari.(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

 

Penggarapan Drama Musikal Kae Wae Ge bertujuan merevitalisasi nilai dan pesan moral  ceritera rakayat Kae- Wae Ge dalam  medium yang baru yang lebih akrab dengan generasi milenial. Dengan kata lain, penggarapan Drama Muskal Kae Wae Ge sebagai cara   baru untuk mewariskan ceritera Kae Wae Ge dalam bentuk yang lebih hidup. Artinya, mengubah cara pewarisan dari bertutur ke bentuk gerak atau  tontonan. Hal ini lebih mudah dan lebih adaptif dengan budaya modern dimana internet  telah menyediakan aplikasi untuk menyebarkan ceritera rakyat Kae Wae  Ge melalui media virtual. Selain itu, pertunjukan Drama Musikal menjadi pilihan bentuk yang tepat untuk menggarap  kisah Kae Wae Ge ini, karena bagi penulis,  Drama Musikal memiliki ruang lebih luas untuk mewadahi gagasan-gagasan yang ingin disampaikan.

Drama Musikal Kae Wae Ge merupakan garapan kreatif yang memadukan unsur lakon, musik,  dan tari. Drama Musikal ini menempatkan musik sebagai elemen penting dalam menjaga tensi dan tempo permainan serta menuansakan makna tertentu pada setiap scene. Elemen yang dikolabarasikan secara kreatif  berasal dari tradisi Manggarai, baik foklore (ceritera rakyat) Kae Wae Ge, lagu  nenggo yang berisikan syiair tua yang sarat nasihat, maupun  Caci yang merupakan atraksi tradisonal  masyarakat Manggarai.

Kisah ini ditata dalam bentuk lakon yang memosisikan Kae sebagai tokoh antagonis dan Ase sebagai tokoh protagonis. Sikap antagonistik Kae sesungguhnya dirasakan ketika ia memaksa adiknya harus meninggalkan rumah. Cukup beralasan bagi Kae  mengajak adiknya pergi meninggalkan rumah, karena diusir ibu tiri.  Ia seakan tidak mau tahu dengan keadaan adik yang masih kecil (berusia 3 tahun) untuk melakukan perjalanan jauh. Sikap antagonis berikutnya, Si Kae terus memaksa adik untuk melanjutkan perjalanan. Sedangkan Ase sudah kelelahan, haus dan lapar. Bahkan, ia meninggalkan Ase begitu saja hanya dengan mengikat benang di kakinya agar Ase bisa mengikutinya. Sebalikya sikap protagonis Ase , tampak ketika ia bertahan untuk tidak meninggalkan rumah. Selanjutnya, ia selalu patuh terhadap kakaknya. Meskipun ia ditinggalkan dengan cara begitu kejam oleh Kae, Namun, Ase tetap setia mencari   Kakanya hingga akhir hayat.

Adegan ketika kakak dan adik melakukan perjalanan dengan benang sebagai penghubung. Jika benang itu putus, maka putus pula hubungan persaudaraan keduanya. Benang ini merupakan warisan peninggalan ibu kandung mereka. (Sumber: Dokumentasi Pribadi).

 

Benang menjadi metafora  persaudaraan. Ketika benang (hubungan persaudaraan putus, maka muncullah kebencian hingga terjadi konflik. Janganlah sesekali menggunting atau memutuskan benang (persaudaraan) itu. Karena ke manapun atau  dimanapun tetap kita bersaudara. Benang (rasa bersaudara) itulah yang mempersatukan kita. Demikian, lagu nenggo yang berisikan syiar-syiar tua mengibaratkan perjalanan (hidup) harus ditutun oleh petuah atau nasihat-nasihat untuk membekali perjalanan. Perjalanan di hutan diibaratkan sebagai kehidupan yang penuh tantangan, kadang menakutkan, kadang menyenangkan . Meski demikian pencarian saudara menjadi sangat penting dalam perjalanan tersebut. Itulah dimensi makna dari elemen-elemen Drama Musikal Kae Wae Ge.

. Penggarapan Drama Musikal Kae Wae Ge bertujuan merevitalisasi nilai dan pesan moral  ceritera rakayat Kae- Wae Ge dalam   bentuk lakon.. Dengan kata lain, penggarapan Drama Muskal Kae Wae Ge sebagai cara   baru untuk mewariskan ceritera Kae Wae Ge dalam bentuk yang lebih hidup. Artinya, mengubah cara pewarisan dari bertutur ke bentuk gerak atau  tontonan. Hal ini lebih mudah dan lebih adaptif dengan budaya modern dimana internet  telah menyediakan aplikasi untuk menyebarkan ceritera rakyat Kae Wae  Ge melalui media virtual.

                                             Penulis adalah  Mahasiswa Program Studi Penciptaan Seni dan Pengkajian Seni   Program Pascasarjana Institut Seni Budaya Indonesia (Bandung)

 

 

 

 

Komentar ANDA?