Menggagas Keadilan Sosial untuk Keadilan Pembangunan

  • Bagikan
Dosen Sosiologi Universitas Nusa Cendana Kupang, Aris Lambe //Foto: delegasi.com (Dok.pribadi)

“Keadilan sosial baru menampakan wajah asli ketika pembangunan dilakukan secara merata. Disebut adil ketika semua masyarakat  merasakan hadirnya negara dalam setiap detak dan detik kehidupannya. Pertanyaan penting kemudian ialah bagaimana mendobrak kesenjangan pembangunan di tengah pluralitas Indonesia secara fisik dan sosial? Di situ semua kita wajib kembali ke ruang asketik pembentukan bangsa ini.”

Aris Lambe

 

Ilustrasi Keadilan Sosial//Foto: Istimewa(NET)

 

DELEGASI.COM – Editorial MI (19 Februari 2020) kuat memberitahukan sisi lemah pembangunan kita selama ini. Dengan sedikit satiris, MI menyebutkan peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) ternyata berjalan linear dengan ketimpangan pembangunan antardaerah. IPM nasional naik dari 71,39 ke 71,92.

Dalam waktu yang sama, kesenjangan antardaerah saban tahun pun terus membengkak besar.
Kesenjangan IPM terjadi di semua level pemerintahan baik provinsi maupun kabupaten. Yang paling utama ialah antara daerah di Jawa, Sumatra, dan sebagian Kalimantan dengan daerah di luar Jawa dan Indonesia Timur. Muncul seperti hukum tetap di sana. Semakin turun ke level pemerintahan ke bawah, disparitasnya semakin besar. Jika hukum itu berjalan lurus, maka kesenjangan masyarakat di level RT di Jawa dan di luar Jawa bisa segera dibayangkan.

IPM dilihat dari beberapa aspek penting pembangunan yakni pendapatan, kesehatan, pendidikan, perumahan, dan lain-lain. Di beberapa aspek itu, pembangunan kita rupa-rupanya perlu diperiksa dan laik digugat.
Gugatannya terutama berkaitan dengan esensi keadilan sosial. Keadilan sosial baru menampakan wajah asli ketika pembangunan dilakukan secara merata. Disebut adil ketika semua masyarakat dari Sabang sampai Marauke merasakan hadirnya negara dalam setiap detak dan detik kehidupannya.

Pertanyaan penting kemudian ialah bagaimana mendobrak kesenjangan pembangunan di tengah pluralitas Indonesia secara fisik dan sosial? Di situ semua kita wajib kembali ke ruang asketik pembentukan bangsa ini.
Bahwa Indonesia memang dibentuk dari struktur bangsa yang berbeda secara fisik dan sosial budaya. Karena itu, perencanaan pembangunan boleh saja sama, tetapi pelaksanaan dan evaluasi pembangunan harus melihat dan memerhatikan corak keragaman masyarakat.

Banyak orang bisa saja mengatakan roh keragaman sudah ada dalam pembangunan Indonesia. Betul. Masalahnya, disparitas tetap saja ada dan terus menganga. Di situ, kita wajib mengakui kekeliruan dalam pelaksanaan pembangunan.
Kekeliruan pelaksnaaan pembangunan mesti dibaca dalam dua hal, yakni struktur dan aktor. Struktur berkaitan dengan pola relasi yang timpang antara pusat dan daerah berikut dinamika pembangunan di dalamnya. Sementara aktor berhubungan dengan entitas yang melaksanakan pembangunan.

Kedua aspek itu harus didukung dengan kecepatan pembangunan. Keadilan pembangunan merupakan fungsi dari bekerjanya struktur dan aktor serta kecepatan pembangunan (Foster dan Sen, 1997).
Pembangunan tidak saja adil tetapi juga, meminjam Amartya Sen (2000) membebaskan. Dengan begitu, cita-cita kesejahteraan menjadi kepenuhan. Menurut Sen, pembangunan yang membebaskan dapat dicapai melalui peningkatan kapasitas untuk partisipasi politik, pengembangan ekonomi, dan kemajuan sosial.

