Tanam Gerson Poyk di Dharmaloka Supaya Subur Rahim Flobamora

  • Bagikan
opini
gerson Poyk

                              oleh Eddy mesakh

”Oh, Tuhan, tiap tahun universitas di Indonesia bertelur dan menetaskan ribuan sarjana hukum, tapi sarjana hukum bagaikan anak ayam yang menciap-ciap kelaparan tak ada pekerjaan,” keluh sang Opa. ”Nampaknya yang kasihan pada sarjana hukum hanyalah para koruptor yang sibuk mencari pengacara. Hah, kalau tak ada korupsi, mampuslah semua pengacara di negeri ini,” sang Opa menggerutu. Lalu terkekeh.

Itu penggalan dari cerpen berjudul “Pengacara Pikun” yang terbit di Harian Kompas edisi 21 Juli 2013. Saya menemukan cerpen itu di blog lakonhidup.com setelah menjelajah dengan mesin pencari Google menggunakan kata kunci “Gerson Poyk.”

Di cerpennya yang lain, saya memperoleh pesan moral yang kuat, seperti membaca Amsal di Kitab Suci.

Di kamar tidur si Lumping, di darat dan di kapal, terpampang sebuah poster mungil bertulis:
Ketika aku lapar
Papacili Mamacili membriku kenyang
Ketika aku telanjang
Papacili Mamacili membriku sandang
Ketika aku tidur di emper-emper
Papacili Mamacili bri kamar bri kasur
Ketika aku dungu
Papacili Mamacili membriku ilmu
Maka Tuhan akan memberi mereka surga.

Penggalan alinea di atas saya comot dari cerpen berjudul “Kuda Lumping” yang terbit di Suara Karya edisi 4 Agustus 2007. Saya menemukan cerpen itu di blog; gersonpoyk.blogspot.co.id.

Itu hanya dua contoh dari sekian banyak karya Gerson Poyk, sastrawan legendaris Indonesia.  Ia menulis banyak cerpen, puisi, esai, dan berbagai karya jurnalistik.

Saya juga terbahak-bahak saat membaca esai berjudul “Dari Era Soekarno ke Soeharto – Sebuah Esai Kenangan Kenangan Sastrawan.” Lewat esai itu, sang mantan wartawan Sinar Harapan bercerita tentang pengalaman pribadi tentang pentingnya berada di lokasi kejadian. Berisi trik-trik cerdas dan kreatif bagi seorang jurnalis menembus ketatnya pengamanan demi  memperoleh berita eksklusif. (Selengkapnya bisa dibaca di SINI)

Kami meliput upacara wisuda perwira udara dimana Bung Karno hadir. Di sore hari aku membujuk Trees untuk menghadap komandan, mengatakan bahwa kami tidak membawa pakaian ganti. Komandan menyuruh seorang kolonel membagikan kaos pelatih.

Besoknya ada acara terjun payung. Aku berdiri di tengah lapangan. Karena ada kaos pelatihnya, ada tentara yang melaporkan bahwa ada yang jatuh dan cedera di kebun jagung. Aku terpaksa memerintahkan segera angkut dengan ambulans.

Lalu aku membuat tulisan tentang suasana penerjunan. Sinar Harapan penuh dengan gambar-gambar yang menarik.

Laporan pandangan mata dengan gambar-gambar yang menarik itu menyebabkan rekan Zaglul dari Warta Bhakti berkata, “Kau hampir membuat saya dipecat. Saya dipanggil bos, melemparkan Sinar Harapan dimuka saya lalu bertanya, mau jadi wartawan nggak?”

Di masa sekarang, banyak wartawan menulis berita tanpa datang ke lokasi kejadian. Mengabaikan syarat on the spot. Merasa sudah cukup untuk menulis sebuah berita dengan menelepon narasumber atau menelepon siapa saja saksi yang berada di lokasi sebuah kejadian.

Yang lebih parah, wartawan menulis berita hanya berdasarkan isu-isu yang tidak jelas kebenarannya. Asal kutip dari sumber-sumber yang tak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Alhasil hari-hari ini kita dikepung banyak isu hoax dan menyesatkan yang berpotensi memecah-belah bangsa ini.

***

 Pernah menjadi guru di berbagai daerah, tetapi lebih dikenal sebagai seorang wartawan sekaligus sastrawan. Hingga jelang akhir hayatnya, Gerson masih dalam proses menyelesaikan dua karya tulis, masing-masing sebuah buku tentang keberagaman agama di Indonesia yang ditulis sejak November 2016 dan sebuah novel berjudul “Terrorism No, Peace Yes”.   

Anak pertama Gerson, Fanny J Poyk, menuturkan kepada Liputan6, bahwa ayahnya menulis buku tentang keberagaman agama untuk memberikan contoh mengenai indahnya perbedaan. Buku ini terinspirasi dari seorang muridnya yang setia bernama Ismail Mukhtar asal Padang, Sumatera Barat. Menurut Fanny, Gerson merekomendasikan tiket haji untuk Ismail melalui Kementerian Agama.

