Hukrim  

Terkait Izin Tambang, Warga Lolok Manggarai Timur Gugat Bupati Agas dan Gubernur Laiskodat

Avatar photo
Isfridus Sota dan Bonevasius Uden, dua warga Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda Utara menggugat Bupati Manggarai Timur (Matim) Agas Andreas dan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat ke PTUN.

KUPANG, DELEGASI.COM – Isfridus Sota dan Bonevasius Uden, dua warga Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda Utara menggugat Bupati Manggarai Timur (Matim) Agas Andreas dan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat ke PTUN.

Melalui Kuasa Hukum yaitu Marthen Jenarut, S.Fil, SH, MH, Vitalis Jenarus, SH, Valens Dulmin, SH, MH, Anselmus Malofiks, SH dan Elias Sumardi Dabur, A.Md, SH, kedua warga itu menggugat karena Bupati Agas dan Gubernur Laiskodat menerbitkan keputusan tentang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Mineral Bukan Logam Kepada PT. Istindo Mitra Manggarai dan Keputusan Tentang Izin Lingkungan Terhadap Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Pertambangan Batu Gamping di Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda Utara yang Diprakarsai oleh PT. Istindo Mitra Manggarai, tanggal 23 November 2020 lalu.

 “Gugatan TUN tersebut terdaftar dengan Nomor Perkara: 5/G/2021/PTUN-KPG di PTUN Kupang,” kata Elias, seperti di kutip VoxNtt.com.

“Secara ringkas dapat kami sampaikan kepentingan para penggugat dalam perkara ini terkait dengan adanya kepentingan yang dirugikan oleh keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan para tergugat,” imbuhnya.

Elias menjelaskan, para penggugat adalah anggota masyarakat yang tidak terpisahkan dari masyarakat adat Lengko Lolok. Mereka memiliki lahan dan hunian di Lengko Lolok, Desa Satar Punda.

Isfridus Sota dan Bonevasius Uden, dua warga Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda Utara menggugat Bupati Manggarai Timur (Matim) Agas Andreas dan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat ke PTUN//Foto: VoxNtt.com

Di atas tanah para penggugat, PT Istindo Mitra Manggarai mulai merencanakan kegiatan penambangan batu gamping.

Rencana tersebut menurut Elias, tanpa persetujuan para penggugat. Akibatnya, para penggugat bakal kehilangan hak atas tanah, kehilangan mata pencaharian dan penghidupan, kehilangan mata air dan hak untuk menikmati masa depan, serta keberlangsungan hidup keluarga dan keturunannya.

“Bahwa tanah dan segala yang tumbuh di atasnya, serta hunian milik para penggugat, termasuk kampung adat (rumah gendang) masyarakat adat Lengko Lolok masuk dan atau menjadi bagian di dalam wilayah IUP operasi produksi batu gamping PT Istindo,” ujar Alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) itu.

Menurut Elias, apabila PT Istindo Mitra Manggarai melakukan kegiatan operasional, maka sangat berpotensi menimbulkan kerugian bagi para penggugat yaitu menimbulkan dampak berupa rusaknya lahan milik, hilangnya kampung halaman, kehilangan ruang hidup, kehilangan lahan pertanian dan perkebunan, dan kehilangan masa depan anak cucu.

Salah satu lokasi bekas aktivitas tambang mangan PT Arumbai Mangan Bekti di Serise, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur. (Foto: Istimewa

Selain itu, lanjut Elias, wilayah IUP produksi batu gamping PT Istindo Mitra Manggarai mencakup seluruh ruang hidup para penggugat termasuk semua masyarakat adat Lengko Lolok.

Jika ruang hidup para penggugat dihancurkan, maka eksistensi mereka sebagai masyarakat adat Lengko Lolok akan musnah.

Jika eksistensi dan ruang hidup para penggugat musnah, maka identitas kultural pun akan musnah.

Itu terutama kampung sebagai tempat hunian (golo lonto/beo ka’eng), tanah sebagai lahan kelola untuk hidup (uma duat), halaman kampung sebagai tempat untuk ekspresi kreativitas hidup (natas labar), altar untuk perayaan kehidupan (compang takung), dan mata air untuk pemenuhan kebutuhan hidup (wae teku).

Elias menambahkan, pada 26 Maret 2020, Tju Bin Kuan mewakili PT Istindo dan Zhao Jiang Hao mewakili PT Semen Singa Merah NTT menandatangani “Kesepakatan Awal” dengan Damianus Demas, yang mengklaim dirinya sebagai pemilik atau penguasa dari bidang-bidang tanah hak ulayat (masyarakat adat) yang merugikan penggugat.

Dalam wilayah IUP produksi batu gamping PT Istindo Mitra Manggarai, kata Elias, ada tanah yang masih menjadi tanah ulayat.

Tua adat tidak memiliki kewenangan untuk mengklaim bahwa dia untuk dan atas nama masyarakat adat dapat melakukan penyerahan hak atas tanah pada pihak lain tanpa melalui proses musyawarah untuk mufakat bersama masyarakat adat.

