“Kecemasan atau lebih tepat ketakutan ini bergerak cepat. Menggugat eksistensi diri saya sebagai manusia. Yang selama ini angkuh, tidak tahu diri dan terlalu bangga pada kemampuan teknologi. Yang selama ini mengira manusia yang disebut makluk ciptaan Tuhan termulia dan berakal budi ini mudah bikin apa saja”
Theodorus Widodo
Tulisan ini sudah dimuat di Harian Pos Kupang, 14 April 2020
KUPANG, DELEGASI.COM – Sabtu, 21 Maret 2020. Pukul tiga subuh. Italy sedang dicekam ketakutan. Lumpuh total di seluruh negeri.
Covid-19 makan korban lebih dari lima ribu jiwa (sekarang sudah mendekati 20.000).
Seorang sahabat yang sedang studi doktoral menelpon dari Roma. Sekali saja. Sudah itu diam. Dihubungipun tidak bisa.
“Kita seperti ada dalam perang gelap. musuh ada di sekeliling tapi tidak kelihatan.”
Kalimat ini menyentak saya. Rasa cemas seketika muncul akibat percakapan yang hanya sekali dan sudah itu berhenti total.
Keselamatan diri sohib yang sedang belajar di negeri yang jauh ini sedang terancam.
Jangan jangan besok ia sudah positif covid-19. Jangan jangan besok ia sudah sulit bernapas dan harus pakai ventilator.
Jangan jangan…ahh. Pikiran buruk yang bukan bukan datang silih berganti.
Kecemasan atau lebih tepat ketakutan ini bergerak cepat. Menggugat eksistensi diri saya sebagai manusia. Yang selama ini angkuh, tidak tahu diri dan terlalu bangga pada kemampuan teknologi. Yang selama ini mengira manusia yang disebut makluk ciptaan Tuhan termulia dan berakal budi ini mudah bikin apa saja.
Dengan kemampuan rekayasanya manusia mudah mengatasi segala hal. Termasuk mengatasi makluk berukuran sepersekian mikro atau kurang lebih 125 nanometer yang disebut virus corona SARS-2 ini.
Ternyata sekarang tidak.
Corona virus ini berhasil meluluh lantakkan seluruh tatanan hidup milyardan manusia. Dari berbagai kelas. Mulai dari rakyat jelata di gubuk gubuk sampai Presiden di istana megah. Mulai dari kaum papa sampai kaum kaya raya. Mulai dari rakyat kebanyakan sampai anggota dewan terhormat yang mewakilinya. Mulai dari negara termiskin sampai negara terkaya di dunia. Ia menebar ketakutan di mana saja tanpa pandang bulu. Mampu mengirim manusia pulang kerumahnya masing masing. Diam disana dan jangan bergerak. Bak keong dalam cangkang.
“Kita. Perang gelap. Musuh ada di sekeliling tapi tidak kelihatan.
Ini diksi apa?
Kita. Siapa kita?
Semula kata ini hanya berkonotasi penduduk kota Wuhan semata.
Atau provinsi Hubei.
Atau paling banter pemerintah dan warga negara Tiongkok.
Banyak yang mengira Novel Corona Virus SARS-2 ini bukan urusan semua manusia penghuni planet bumi. Ini hanya urusan mereka di sana. Orang China, negeri kaya dengan teknologi canggih. Pemerintah China, negara mapan dengan satu garis komando. Negeri ini jangkauan jarak dan relasinya terlalu jauh dari penghuni di belahan bumi lain. Semua merasa tidak apa apa. Aman aman saja. Dengan isolasi Wuhan, dikira virus mematikan ini tidak akan ke mana-mana. Maka muncul seketika ego manusia. Atas nama keselamatan warga negaranya, pemerintah pemerintah di luar Tiongkok ambil langkah cepat. Evakuasi warganya dari Wuhan. Kembalikan mereka ke tanah air. Asal pulang dikira pasti selamat.
Ternyata apa yang terjadi? Virus Corona ini berbiak cepat tanpa kenal batas. Batas negara, batas sosial, batas usia, batas ekonomi, batas politik, batas budaya, batas agama, batas ideologi. Bahkan batas imaginasi manusia. Semua diterobos. Ia merambah keseluruh dunia dalam kecepatan eksponensial yang sangat mencengangkan. Pandemi global terjadi hanya dalam hitungan hari.
Italia porak poranda dalam sekejap. Padahal negeri ini dikenal paling canggih dalam hal apapun. Termasuk dokter, peralatan medis, rumah sakit, sistem pelayanan kesehatan dan obat obatan. Sekarang apa yang terjadi?. Negeri produk branded ini terkapar tak berdaya.
