Jakarta, Delegasi.com – Menjelang HUT ke-72 TNI, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) merilis laporan terkait profesionalisme militer di tengah pusaran arus politik.
Dirilis kompas.com, Wakil Koordinator Kontras Puri Kencana Putri menuturkan, setidaknya Kontras mencatat beberapa pernyataan dan sikap Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo yang dinilai kontroversial dan sarat politik meski dibantah sebagai pernyataan yang politis oleh Gatot.
Pernyataan dan sikap Panglima tersebut tidak sesuai dengan Buku Putih Pertahanan.
“TNI harus kembali ke Buku Putih Pertahanan. Pertahanan teritoral harus dijalankan. Seharusnya sikap militer berbasis pengelolaan keamanan tradisional dan non tradisional. Pernyataan Panglima Gatot beberapa kali bertentangan dengan Buku Putih,” ujar Puri saat memberikan keterangan di kantor Kontras, Jakarta Pusat, Rabu (4/10/2017).
Pada Mei 2016, Gatot mengeluarkan analisis bahwa Indonesia akan masuk pada zona proxy war, dengan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia.
Kemudian, menjelang HUT ke-71 TNI, Gatot mengusulkan untuk dipulihkannya kembali hak berpolitik aparat TNI.
Gatot juga pernah hadir bersama dengan ribuan pendemo 212 di akhir tahun 2016. Saat itu, Panglima menggunakan peci putih.
“Pembelaannya adalah ia hadir di tengah kerumunan massa untuk menjaga kesatuan NKRI dan kepresidenen Joko Widodo,” ucap Puri.
Pada Februari 2017, Gatot sempat bersitegang dengan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu.
Gatot mengeluh bahwa dirinya tidak mampu mengelola anggaran matra laut, darat dan udara karena adanya Peraturan Menteri Nomor 28/2015.
Dengan adanya peraturan tersebut, kewenangan anggaran pertahanan berada di bawah Menhan.
Mei 2017, Gatot sempat berbeda pendapat dengan Polri soal adanya tuduhan makar di berbagai gelombang demonstrasi kelompok agama yang menguat di akhir tahun 2016.
Penolakan makar disampaikan Gatot sebagai upaya untuk mengajak warga tidak takut dengan situasi politik terkini.
Masih di bulan yang sama, Mei 2017, Gatot hadir di tengah Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar, membacakan puisi berjudul ‘Tapi Bukan Kami’.
Puisi tersebut berisi kritikan kepada pemerintah untuk situasi nasional mutakhir.
Juni 2017, Gatot memimpin ibadah tarawih berjemaah di bawah guyuran hujan sebagai bagian dari ‘Silahturahim safari Ramadhan 2017’ bersama dengan ribuan santri dan ulama.
Terakhir, Gatot mengeluarkan instruksi untuk melakukan nonton bareng film G30S/PKI yang ternyata tidak hanya diinstruksikan kepada jajaran internalnya, melainkan juga ajakan kepada warga sipil di sekitar markas TNI.
“Setidaknya delapan situasi di atas bisa menggambarkan secara implisit bahwa sebenarnya TNI sebagai aktor masih memiliki ambisi untuk mengembalikan lagi spirit Dwi Fungsi ABRI, yakni militer yang sibuk berpolitik,” ucap Puri.
Gatot bantah berpolitik praktis
Gatot sebelumnya membantah melakukan manuver politik untuk kepentingan pemilu presiden 2019.
Gatot engakui bahwa sebagai panglima, dirinya juga berpolitik. Namun, politik yang dia jalankan merupakan politik negara, bukan politik praktis.
Artinya, tindakan yang dia lakukan selama ini merupakan pelaksanaan tugas yang sesuai dengan konstitusi.
Hal tersebut dia ungkapkan saat menanggapi pertanyaan wartawan terkait tudingan manuver politik yang dialamatkan kepada Gatot beberapa waktu belakangan ini.
“TNI dalam posisi netral dalam politik praktis. Ini yang penting, Panglima TNI pasti berpolitik. Politiknya adalah politik negara bukan politik praktis,” ujar Gatot usai memimpin upacara dan tabur bunga di atas KRI dr. Soeharso-990 saat mengarungi perairan Selat Sunda, Banten, Selasa (3/10/2017).
“Sebagai panglima saya harus melaksanakan tugas sesuai konstitusi. Politik saya politik negara,” tambahnya.
Gatot menuturkan, selama 72 tahun berdiri, TNI selalu memastikan posisinya di tengah masyarakat.//delegasi(kompas/hermen)