Kupang, Delegasi,com – Sebagai daerah yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Belu pada tahun 2013, Kabupaten Malaka yang kini memiliki 374.381 jiwa penduduk ini tampak sedang menata diri melalui pembangunan di segala bidang. Salah satunya, pembangunan rumah sakit (RS) penyangga perbatasan di daerah yang berbatasan langsung dengan Timor Leste.
Dirilis viva.co.id, RS Penyangga Perbatasan Betun adalah rumah sakit negeri kelas D, yang telah dilengkapi beberapa fasilitas, seperti laboratorium, tempat tidur sebanyak 63 tempat, ruang nifas, dan Instalasi Gawat Darurat (IGD). Tidak seperti rumah sakit di Jakarta yang terlihat mewah, Rumah Sakit Penyangga Perbatasan Betun terlihat jauh lebih sederhana.
Sebagai rumah sakit penyangga perbatasan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah menaikkan kelas rumah sakit ini menjadi setidaknya kelas C. Karena kini jumlah minimal dokter spesialis yang harusnya dimiliki belum tercapai.
Jumlah dokter yang dimiliki baru empat dokter spesialis, yaitu dokter spesialis anak, saraf, bedah, dan penyakit dalam. Sementara jika ingin naik menjadi rumah sakit kelas C, setidaknya Rumah Sakit Penyangga Perbatasan Betun harus memiliki tujuh dokter spesialis, yaitu anestesi, bedah, anak, obgyn, penyakit dalam, radiologi, dan laboratorium.
Untuk membuat para calon dokter tertarik bekerja di Betun, pemerintah daerah mengiming-imingi sejumlah insentif yang cukup besar. “Dokter umum dan gigi insentif Rp15 juta, dokter ahli Rp40 juta,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Malaka, drg. Paskalia Frida Fahik, dalam Kunjungan Tematik Media Massa di Malaka, NTT.
Dan supaya para dokter tertarik bekerja di sana sekaligus meningkatkan pelayanan kesehatan, Pemerintah Daerah Malaka membiayai tenaga medisnya yang semula D-0 dan D-1 agar bisa menjadi D-3, begitupun dengan dokter umum untuk menjadi dokter spesialis. Meski begitu, hal ini bukan tugas mudah, mengingat bahwa kandidat yang dikirim juga terbatas dan untuk bisa diterima juga merupakan hal yang sulit.
Dia menuturkan, dari 80 orang yang dikirim, hanya 10 yang diterima. Dan persoalan terpenting lainnya membuat mereka tetap mau mengabdi bekerja di Malaka setelah disekolahkan.
Selain masalah sumber daya manusia (SDM), termasuk di dalamnya kualitas, kompetensi dan sebaran, yang menjadi tantangan rumah sakit penyangga perbatasan adalah kondisi bangunan yang harus disesuaikan dengan ketersediaan alat dan prasarana.
“Ini rumah sakit harus dikembangkan. Rumah sakit ini akan kita kembangkan untuk jadi lebih bagus, karena fasilitas kesehatan itu dibutuhkan semua rakyat. Kenapa semua yang terbaik ada di Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, Denpasar? Apa masyarakat di daerah sini kelas dua tidak,” kata Bupati dr. Stefanus Bria Seran, MPH.
Karena itu, dia memiliki kewajiban mengembangkannya supaya rakyat mendapat fasilitas yang sama sebagai sesama warga negara Indonesia (WNI). Apalagi, dia menambahkan, mereka ada di perbatasan dan Menteri Kesehatan menjanjikan peningkatan fasilitas kesehatan baik primer maupun rujukan di daerah perbatasan supaya jadi baik.//delegasi(viva.co.id)