Roma, centrum keKatolikan jadi kota senyap. Semua lokasi destinasi ziarah iman ditutup. Semua ritual dihentikan tanpa kompromi. Berkat publik Paus dalam audiensi akbar yang lazimnya sembari keliling dalam mobil terbuka di lapangan St Petrus ditiadakan. Misa minggu Paskah di lapangan St Petrus dan pemberkatan Urbi et Orbi yang dihadiri puluhan ribu umat ditiadakan.
Semua pemimpin Gereja di seantero dunia keluarkan perintah. Ibadat di rumah saja. Lewat siaran TV atau live streaming.
Saudi, pusat keimanan Islam sejagat menghentikan semua rutinitas ibadah akbar. Termasuk ibadah haji dan umroh. Padahal negeri ini berada jauh dari Tiongkok. Ribuan kilometer dari Wuhan, awal mula merebaknya virus ini.
Semua agama bersuara yang sama. Ibadat di rumah saja. Berkat dari pemimpin ibadat cukup lewat televisi atau gadget. Dan itu sah adanya.
Pertanda apakah ini?
Bahwa pemimpin agama agama peduli pada keselamatan umatnya. Bahwa agama memang hadir bukan untuk membinasakan. Tapi untuk menyelamatkan.
Di akherat dan di dunia. Bahwa rumah adalah tempat ibadah mini. Bahwa ibadah yang terpenting adalah di dalam hati, pikiran dan tindakan.
Iran negara kaya yang konon paling cerdas di Timur Tengah dan tidak pernah takut pada Amerika “sang polisi dunia” lumpuh total. Ada 64.586 kasus Covid-19 . Negeri kaum Mullah yang jaraknya ribuan kilometer dari Wuhan ini porak poranda. Pejabat tingginya setingkat wakil presidenpun terinfeksi.
Bahkan Amerika Serikat yang ngaku paling well prepared sekarang harus berjuang keras. Virus ini membuat hidup di Newyork, kota pusat dunia terhenti. Negeri adi daya yang selama ini merasa diri paling hebat dan harus jadi kiblat segala bangsa justru jumlah pasien terinfeksinya meroket naik. Sekarang sudah di posisi puncak dengan 31.700 meninggal. Mengalahkan Spanyol. Mengalahkan Italy yang sebelumnya mengalahkan China. Situs WHO www.who.int tanggal 5 April menyebut angka yang sangat menakutkan. Dalam tempo hanya 24 jam sejak Kamis 2 April sampai Jumat 3 April 1.480 warga negara Paman Sam ini jadi jenasah.
Corona virus berhasil menggeser anggaran militer banyak negara jadi anggaran kesehatan. Termasuk negara adi daya ini.
Eropa diramal akan jadi hotspot covid-19 dengan leading statenya Spanyol dan Italy.
Pertanyaannya sekarang siapa kita? Hanya warga Wuhan, Hubei atau Tiongkok sajakah?
Diksi kedua. “Perang gelap”. Musuh ada di sekeliling tapi tidak kelihatan.
Dua kalimat ini representasi dari narasi besar saat ini. Kita umat manusia di muka bumi ini sedang berperang. Perang lawan siapa?. Lawan covid-19.
Kenapa perang gelap?
Karena musuh tidak jelas. Virus jahanam yang belum ada senjata pamungkasnya ini tidak kasat mata. Makluk super kecil ini bisa ada di semua tempat. Apa saja. Pokoknya yang bisa disentuh. Di pegangan pintu. Di pegangan eskalator.
Di sofa. Di tombol ATM. Di bantal kepala. Di HP. Di mana saja. Virus ini bisa dompleng droplet yang muncrat dari sisakit ketika bersin. Maka hati hati anda. Jaga jarak.
Kenapa perang gelap?
Karena penderita yang belum parah berbaur jadi satu dengan yang sehat. Sama sama merasa punya hak untuk takut mati. Sama sama punya hak pakai masker.
Apalagi sudah ada perintah. Semua wajib pakai masker. Maka sulit dibedakan mana yang sakit, mana yang sehat, mana yang masih masa inkubasi, mana yang hanya carrier saja.
Semuanya berbaur jadi satu.
Bayangkan suatu saat anda berada di medan perang dalam situasi semuanya serba gelap. Tidak ada cahaya. Tidak ada penerangan. Tidak ada yang bisa dilihat. Musuh tidak jelas dimana posisinya. Ada di depan. Atau di belakang. Atau di samping. Teman anda sedang menembak lawan yang dikiranya ada di depan atau jangan jangan dia ada persis di belakang dan sekarang sedang menembak anda dalam jarak yang teramat dekat.
