Pledoi Yohanes Sulayman : JPU Dinilai Konyol dan Menyesatkan

Avatar photo

KUPANG, DELEGASI.COM – Penasihat Hukum Terdakwa Yohanes Sulayman (YS) dalam pledoi (nota pembelaannya, red) menilai Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) konyol dan menyesatkan karena pemaparan JPU dalam tuntutannya tidak sesuai dengan fakta persidangan yang sebenarnya.


Penilaian itu disampaikan Tim Penasihat Hukum Yohanes Sulayman dari Kantor Hukum Amos H.Z. Taka & Associates, Dr. Melkianus Ndaomanu, SH, M.Hum, Chindra Adiano, SH, MH, CLA, Nurmawan Wahyudi, SH, MH. Sidang tersebut dipimpin Ketua Majelis Hakim Dju Johnson Mira Manggi, SH, M.Hum didampingi anggota Majelis Hakim Ali Muhtarom, SH, MH dan Ari Prabowo, SH di Pengadilan Tipikor Kupang, Kamis (19/11/20).
Dalam pledoi yang dibacakan secara bergantian sekitar 3,5 jam tersebut, Tim Penasihat Hukum Terdakwa YS menilai Tuntutan JPU konyol dan menyesatkan. “Apa yang diuraikan JPU dalam tuntutannya konyol dan menyesatkan karena tidak sesuai dengan fakta persidangan yang sebenarnya,” ujar Chindra Adiano, SH, MH, CLA saat membacakan pledoi.

Tim Penasihat Hukum yang ditemui saat skors makan siang, mengakui adanya penilaian tersebut. Menurut mereka, apa yang disampaikan JPU dalam tuntutannya tidak sesuai dengan fakta persidangan yang berlangsung sekitar 5 bulan.

“Penilaian itu disebabkan oleh karena fakta yang dihadirkan dalam tuntutan yang disampaikan JPU melenceng dari fakta persidangan. Dari saksi yang sudah dihadirkan JPU yang PH hadirkan dan ahli, menurut kami itu berbeda antara fakta persidangan dengan fakta yang disampaikan dalam tuntutan. Itulah kenapa ada redaksi konyol dan sesat,” tandas Chindra.

Menurut Chindra, hukum harus ditegakkan sehingga tidak menyesatkan pencari keadilan. “Karena hukum harus ditegakkan agar kita jangan tersesat kan begitu. Kalau dalam proses hukum sudah ada penyesatan melalui dalil yang salah dan ternyata fakta yang diangkat tidak sesuai dengan fakta sebenarnya itulah yang sesat,” tegasnya.

Hal senada juga dikemukakan anggota Tim Penasihan Hukum, Nurmawan Wahyudi, SH, MH. “Kita ambil satu contoh bahwa di fakta persidangan, terbukti secara nyata aset yang diberikan oleh CV MM Linen dalam pengajuan kredit, ada 2 tahap. Satu tahap pada saat pengajuan pertama yaitu pada Mei 2018, yang ke dua diajukan pada Desember 2018 pada saat penambahan fasilitas modal kerja yang diajukan oleh MM Linen,” bebernya.

Sementara itu , lanjutnya, dalam surat tuntutan JPU, disebutkan bahwa Analis Kredit namanya Gratia Imanuel Lapudo (yang menganalisa kredit CV MM Linen di Desember 2018, red) mengatakan pada saat penambahan kredit itu dengan asset dan jaminan yang sama. Seolah-olah tidak ada tambahan ini konyol dan sesat ini. Jadi benar kata rekan kami ketika fakta yang diungkap di persidangan tidak yang benar, tidak sesuai fakta sebenarnya maka diperoleh peneyesatan yang kemudian gagal dalam penegakkan hukum,” tegas Nurmawan.

Sementara itu, pengacara senior, Dr. Melkianus Ndaomanu, SH, M.Hum mengatakan bahwa hukum harus ditegakkan dengan hukum. “Nah terkait dengan posisi kasus ini, hubungan hukumnya antara debitur dan kreditur yang diikat dengan perjanjian kredit secara notarial (oleh notaris, red). Nah apabila ada hubungan hukum yang diikat dengan notarial maka kalau ada masalah yang timbul dalam perjanjian itu, maka hukum yang ditegakkan adalah hukum yang ada dalam perjanjian itu sendiri atau hukum dalam perjanjian kredit itu sendiri berupa wanprestasi. Bukan hukum yang lain. Itulah maksud menegakkan hukum dengan hukum itu sendiri.” paparnya.


Menurut Ndaomanu, seseorang tidak dapat dipidana karena tidak mampu memenuhi kewajiabannya dalam perjanjian hutang-piutang. “Konsekuensi dari hubungan hukum yang diikat dengan perjanjian sesuai dengan pasal 19 ayat 2 Undang Undang HAM, dikatakan kalau seseorang tidak mampu memenuhi kewajiban karena didasarkan pada hubungan kontraktual atau hubungan hutang-piutang, maka ia tidak bisa dipidana,” tandasnya.

Saat ditanya wartawan, apakah dengan Tuntutan JPU terhadap SS dapat dianggap Melanggar HAM? Ndaomanu mengatakan setiap orang dapat menyimpulkan sendiri. “Itulah yang dikatakan mengakkan hukum dengan hukum, yaitu dengan memperhatikan hukum yang diatur dalam Undang- Undang HAM. Silahkan simpulkan sendiri,” ujarnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, YS sebagai salah satu terdakwa dugaan korupsi kasus kredit macet Bank NTT dituntut 16 tahun penjara, denda Rp 1 Milyar subsider 6 bulan penjara, dan mengganti kerugian negara sekitar Rp 33 Milyar, subsider 10 tahun penjara. Bila dalam waktu 1 bulan, terdakwa tidak dapat mengganti kerugian tersebut maka seluruh hartanya akan disita untuk mengganti kerugian Bank NTT. Padahal dalam fakta persidangan, JPU tak mampu membuktikan adanya kerugian negara dan perbuatan terdakwa yang melawan hukum.

//delegasi(tim)

Komentar ANDA?