PARIS, DELEGASI.COM – Dalam beberapa pekan terakhir, nasib Muslim di Prancis semakin tersudutkan dan terstigmatisasi. Apalagi, serangan yang mengatasnamakan Islam berulang kali terjadi di Prancis. Seruan boikot terhadap produk Prancis yang melanda negara-negara Muslim juga semakin membuat sulit mereka.
Komentar Presiden Prancis Emmanuel Macron yang menjadikan isu tersebut sebagai panggung politik untuk popularitasnya juga semakin memperkeruh keadaan. Retorika kasar terhadap umat Islam di Prancis semakin menguat setelah insiden pembunuhan terhadap tiga orang pada Kamis lalu. Umat Muslim terus disorot negatif karena dilekatkan dengan kekerasan tersebut.
“Itu sungguh mengkhawatirkan bagi Muslim,” kata Hicham Benaissa, sosiolog khusus Islam. Di dalam jaringannya, dia mengatakan, banyak orang Muslim di Prancis yang ingin meninggalkan negara tersebut. “Situasinya semakin tegang. Ada ketakutan yang timbul,” imbuhnya.
Islam merupakan agama kedua di Prancis, di mana populasi Muslim terbesar di Eropa Barat. Sebanyak lima juta orang beragama Islam tinggal di negara tersebut. Bayangan diskriminasi memang menghantui kehidupan mereka.
Nilai dasar sekularisme menjadi dasar kebebasan beragama justru digunakan beberapa negara bagian di Prancis untuk mengekang praktik beragama umat Islam. Presiden Prancis bisa saja mengajukan undang-undang yang digunakan untuk memperkuat hukum sekularisme 1905 yang lahir karena konflik dengan gereja Katolik Roma.
Pidato Presiden Macron yang disampaikannya saat upacara pemakaman guru Samuel Paty yang dibunuh karena melihatkan gambar Nabi Muhammad di kelas, telah memicu boikot terhadap produk asal Prancis di Asia Selatan hingga Timur Tengah. Dia dituding menyebarkan sentimen anti-Muslim. Macron menyatakan dirinya membela hak warga Prancis menggambar karikatur Nabi Muhammad.
“Serangan terhadap saudara yang beribadah sungguh menyentuh,” kata imam besar Masjid Ar Rahman di Nice, Otman Aissaoui. “Sekali lagi, kita terstigmatisasi dan orang mulai bergerak cepat,” katanya. Dia mengatakan, banyak umat Islam semakin tidak nyaman.
Kemudian menurut Abdallah Zekri, pejabat Dewan
Prancis untuk Muslim,umat Muslim tidak perlu merasa bersalah atau bertanggung jawab. “Kita seharusnya tidak menjustifikasi diri kita,” katanya.
Banyak serangan yang dilakukan umat Islam dan rencana “separatisme” oleh Macron membuat umat Islam semakin tersudutkan. Banyak organisasi Muslim juga memberikan perhatian terhadap definisi sekularisme yang belum jelas.
“Kehadiran Islam tidak dilihat oleh masyarakat Prancis,” kata Tareq Oubrou, salah satu imam ternama di Bordeaux. Ketegangan terhadap umat Islam sebenarnya pernah terjadi pada 2004 ketika adanya larangan penggunaan jilbab di ruangan kelas dan larangan penutup wajah pada 2010. “Sekularisme menjadi asap kaca yang bisa mengancam Islam,” kata Benaissa.Rim-Sarah Alouane, kandidat doktor di Universitas Toulouse Capitole, mengungkapkan sejak 1990, sekularisme menjadi alat politik untuk membatasi tanda agama, khususnya umat Islam. “Seharusnya negara ini menghargai dan menghormati keragaman dan bukan menganggapnya sebagai ancaman,” katanya.
Kebangkitan Islam dalam pandangan publik berangsur-angsur menjadi ancaman bagi identitas Prancis. Itu disampaikan dengan kelompok kanan jauh. Selama bertahun-tahun, kehadiran masjid diabaikan, seperti sekolah Muslim.
Muslim pria datang ke
Prancis untuk bekerja setelah Perang Dunia II. Pada 1970-an, migran Muslim bekerja di pabrik mobil, konstruksi, dan sektor lainnya yang penting bagi Prancis. Banyak pabrik pun mendirikan ruang salat. Namun ketika perempuan bercadar bekerja di perusahaan Prancis, justru terjadi penolakan.
(Andika H Mustaqim) //delegasi(Sindonews)