“Judi seperti telah mereduksi nalar untuk kaya mendadak, yang tersebar di ruang-ruang kehidupan masyarakat sampai ke pelosok daerah. Proses derasionalisasi, telah menempatkan judi online menjadi puisi sepanjang hari ibarat aliran air yang tak putus, dengan tidak memandang bulu. Sehingga nalar judi online dilitanikan dalam syair di ruang-ruang penghasilan, menghancurkan peradaban kerja keras, sehingga kemalasan dihadirkan di ruang masyarakat dengan ikutan gejala-gejala pencurian dan kekerasan yang mulai nampak nyata di pelosok pedesaan”
Marsel Tupen Masan (Mantan Ketua Pemuda Katolik Komda NTT)
DELEGASI.COM- Berkembangnya rumor hadirnya konsorsium 303 dibalik judi online, walaupun masih dalam tanda petik, setidak-tidaknya menggambarkan adanya korelasi terselubung oleh tangan-tangan tak kelihatan dalam menumbuh suburkan perjudian online di Indonesia.
Tingginya minat masyarakat pada judi online dengan realitas temuan 641 kasus dan 3.924 tersangka per Januri-Agustus 2022 (Metro TV, Jumad siang 26 Agustus 2022), menggambarkan masyarakat senantiasa berangan-angan untuk kaya dalam sesaat dengan melakukan percumbuan ritualisktik pada nasib yang tidak menentu.
Hal ini merupakan gejala sosial yang menarik karena:
Pertama, kuatnya kecenderungan masyarakat menunjang judi online menunjukkan kondisi riil masyarakat kita yang mengalami proses derasionalisasi karena perjudian. Terutama berkurangnya daya kritis dalam mengambil keputusan mengenai perilakunya sendiri.
Apakah mereka menjadi penjudi kompulsif, dalam arti sulit melepaskan diri dari judi, karena judi sudah mendarah daging dalam hidupnya? Atau respons terhadap kesulitan ekonomi karena ketidakberdayaan ditengah krisis akibat covid 19
Kedua, marak meriahnya judi online dengan keterlibatan aparat, membuat makin sulit dan gamblang menjelaskan fenomena perjudian ini.
Oleh karena peredarannya memperlihatkan suatu bentuk kegiatan berciri semi organized crime yang rapi dan mempunyai semacam birokrasi. Mampu menebar jaringan kemana-mana dan selalu terhindar dari upaya penegakan hukum.
Adanya tangan-tangan kuat yang tidak kelihatan ini, telah menjadi kekuatan terselubung yang turut memasyarakatkan proses derasionalisasi masyarakat.
Bagi masyarakat yang tidak mempuntai akses, baik pendidikan, relasi sosial maupun ekonomi, perjudian seperti ini sangat mengiming perubahan nasib.
Apakah akan membuat kontribusi yang menguntungkan atau buntung?
Pada era orde baru kecanduan pada PORKAS, KSOB dan SDSB lebih banyak membawa ekses negatif seperti kehancuran rumah tangga, meningkatnya masalah kriminal dan terjadinya kebobrokan sosial yang memprihatinkan.
Hal lain yang lebih parah, adalah perubahan perilaku masyarakat seperti suka nyepi, puasa, tirakat di kuburan atau temat keramat hanya untuk mengharapkan nomor buntut, yang membawa akibat pada kemalasan kerja dan hal-hal negatif lainnya.
Walaupun SDSB akhirnya dihapus pada tanggal 25 November 1993, namun perilaku yang tertanam tetap seperti menjadi penyakit kronis yang setiap saat kambuh.
Apalagi fakta sosial membuktikan bahwa tidak sekalipun dunia persepakbolaan (tujuan awal SDSB) kita menciptakan kecemerlangan yang spektakuler ditengah tumpah ruahnya dana.
Malah yang spektakuler adalah terpusatnya dana SDSB selama lebih dari satu dasawarsa pada elite-elite politik dan birokrasi.
Sedangkan masyarakat tetap dididik untuk mengonani diri dengan angan-angan yang tidak menentu.
Sesudah penghapusan SDSB masyarakat sesungguhnya diharapkan lebih rasional. Tetapi karena persoalan perjudian nyaris, sama dengan pelacuran yang tidak akan pernah selesai dibicarakan di ruang zaman dan tetap diminati, maka munculnya kupon putih sampai judi online seperti gayung bersambut.
Kata orang bijak, perjudian, miras dan pelacuran sudah berkembang setua umur dunia.
Ketiga, profesi non formal ini tidak saja menjadi penyakit orang kecil, tetapi juga menjadi penyakit orang-orang terhormat. Karenanya masuk akal kalau dalam sejarah, Lady Hamilton, Maria Antoinette maupun Cleopatra selalu dilihat sebagai pelacur-pelacur yang nonstylish (pinjam istilah Gus Dur). Artinya, dikatakan pelacur yang selalu lapar seks.
Malah diantara mereka ada yang mengidap penyakit kelainan seks seperti libidis zoophiliasis, yang merasa puas bila melihat binatang sedang main dalam agresivitas panas atau membelai-belai binatang kesayangannya.
Puisi Zaman
Orang yang keranjingan judi, miras sampai seks, sangat sulit melepaskan diri dari kebiasaannya, makanya tidak aneh kalau ada raja minyak dari Arab main judi di Monte Carlo.
Ada pengusaha dari Indonesia main judi di Las Vegas dan ada PNS main judi pada jam dinas, ada masyarakat main judi online di kebun dan sawah serta aparat terlibat peredaran kupon putih, atau melindungi berkembangnya judi online.