Dia mengharumkan nama Indonesia dan Tanah Flobamora ke level internasional. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa; Inggris, Prancis, Rusia, Belanda, Jepang, sampai Turki. Karya-karyanya menjadi rujukan dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Menjadi bahan kajian untuk penulisan skripsi, thesis,  disertasi yang melahirkan para sarjana S1 sampai S3, baik di dalam maupun luar negeri.

Namanya dikenal lewat karya-karya sastranya yang mendunia, tetapi (mungkin) kurang dikenal di daerah asalnya, terutama di kalangan pelajar dan generasi muda era televisi dan medsos yang kurang akrab dengan literatur.

Gerson Poyk dilahirkan di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT), 16 Juni 1931. Jelang usia 86 tahun, sastrawan dan wartawan senior bernama lengkap Herson Gubertus Gerson Poyk berpulang kepada Sang Khalik di RS Hermina, Depok, Jumat 24 Februari 2017. Jenazahnya diterbangkan pulang ke Kota Kupang, Minggu 26 Februari 2017.

Jenazah Opa Gerson mendapat sambutan hangat sebagai seorang pahlawan yang gugur di “medan perang”. Bagi kalangan intelektual dan mereka yang melek literasi di Tanah Flobamora, Gerson Poyk bukan sosok biasa. Ia adalah sosok panutan sekaligus inspiratif.

Berbagai lembaga sosial dan pribadi-pribadi yang kenal sosok Opa Gerson, baik langsung maupun lewat karyanya, menyampaikan usul kepada Pemerintah Provinsi NTT agar jenazah sang sastrawan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Dharmaloka, Kupang, sebagai penghargaan atas jasa-jasanya. Permintaan ini telah disampaikan langsung kepada Gubernur NTT Frans Lebu Raya, juga melalui sebuah petisi di website Change.org.

Peter Apollonius Rohi, seorang sahabat dan teman seangkatan Gerson Poyk, menulis di dinding akun facebooknya sebagai berikut;

Perjuangan Gerson untuk mengangkat nama bangsa, dimulai dari bawah. Coretan kalbu dalam pena-nya mengundang decak kagum. Diterjemahkan dalam berbagai bahasa sebagai karya sastra dunia, termasuk Turki dan Rusia. Tentu saja juga dalam bahasa Prancis, Inggris , Belanda dll. Kata Napolion Bonaparte, pena penulis lebih tajam dari seribu bayonet.

Penulis akan dikenang sepanjang masa. Orang tahu siapa itu seniman2 besar seperti Leo Tolstoy, Shakespeare, musicus Chopin, Mozart, pelukis Van Gogh, Michelangelo dll, tapi mereka tidak ingat siapa para penguasa zaman itu, siapa para konglomerat masa mereka, siapa jenderal atau lain2nya.

Para pemikir dan pencipta tetap besar dan dikenang sepanjang massa. Gerson sendiri tidak meminta, tapi masyarakat telah mempahlawankan dia, sebagai pemberi semangat dan inspirasi jutaan anak2 muda Indonesia, jutaan anak2 muda NTT.

Mari kita berpikir baru, bahwa para pahlawan itu adalah mereka yang juga para pemikir, para penemu, para perintis dalam berbagai hal yang karya2 mereka dinikmati jutaan orang.  Berpikirlah bahwa Makam Pahlawan bukanlah makam tentara. Pahlawan adalah mereka yang diakui masyarakat sebagai pahlawan.

Saya dan ratusan rekan di Tanah Flobamora sependapat dengan Opa Peter Rohi di atas. Bagi saya, menanamkan jasad Gerson Poyk di TMP bukan untuk memberi kebanggaan bagi dirinya. Toh dia sudah berpulang kepada Sang Pencipta. Setinggi apapun penghargaan dari kita yang masih hidup tak memberikan sedikitpun kebanggaan dan kepuasan baginya.

Penghargaan itu kita beri semata-mata supaya kita yang hidup hari ini dan generasi hari esok tidak saja ikut berbangga tetapi juga mengambil pelajaran dan inspirasi darinya. Penghargaan yang pantas dari kita akan menjadi pupuk yang menyuburkan bagi rahim Flobamora dan Indonesia untuk terus melahirkan sosok-sosok manusia yang memanusiakan manusia seperti Gerson Poyk dalam bidang apa pun.

 Karena alasan tempat tinggal yang jauh, saya hanya bisa melayat Opa Gerson melalui artikel ini. Beristirahatlah dalam damai. Semoga keluarga yang ditinggalkan mendapat kekuatan dan penghiburan dari Tuhan Yang Maha Kasih. Amin.//delegasi (*)

Komentar ANDA?

  • Bagikan