Ilustrasi Keadilan Sosial//Foto: Istimewa

Dinamika Pembangunan

Ketidakadilan pembangunan yang tercermin dari kesenjangan IPM tentu disebabkan karena banyak variabel. Merujuk Foster dan Sen di atas, persoalan utama di Indonesia ialah ketidakberesan struktur dan aktor pembangunan.

Menurut data BPS, beberapa daerah kaya dari aspek sumber daya alam justeru memiliki IPM lebih rendah dibandingkan dengan daerah di daratan Jawa, Sumatera, dan sebagian Kalimantan. Jika kita sungguh menganut model pembangunan holistik, mestinya daerah-daerah yang kaya akan sumber alam tersebut memiliki IPM yang tinggi pula.

Membaca struktur, bayangan kita harus tertuju pada relasi berbagai sistem dalam proses pembangunan. Pola relasi yang timpang antara pusat dan daerah menyebabkan masyarakat di daerah terjebak dalam relasi subordinatif. Implikasinya, daerah tidak diberi kesempatan untuk melaksanakan pembangunan menurut karakteristik daerahnya.

Dalam banyak kasus, atas nama negara, masih ada kesan dominasi pusat atas kekayaan alam di daerah. Kekayaan alam tersebut tidak dibagi kembali ke daerah secara distributif. Kalau pun dana dari pusat ditransfer ke daerah, problem lain muncul di daerah. Kegagapan pemerintah daerah memanfaatkan dana yang amat besar dari pusat menjadi sebab lain kesenjangan pembangunan.
Fakta masih adanya penolakan oleh masyarakat akan pelaksanaan beberapa proyek pembangunan di daerah tentu bukan karena mereka sungguh tidak memerlukan proyek itu. Hal tersebut dilakukan lebih karena ketidakpuasan masyarakat akan kebijakan pemerintah pusat dan salah kelolah pembangunan oleh pemerintah daerah (Shohibuddin, 2010).

Selain itu, menyebut pembangunan, hal lain yang harus diperiksa ialah efektivitas dan efisiensi pembangunan. Di sana, korupsi laik disebut dan harus dianalisis. Sebab, sebesar apa pun dana yang ditransfer ke daerah jika watak koruptif elite kekuasaan di daerah tidak pernah hilang, keadilan pembangunan sulit terwujud.

Fakta menunjukkan dalam kurun waktu 2018-2019, KPK telah melakukan 47 operasi tangkap tangan (OTT) terhadap anggota DPR/DPRD. Dalam rentang waktu itu, sebanyak 231 orang ditahan dan 27 kasus melibatkan pemerintah kabupaten/kota. Dari aspek wilayah, OTT paling banyak di Pulau Jawa yakni sebanyak 28 kasus, Sumatera 11 kasus, Sulawesi 3 kasus, Kalimantan dan Nusa Tenggara 2 kasus, dan Maluku 1 kasus (tirto.id, 17/10/2019). Sebanyak 101 bupati atau wakil bupati dan walikota atau wakil walikota yang ditangkap KPK dalam rentang waktu 202-2019 (databoks.katadata.co.id, 05/09/2019).

 

Ilustrasi Keadilan Sosial//Foto: Istimewa(NET)

Dromokrasi pembangunan

Pembangunan yang komprehensif dibutuhkan untuk mempercepat proses pemutusan kesenjangan dan diskrepansi pembangunan. Meminjam Paul Virilio, yang harus dilakukan ialah mempercepat proses, melibatkan masyarakat lokal, mempertimbangkan efektivitas, efisiensi, mempromosikan mekanisme pembangunan yang transparan, jujur, dan beradab.
Pembangunan tidak bisa lagi berjalan dalam koridor konvensional. Dibutuhkan gerak pembangunan yang bisa meretas kesenjangan sosial. Itu hanya dapat dilakukan jika semua pihak dapat keluar dari pakem pembangunan standar.
Dibutuhkan gerak laju pembangunan yang cepat dengan mempertimbangkan keanekaragaman karakter fisik, sosial, dan budaya masyarakat. Negara harus menjadi pemimpin untuk membongkar sekat kemacetan pembangunan dan meretas diskrepansi pembangunan antardaerah. Dengan begitu, negara sungguh membumikan nilai keadilan dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia***

Penulis adalah Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang

Komentar ANDA?

  • Bagikan