Bahkan di wilayah Flores Timur, masyarakat dapat bermain judi online 3 kali dalam sehari.
Jaringannya ke luar negeri seperti Malaysia, Australia dan Tiongkok, serta negara lainnya yang dengan mudah ditemukan di media sosial.
Ada agenda tetap harian dimana orang-orang mengerumpi mimpi di kebun, ladang dan sawah, mengolah angka dengan menempatkan nalar judi menjadi puisi zaman untuk memuisi diri di jalan pemain judi online.
Judi seperti telah mereduksi nalar untuk kaya mendadak, yang tersebar di ruang-ruang kehidupan masyarakat sampai ke pelosok daerah.
Proses derasionalisasi, telah menempatkan judi online menjadi puisi sepanjang hari ibarat aliran air yang tak putus, dengan tidak memandang bulu.
Sehingga nalar judi online dilitanikan dalam syair di ruang-ruang penghasilan, menghancurkan peradaban kerja keras, sehingga kemalasan dihadirkan di ruang masyarakat dengan ikutan gejala-gejala pencurian dan kekerasan yang mulai nampak nyata di pelosok pedesaan.
Apakah mereka adalah penjudi profesional dan sudah mendarah daging?
Mereka pasti akan mengatakan, hanya untuk mengisi waktu, menghilangkan beban rutinitas atau alasaan pembenaran lainnya.
Karena sulitnya membuat ukuran tentang perjudian, maka hukum agama maupun formal duniawi selalu mengatakan, bahwa judi adalah penyakit yang berbahaya, yang tidak saja membuat orang kaya mendadak, tetapi juga membuat orang miskin mendadak.
Di Indonesia, para ilmuwan sosial dan sosiolog sependapat, bahwa judi, miras dan pelacuran adalah penyakit masyarakat (pekat) yang mesti diberantas.
Sehingga dipenghujung orde baru hingga hari ini, lembaga-lembaga pemerintahan yang berkewenangan di bidang tramtibmas, mengembangkan kebijakan, program-prgram dan kegiatan pemberantasan penyakit masyarakat secara masif.
Namun upaya pemerintah hingga hari ini, seperti tetap mengikuti puisi zaman.
Semakin diberantas, ketiga bentuk penyakit sosial masyarakat ini tetap tumbuh subur seperti menggelapkan terang di ruang tak berjejak.
Karena selalu dihapus tiadakan dalam rumah permainan tangan-tangan tidak kelihatan.
Budaya mengilegalkan produk-produk penyimpangan ini, tidak putus-putus dalam kehidupan masyarakat yang tetap direduksi dalam ruang hampa derasionalisasi masyarakat tanpa memandang bulu.
Tidak ada kemauan untuk melegalkan, agar tidak ada beban pajak bagi pembangunan.
Tetapi dirawat dalam rumah illegal, agar tetap tumbuh subur bagi kesejahteraan dan kemakmuran tangan-tangan tidak kelihatan, seperti para capital dan mafia.
Begitulah nalar perjudian, tetap mengalirkan peradaban manusia yang tidak putus-putus mengikuti putaran waktu dunia dari zaman ke zaman.
Maka ada kesadaran pada negara-negara tertentu untuk melegalkannya untuk tujuan pembangunan bangsa.
Seperti Singapura melagalkan perjudian, sedangkan Indonesia lebih senang mengilegalkan perjudian.
Oleh karena nalar bangsa ini, lebih pada kelincahan gerak mental mengikuti pembiaran dan pengembaraan tangan-tangan tak kelihatan, dalam meraup ruang untuk kepentingan mafia perjudian.
Hanya di Indonesia, seorang Gubernur Ali Sadikin, berani melegalkan perjudian untuk membangun DKI, guna mencairkan kompleksitas dialektika liarnya beragam perjudian ilegal.
Akhirnya perjudian telah menjadi puisi tersembunyi di balik masifnya perkembangan judi online dewasa ini.
Ada rahasia yang menakjubkan oleh pembiaran panjang di ruang rumah bangsa kita.
Namun yang memprihatinkan adalah demoralisasi dibalik kecanduan penyakit perjudian.
Masyarakat di desa-desa telah melupakan hal-hal yang rasional dan berangan-angan membeli kupon online untuk kaya dalam sesaat.
Tanpa disadari judi online, telah menjadi penyakit kronis yang membuat masyarakat harus terlibat dalam dialektika banjir pesona kekayaan yang galau.
Tanpa disadari kesenangan yang membeku dalam permainan judi online, tetap membuat parah penyakit masyarakat, dan masyarakat tetap terpola dalam proses derasionalisasi, berangan-angan untuk kaya dengan membeli kupon putih judi online.
Ini refleksi kita bersama, bahwa tumbuh suburnya judi online dalam kehidupan masyarakat, haruslah ditangkap sebagai gejala sosial yang memprihatinkan.
Untuk itu perlu dikaji, apa sebenarnya yang terjadi di masyarakat, sehingga timbul kecenderungan demikian?
Apalagi, selalu ada penalaran puitis, bahwa maraknya judi online karena ada perlindungan dari tangan-tangan tak kelihatan dan kuatnya genggaman para Kapital dan mafia.
Maka dalam puisi zaman, kita tetap memandang perjudian sebagai felix culpa atau dosa yang membahagiakan.
Karena persoalannya tak pernah akan selesai dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya masyarakat yang mendunia dari zaman ke zaman dalam litani puisi zaman**
Kupang 27 Agustus 2022
Penulis, pernah menjadi Ketua Pemuda Katolik Komda NTT.