Hukrim  

Tolak Lokasi Waduk Mbay-Lambo, Warga Rendu Blokade Jalan Masuk Lokasi Waduk

Avatar photo
Warga Desa Rendu Butowe, Kecamatan Rendu, Kabupaten Mbay – NTT bersikukuh untuk tetap menolak lokasi pembangunan Waduk Mbay-Lambo dengan menutup/memblokade akses masuk-keluar dengan memagari jalan masuk menuju ke titik Nol waduk Selasa (01/12/21) //Foto: Tim Inestigasi delegasi.com)

MBAY,DELEGASI.COM —Warga Desa Rendu Butowe, Kecamatan Rendu, Kabupaten Mbay – NTT bersikukuh untuk tetap menolak lokasi pembangunan Waduk Mbay-Lambo karena menenggelamkam perkampungan, rumah adat dan lahan pertanian 3 kampung di desa tersebut.  Penolakan lokasi pembangunan waduk tersebut dilakukan dengan menutup/memblokade akses masuk-keluar dengan memagari jalan masuk menuju ke titik Nol waduk tersebut.

Demikian disampaikan salah satu tokoh adat Rendu Butowe, Matheus Bhui kepada tim media yang mendatangi lokasi pembangunan Waduk Mbay-Lambo pada Selasa (01/12/21).

Baca Juga:

Gubernur NTT Minta Masyarakat Rendu dan Lambo Dukung Waduk Lambo

TPFI Tantang Kapolda NTT Gelar Ulang Kasus Pembunuhan Ibu dan Anak di Kupang

“Kami tidak menolak pembangunan Waduk Mbay-Lambo, tapi kami tolak lokasi pembangunan waduk karena menenggelamkan kampung dan budaya (rumah adat), serta dan lahan pertanian kami.  Kami tidak tolak pembangunan, tapi kami minta lokasinya dipindahkan karena mengganggu kehidupan kami sebagai petani,” tegasnya.

Menurut Matheus, jika waduk tersebut dibangun di tempat yang sesuai dengan kesepakatan dan sesuai RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten Nagekeo, maka pihaknya dan masyarakat setempat akan mendukungnya.   “Kampung dan lahan pertanian itu sudah dikelola secara turun temurun dari nenek moyang kami.  Jadi tidak mungkin kami membiarkan untuk ditenggelamkan,” tandasnya.

Tokoh adat Rendu Butowe ini menjelaskan, wacana pembangunan waduk sudah ada sejak tahun 2000-an dengan nama Waduk Mbay namun masyarakat setempat menolak lokasinya. “Pada tahun 2015, wacana pembangunan waduk kembali bergulir. Pemerintah hanya merubah nama jadi Waduk Mbay-Lambo tetapi lokasinya tetap sama. Akibatnya masyarakat tetap menolaknya,” ujarnya mengisahkan.

Sejak tahun 2015, lanjut Matheus, warga setempat memblokade jalan masuk menuju lokasi pembangunan waduk/titik nol/tanggul waduk dengan memagari jalan masuk tersebut.  Di tepi jalan tersebut, masyarakat membuat posko yang dijaga oleh mama-mama.

Seperti disaksikan Tim Media ini pada Selasa (01/11/21) pekan lalu, saat memasuki jalan (cabang Bo’anio, red) menuju lokasi pembangunan Waduk Mbay-Lambo (sekitar 5 km dari jalan Trans Flores, red), tampak sisi kanan jalan telah dibersihkan. Satu unit excavator berwarna kuning sedang diparkir di sisi kanan jalan.  Tampak sisi kanan jalan yang telah dibersihkan (pohon, tanah dan batu, red) oleh excavator sepanjang sekitar 1 km.

Namun tak jauh dari lokasi tersebut, ada pos jaga di sisi kiri jalan. Ternyata pos jaga tersebut di bangun oleh  Suku Ananuwa, pemilik tanah ulayat setempat yang tak mau menyerahkan lahannya untuk digunakan sebagai jalan masuk menuju lokasi waduk.

Tim pun terus menelusuri jalan lapen yang sudah rusak parah terseb  tak jauh dari jembatan tersebut, tampak beberapa orang di tepi jalan desa Rendu Butowe.  Tim media pun bertanya, dimana kios untuk bisa membeli air minum. Namun pertanyaan itu, tak dijawab. “Mau untuk apa?” tanya seorang Bapak berumur sekitar 50-an tahun dengan nada ketus dan wajah tak bersahabat.

Tim media pun memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan di lokasi tersebut. Mendengar penjalan tim media, mereka pun mempersilahkan tim media untuk menuju lokasi. “Kami berjaga-jaga dan periksa semua tamu yang datang ke lokasi kami,” jelas sang Bapak.

Tim pun melanjutkan perjalanan hingga mendapatkan kios. Di kios inilah tim media bertemu dengan beberapa tokoh adat dan tokoh masyarakat. Di tempat ini, tim media berdiskusi kemudian mewawancarainya.

Setelah wawancara, tim media diantar oleh beberapa tokoh adat dan tokoh masyarakat setempat menuju jalan masuk waduk yang diblokade. Di tempat ini, tampak pondok yang terbuat dari seng bekas, berukuran sekitar 5 x 5 m x 5m3. Posko yang terbuat dari bambu tersebut tak berdinding. Di posko ini dibuat bale-bale bambu sebagai tempat istirahat dan tidur bagi para ibupenjaga posko.

Tampak tiga orang ibu berumur sekitar 40-50-an tahun berada dalam posko tersebut. “Kami tidak menolak pembangunanan Waduk, tetapi kami tetap menolak lokasi pembangunan Waduk Mbay-Lambo. Kami tidak ingin kampung kami ditenggelamkan.  Hari ini hanya kami 3 orang yang berjaga karena kami sudah bagi kelompok jaga karena sekarang sudah musim tanam,” tegas seorang ibu yang mengaku bersama belasan ibu lainnya telah menjaga posko tersebut sejak tahun 2015.

Disamping posko tersebut, dibuat tempat ritual adat oleh 3 suku-suku di daerah tersebut. Di tempat ini, Tokoh Adat, Matheus Bhui kembali melakukan ritual adat untuk menolak lokasi pembangunan Waduk Mbay-Lambo.

Tepat disebelah posko, tampak jalan masuk menuju lokasi titik nol waduk (jalan tanah, red) yang telah diblokade/dipagari/ditanam dengan batang gamal dan batang bambu serta dipasang berbagai spanduk yang berisi penolakan terhadap lokasi pembangunan Waduk Mbay-Lambo.

//delegasi(tim)

Komentar ANDA?