“Barangkali loyalitas kritis ini, kita dapat belajar dari pesan lagenda bola kaki dunia “Pele” ketika menyambangi Jakarta dari Australia, 21 Juni 1972. Bahwa bermain bola kaki di negeri yang tidak memiliki budaya prestasi di dunia sepak bola, adalah memahami prinsip etis: ‘bermain bola itu untuk kesenangan bukan untuk mencari uang, Apakah kebajikan pesan Pele ini kita temukan dalam bermain demokrasi dan politik yang sehat di daerah kita?
Marsel Tupen Masan Pernah menjadi Ketua Pemuda Katolik Komda NTT
DELEGASI.COM – Bagi Om Bung Kanis, berpolitik adalah seni menggunakan kesempatan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Seni memanfaatkan kesempatan memang bisa hadir dalam multi tafsir. Seperti
Mahmoud Darwis seorang Sastrawan Palestina, selalu menyuarakan harapan bangsa Palestina, untuk merdeka walaupun situasinya berat. Darwis melalui kata-kata puitisnya melitanikan:
“Dan apakah kau akan memenangi perang ini? Tidak, yang penting adalah bertahan. Bertahanpun sudah merupakan kemenangan” (Andreas Maryoto, Kompas 05 Maret 2020).
Naluri memuisikan ketakberdayaan dengan optimisme perjuangan seperti ini, menunjukkan tingkat keyakinan dan ketangguhan mental seorang pejuang dalam menavigasi kepengapan ruang publik yang tertindas oleh arogansi kekuasaan, otoritarianisme, dan penaklukan, untuk memberi kekuatan bagi bangkitnya semangat perjuangan.
Orang-orang seperti ini selalu merasa tidak nyaman berada dalam zona-zona nyaman.
Oleh karena tahu bagaimana mengubah ketidakpastian dengan rasa peduli yang kuat sebagai kekuatan energi untuk melibatkan diri dan bahkan masuk ke tengah ruang ketidakadilan dan ketidakpastian itu.
Berarti seni berpolitik adalah seni menggunakan kesempatan, untuk masuk lebih jauh dan lebih dalam pada ruang-ruang pengap yang menutupi evolusi spontan dari pertumbuhan masyarakat.
Seperti pertumbuhan demokrasi sejak reformasi yang kini terjerumus dalam jebakan-jebakan arogansi kekuasaan, otoritarianisme dan kuatnya tekanan kepentingan di daerah oleh perjanjian kekuasaan dengan kekuatan kapital dan kekuatan perjanjian bohong.
Pertama, ketika kekuasaan hanya digunakan untuk melaksanakan kesombongan eksklusif tanpa berbuat untuk rakyat, rakyat diberi tontonan hipokrisi atau kemunafikan, dimana kita mengibarkan bendera demokrasi setinggi langit, tetapi telunjuk kita merendahkan manusia dengan tangan kita sendiri.
Apakah ruang pengab ini disadari sebagai zona tidak nyaman? Kita tidak memiliki bangkitan kesadaran untuk memaknai ini sebagai sebuah kemunduran peradaban berdemokrasi.
Bahkan kita menyemangatinya sebagai peradaban baru, oleh karena semua kita terbungkam diam jadi penonton bisu.
Kedua, ketika rakyat dipandang seperti manusia monyet dengan kepenuhan slogan dan janji-janji muluk tanpa ada titik nyata, kita mengagungkan kehampaan ini dalam nalar, bahwa demokrasi telah berjalan maju di daerah ini. Karena hidunya nilai loyalitas kita kepada penguasa yang memenangi pertarungan dalam sebuah pemilu terbuka. Kita tetap berada dalam zona nyaman.
Ketika kita nyaman di zona ketertindasan oleh kebohongan dan kemunafikan kekuasaan; semua kita dan lembaga-lembaga sosial kontrol ketiadaan kritik sosial; tidak ada gerakan korektif dari mahasiswa maupun gerakan perubahan oleh ormas mahasiswa; maka kita semua di daerah ini telah berserah diri pada zona menikmati kebohongan sebagai dosa yang membahagiakan.
Tanpa sadar semua kita telah dikungkungi oleh ketakutan. Takut dipremani. Takut pada perjanjian oleh tangan-tangan tak kelihatan bahkan persekutuan para setan yang tengah menggerogoti harta kemiskianan rakyat dalam pemiskinana yang sangat sempurna.
Tetapi kita tetap menikmati persekutuan dengan takdir demokrasi itu. Kapan naluri kita dihidupi oleh fakta ini. Banyak orang bicara tentang perubahan, tetapi siapa yang berani merubah kebohongan kepada kebajikan budi.
Akhirnya kita di daerah ini, telah ketiadaan seni berpolitik. Karena lebih menikmati kemanfaatan oleh kelelapan bersekutu dengan takdir demokrasi. Tidak pernah berpikir secuilpun untuk masuk lebih jauh ke dalam zona tidak nyaman untuk menyelami rasa ketidaknyamanan itu.
Ataupun rasa dibohongi maupun rasa dibinatangkan dengan janji tanpa hasil, karena kita ketiadaan wawasan loyalitas kritis pada kepengapan demokrasi di daerah ini.
Barangkali loyalitas kritis ini, kita dapat belajar dari pesan lagenda bola kaki dunia “Pele” ketika menyambangi Jakarta dari Australia, 21 Juni 1972. Bahwa bermain bola kaki di negeri yang tidak memiliki budaya prestasi di dunia sepak bola, adalah memahami prinsip etis: “bermain bola itu untuk kesenangan bukan untuk mencari uang”.
Apa yang dipesankan ini, adalah gambaran bijak seorang pesebak bola yang mencintai dunianya, dan ingin mewariskan kepada dunia tentang dunia sepak bola yang sesungguhnya.
Apakah kebajikan pesan Pele ini kita temukan dalam bermain demokrasi dan politik yang sehat di daerah kita?
Tidak. Kita telah ketiadaan seni berpolitik. Kita selalu merasa nyaman berada dalam zona-zona tidak nyaman. Oleh karena menutup mata dan telinga serta tidak mau tahu bagaimana mengubah ketidakpastian sebagai kekuatan energi untuk melibatkan diri dan bahkan masuk ke tengah ruang ketidakadilan dan ketidakpastian. Ataukah kita mesti pasrah dalam harapan seperti Mahmoud Darwis “bertahanpun sudah merupakan kemenangan”.
Lalu menang dengan siapa? Kalah dengan siapa? Kita akhirnya tetap memburu bayang-bayang sendiri dalam rumah demokrasi di rumah kita sendiri, oleh sirna hilangnya seni berpolitik.**
Kupang, 14 Januari 2023.
Salam hormat dari tumpukan Sampah Jalan Belimbing Oepura