Itulah perang gelap.
Sekarang bagaimana dengan Indonesia?
Jumlah kasus dan orang meninggal sedang meroket naik. Data perhari ini 10 April 2020 dari WHO ada 3.512 kasus. 306 meninggal.
Perang sesungguhnya baru saja dimulai. Disini. Di negeri yang semuanya serba kurang. Kurang fasilitas kesehatan. Kurang jumlah dokter-perawat. Kurang peralatan medis. Kurang obat. Terlebih lagi kurang dalam keteraturan. Kurang dalam kesadaran kolektif.
Pemerintah sudah menyerukan stay at home. Sering cuci tangan pakai sabun dan air mengalir. Jaga jarak. Pakai masker. Hindari keramaian. Dengan physical distancing mata rantai penyebaran virus bisa putus.
Tapi apa? Masyarakat masih juga cuek. Kota kota hanya sedikit saja berkurang ramainya. Semua masih suka berkeliaran di jalan-jalan.
Dalam kecemasan ini, tiba tiba saja si sohib “hidup” kembali. Tiga hari lalu ia kirim pesan WA panjang lebar. Ini bikin lega. Sekaligus sedih karena ingat, banyak yang belum bisa dibuat.
Pesannya panjang.
“Perang ini mesti kalian menangkan. Bagaimana caranya? Persenjatai pasukan tempur (baca: dokter-perawat) dengan senjata, amunisi dan logistik dalam jumlah yang lebih dari cukup. Kelompok kelompok masyarakat jangan tinggal diam. Semua yang bisa bantu, bantulah. Jangan tunggu. Lakukan sekarang juga. Selagi pertempuran hidup mati baru dimulai. Selagi masih ada waktu. Jangan sampai terjadi seperti di Italy sini yang sekarang semua sudah terlanjur lumpuh total.”
“Yang punya kemampuan untuk bantu pasukan tempur ini, bantulah sebisa mungkin. Lewat donasi bisa. Lewat pengadaan langsung Alat Pelindung Diri (APD) juga bisa. Untuk itu tidak perlu harus keluar rumah. Semua bisa diurus dari rumah. Stay at home. Gunakan telpon, medsos, internet banking atau apa saja.”
“Sekali lagi lakukan itu. Sekarang juga!. Atau kalian akan tidak punya waktu lagi. Pertempuran mati hidup di NTT belum mulai.
Belum terjadi ledakan kasus. Ingat itu!. Prosentasi para medis Indonesia yang gugur tertinggi di dunia. Saat ini saja sudah ada 20 dokter umum dan dokter spesialis, 6 dokter gigi dan 10 perawat yang gugur. Padahal China sampai sekarang hanya kehilangan 6 dokter dan perawat. Jangan biarkan aset bangsa tak ternilai ini gugur lagi demi menolong kalian yang disuruh tinggal di rumah. Kasihan mereka.”
“Kalian yang di NTT juga harus sadar. NTT ada di periferi Indonesia. Karena itu rebut perlengkapan tempur ini dari mereka yang dekat pusat supplier. Tidak mudah memang. Terutama kendala transportasi. Tapi kalau mau pasti bisa.”
Itu WA terakhir sohib yang diposting tiga hari sebelum tulisan ini dibuat. Sekali saja. Sudah itu diam. Sampai sekarang.
Saya coba menghubunginya berkali kali tapi tidak bisa.
Kecemasan kembali memuncak. Lagi lagi, jangan sampai beliau sudah…..
Penulis adalah Anggota Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 NTT)
Ruang tamu, jantung sebuah rumah, kini bertransformasi. Tren minimalis, didorong oleh penelitian psikologis tentang keterkaitan…
Bayangkan sebuah ruangan, tenang, seimbang, dan penuh ketenangan. Itulah keajaiban seni dinding minimalis. Lebih dari…
Ruang sempit bukan lagi penghalang bagi hunian yang nyaman dan estetis. Faktanya, ilmu desain interior…
Bayangkan rumah yang bukan sekadar tempat tinggal, tetapi sebuah karya seni fungsional. Rumah minimalis modern,…
Bayangkan rumah mungil yang nyaman, di mana setiap sudutnya dirancang dengan cermat untuk memaksimalkan ruang…
Bayangkan sebuah rumah, bersih, lapang, dan menenangkan. Bukan sekadar tren, desain minimalis didasarkan pada prinsip-prinsip…