JAKARTA, DELEGASI.COM- Timur Tengah kini memasuki babak baru setelah terjadinya normalisasi hubungan antara Uni Emirat Arab ( UEA) dan Bahrain dengan Israel. Seperti diketahui, UEA secara resmi membuka hubungan diplomatik dengan Israel pada 13 Agustus 2020, disusul oleh Bahrain pada 15 September 2020.
Dilansir Kompas.com, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyebut upaya normalisasi ini dengan “Kesepakatan Abraham”. Lawatan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo beberapa waktu lalu ke Timur Tengah merupakan bagian dari upaya untuk mencapai kespekatan bersejarah itu.
Bahkan, seperti dikutip dari TRT Arabi, Jumat (18/9/2020), Sekretaris Presiden AS Mark Meadows mengatakan, normalisasi itu akan diikuti oleh lima negara lain. Menurut dia, kelima negara itu menunjukkan keseriusannya untuk melakukan normalisasi dengan Tel Aviv.
Ia menambahkan, tiga dari lima negara tersebut berasal dari Timur Tengah, sementara dua negara lainnya dari luar kawasan. Bagi Pangeran UEA Muhammed bin Zayed, perjanjian damai itu akan menjadi mercu suar bagi pencinta perdamaian dan memungkinkannya untuk mendukung kemerdekaan Palestina.
“Perjanjian ini akan memungkinkan kita untuk lebih mendukung rakyat Palestina dan mewujudkan harapan mereka menjadi negara merdeka dalam wilayah yang stabil dan makmur,” kata dia, dikutip dari al-Quds, Selasa (15/9/2020).
Sementara itu, Perdana Menteri Palestina Muhammad Shtayyeh menganggap normalisasi UEA dan Bahrain dengan Israel sebagai kekalahan bagi Liga Arab yang kini semakin terpecah.
Para pejabat Palestina juga umumnya memprotes kesepakatan itu sebagai hal yang memalukan dan menodai perjanjaian damai 2002 yang diprakarsai oleh Arab Saudi.
Di Manama, warga Bahrain juga menentang normalisasi negaranya dengan Israel. Sebagai bentuk penolakan itu, tagar “Bahrain menentang normalisasi” dan “Normalisasi adalah pengkhianatan” menggema di media sosial Twitter.
Tekanan AS dan Israel
Menanggapi hal itu, Guru Besar Kajian Timur Tengah Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Ibnu Burdah, MA seperti dilansir Kompas.com, mengatakan, UEA dan Bahrain sepakat untuk menormalisasi hubungan mereka dengan Israel akibat tekanan dari Trump. Pasalnya, AS merupakan sekutu dekat kedua negara tersebut. Kedua, mereka harus memikirkan cara agar tetap memiliki pengaruh di kawasan, seiring menguatnya ekspansi Iran dan Turki.
Oleh karena itu, menurut Burdah apa pun akan mereka lakukan demi tetap memiliki pengaruh di Timur Tengah, termasuk mengorbankan solidaritas terhadap Palestina.
“Pada titik ini kita bisa mengerti bahwa mereka sedang mementingkan kepentingan nasional mereka jauh di atas solidaritas terhadap Palestina,” kata Burdah kepada Kompas.com, Jumat (18/9/2020).
Menurut dia, hubungan di antara Negara Teluk (seperti UEA dan Bahrain) dengan Israel memiliki karakter berbeda dari hubungan antara negara Arab yang berbatasan langsung dengan Israel. Sebab, dasar persoalan Negara Teluk dengan Israel hanyalah solidaritas terhadap sesama negara Arab. Berbeda halnya dengan negara sekitar Israel yang memiliki konflik secara langsung dan seringkali terlibat dalam perang.
Dengan adanya normalisasi ini, Burdah menilai, UEA dan Bahrain mengambil risiko besar, terutama popularitas mereka di kawasan. “Apalagi UEA ini sedang ekspansi kemana-mana, sepak terjangnya aktif di berbagai isu kawasan. Saya kira keputusan ini membuat citra mereka terkoreksi, populairatsnya semakin anjlok,” jelas dia. Menurut Burdah, langkah paling ideal bagi UEA dan Bahrain sebenarnya adalah menjalin hubungan intensif dengan Israel secara tertutup, seperti yang mereka lakukan sebelumnya.
Kemenangan Trump dan Netanyahu
Di sisi lain, Trump dan Netanyahu justru sangat diuntungkan dengan upaya normalisasi ini. Burdah menjelaskan, peresmian hubungan tersebut memperbaiki citra Trump menjelang pemilu pada November 2020 mendatang. Selama ini, Trump tak banyak memiliki prestasi di luar negeri, khususnya Timur Tengah.
Sementara itu, Netanyahu yang berada dalam tekanan domestik akibat dugaan korupsi, berharap akan mendapatkan keuntungan besar dari normalisasi ini.
“Posisi dia bisa imun dari kasus hukum yang menjeratnyaa jika menjadi perdana menteri. Jadi Netanyahu termasuk memperoleh untung besar dari kesepakatan ini,” tutur Burdah.
Senada dengan Burdah, dikutip dari al-Sharq, Jumat (18/9/2020), peneliti Wissam Afifah menyebutkan, tekanan yang melanda Bahrain merujuk pada kunjungan Pangeran Salman bin Hamid ke Washington untuk kesepakatan senjata militer. Menurutnya, kesepakatan itu membuat Bahrain lebih mungkin untuk menjauh dari Iran dan meningkatkan permusuhan dengan Qatar.
Peluang Bisnis Negara Teluk
BBC Arabic, Selasa (15/9/2020), memberitakan, normalisasi tersebut akan membantu negara-negara teluk dalam memperkuat militer.
Normalisasi itu juga tampaknya membuka jalan kesepakatan antara UEA dan AS untuk memliki pesawat tempur F-35 dan EA-18G Growler yang hampir mustahil dilakukan di masa lalu. Selain itu, kedua negara Teluk itu juga kini bisa menjalin kerjasama di bidang teknologi secara terbuka. Kemegahan negara Teluk dan pemandangan gurun yang menawan juga disebut akan menjadi daya tarik besar bagi warga Israel untuk mengunjungi negara-negara tersebut.
//delegasi(*/hermen)
Delegasi.com - Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Rote Ndao kembali mengambil langkah maju dalam penguatan…
Delegasi.com - Bawaslu Kabupaten Kupang langsung menanggapi laporan dugaan Politik Uang yang dilakukan salah satu…
Delegasi.com - Tokoh aktivis perempuan dan lingkungan hidup Nusa Tenggara Timur (NTT), Aleta Baun mengatakan…
Delegasi.com - Insiden mengejutkan terjadi saat kampanye dialogis pasangan calon gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT)…
Delegasi.com - Kelompok Mahasiswa di Kota Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) yang tergabung dalam…
Delegasi.com - Warga Desa Tunbaun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, Lely Amtiran yang menerima uang…