Dikatakan, para penggugat tidak pernah memberikan persetujuan dan atau melepaskan hak kepemilikan atas lahan atau tanah pertanian, bangunan rumah sebagai tempat tinggal di Kampung Lengko Lolok kepada pihak mana pun untuk usaha pertambangan.

Menurut Elias, tindakan para tergugat telah mengabaikan dan atau melanggar hak para penggugat, sebagaimana diatur pada Pasal 10 huruf b Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959).

Pasal 10 huruf b: “Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilaksanakan: a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab; b. secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan.

Kemudian dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU VIII/2010, di mana dalam amarnya memutuskan: Pasal 10 huruf b sepanjang frasa “…memperhatikan pendapat…masyarakat…”

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) bertentangan secara bersyarat terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak”; ·

Selanjutnya, Pasal 10 huruf b sepanjang frasa “…memperhatikan pendapat… masyarakat…” Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak”;

Selain hal tersebut, dengan diterbitkan “Obyek Sengketa I” dan “Obyek Sengketa II”, maka akan menimbulkan kerugian bagi para penggugat.

Kerugian berupa putusnya hubungan hukum antara para penggugat dengan lahan milik mereka.

Tanpa persetujuan para penggugat telah dijadikan lokasi obyek pertambangan sebagaimana dimaksud dalam kedua obyek gugatan tersebut dan menimbulkan kerugian berupa hilangnya akses untuk mengelola tanah para penggugat serta hilangnya penghasilan atas tanahnya.

Selain itu, lanjut Elias, para penggugat juga berpotensi mengalami kerugian dari aspek lingkungan hidup.

Kerugian akibat kehidupan para penggugat untuk menikmati lingkungan hidup yang sehat.

Sebab ternyata obyek gugatan a quo diterbitkan di atas wilayah Ecoregion Karts dan Cekungan Air Tanah yang sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai wilayah yang harus dilindungi dan dipertahankan demi menjaga keberlangsungan eksistensi lingkungan hidup yang sehat.

Elias menambahkan, keputusan para tergugat juga melanggar ketentuan sejumlah Undang-undang, di antaranya: Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (“UU No. 41/2009”), UU Tentang Lingkungan Hidup, sejumlah Peraturan Pemerintah, termasuk Peratutan Daerah Kabupaten Manggarai Timur tentang Perlindungan Mata Air dan Peraturan Gubernur Provinsi NTT tentang moratorium tambang.

Selain menabrak ketentuan UU, keputusan para tergugat juga melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, antara lain: asas partisipasi masyarakat.

Padahal, asas partisipasi masyarakat sangat krusial karena menyangkut dampak sosial dan lingkungan masyarakat sekitar pasca-diterbitkannya keputusan Tata Usaha Negara (TUN). Dalam konteks ini instrumen perizinan lingkungan hidup, yakni Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan Izin Lingkungan.

Elias menegaskan, dokumen lingkungan tersebut mulai dari awal harus ada partisipasi masyarakat, agar dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan masyarakat sekitar.

Apalagi para penggugat memiliki lahan di lokasi yang akan ditambang, termasuk multiplier effect dari adanya suatu kegiatan usaha.

“Agenda lanjutan setelah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang adalah Pemeriksaan sengketa yang dimulai dengan pembacaan isi gugatan dan jawaban Tergugat,” tegas Elias.

Kondisi kerusakan lingkungan di Lingko Neni, Serise, Desa Satar Punda akibat aktivitas tambang mangan PT Arumbai Mangan Bekti. (Foto: Beritaflores).Kondisi kerusakan lingkungan di Lingko Neni, Serise, Desa Satar Punda akibat aktivitas tambang mangan PT Arumbai Mangan Bekti. (Foto: Beritaflores).

Silakan Tempuh Jalur Hukum

Menanggapi guugatan itu, Bupati Agas kepada wartawan seperti dilansir Pos Kupang,Jumat (30/4/2021) mempersilahkan warga Lolok untuk menepuh jalur hukum.

Pihaknya tidak melarang warga untuk menggugat, karena itu hak hukumnya mereka.

“Baik, mereka proses hukum, artinya kita tidak melarang mereka karena ini hak hukum mereka untuk menggugat, supaya kita tinggal ikut saja to sidang,”ungkap Bupati Agas, kapada pos Kupang.

Menurut Bupati  Agas, unjuk hukum itu lebih baik dari pada tunjuk fisik, sebab tunjuk fisik tidak baik. Segala materi menyangkut hukum tersebut nanti akan dibicarakan di persidangan.

“Segala macam pembicaraan menyanngkut materi sidangkan nantinya di sidang. Tidak apa-apa. Lebih baik dengan cara itu dari pada kita dengan cara unjuk badan, unjuk badan tidak baik, kita negara hukum, unjuk hukum saja,”ungkap Bupati Agas.

 

//delegasi(vox/pk)

Komentar ANDA?