Kupang, Delegasi.Com – Jaksa Agung pada periode lima tahun kepemimpinan Jokowi- K.H Ma’ruf Amin diharapkan merupakan m pilihan terbaik dari jaksa-jaksa yang berasal dari lingkungan Kejaksaan Agung.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus sampaikan ini dalam keterangan persnya yang diterima media ini, Jumat (23/8).
Ia menegaskan, seorang Jaksa Agung bukan hanya mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya di bidang penuntutan tetapi juga harus seorang “negarawan” yang benar-benar paham akan cita-cita publik di bidang penegakan hukum dan keadilan. Sebagai lembaga yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penegakan hukum, maka Jaksa Agung haruslah berasal dari seorang jaksa karir, berwatak negarawan dan berwawasan kebangsan.
“Karena Jaksa Agung akan menjadi partner presiden dalam melaksanakan kekuasaan negara menurut UUD ’45,” kata Petrus.
Anggota KPKPN periode 2001- 2004 ini menyampaikan, problem utama untuk mendapatkan seorang Jaksa Agung terbaik dari internal kejaksaan adalah sulitnya mendapatkan sosok jaksa terbaik yang memenuhi kriteria negarawan yang sesuai dengan harapan publik. Tidaklah mudah menemukan jaksa yang hebat, meskipun semua jaksa memiliki kualifikasi akademik dan syarat formil lainnya untuk menjadi Jaksa Agung.
“Namun rata-rata mereka kandas di syarat rekam jejak dan integritas moral ketika syarat ini menjadi pertimbangan utama,” ungkap Petrus.
Menurutnya, saat ini tengah terjadi perdebatan publik soal sosok Jaksa Agung dalam periode kepemimpinan Jokowi lima tahun ke depan. Ada opsi untuk memilih Jaksa Agung dari luar (non karir) tetapi juga menguat opsi Jaksa Agung diambil dari internal kejaksaan (jaksa karir). Terhadap opsi ini muncul pertanyaan, apakah boleh Jaksa Agung diambil dari luar. Pengalaman membuktikan, Jaksa Agung bisa diambil dari luar (non karir), bahkan disertai syarat tidak boleh dari kader partai politik. Sekalipun yang bersangkutan mantan jaksa seperti halnya dengan H.M Prasetyo yang menjadi Jaksa Agung dari kader Partai Nasdem.
“Mencari Jaksa Agung dari jaksa karir yang saat ini masih menjabat atau pensiunan jaksa, tidaklah mudah alias gampang-gampang susah,” ungkap Petrus.
Advokat Peradi ini menyatakan, memang ada beberapa jaksa yang rekam jejaknya bagus dan memiliki keberanian termasuk berani berbeda pendapat dengan Jaksa Agungnya sendiri. Sayangnya, jaksa- jaksa yang berani seperti itu sering dimatikan karirnya oleh Jaksa Agung dan dijadikan sebagai staf ahli tanpa diberi tugas atau mengemban tugas sebagai jaksa fungsional hingga yang bersangkutan pensiun.
Pada kesempatan itu Petrus mencontohkan nasib yang dialami Faried Harianto, seorang jaksa karier. Ia adalah seorang jaksa yang berwatak keras, berprestasi baik dalam mengemban tugas bahkan berani berbeda pendapat dengan Jaksa Agungnya sendiri. Karena keberaniannya mau berbeda pendapat itu, ia justeru dinonjobkan alias distafahlikan Jaksa Agung.
“Jika melihat rekam jejak dan keberaniannya, sosok Jaksa seperti Faried Harianto inilah yang layak diusulkan atau masuk dalam radar istana untuk dipertimbangkan menjadi Jaksa Agung ke depan,” ujar Petrus.
Ia menambahkan, melihat rekam jejaknya, Jaksa Faried Herianto layak dipertimbangkan menjadi Jaksa Agung. Karena ia seorang jaksa karier dan profesional yang meniti karier jaksa dari bawah, bersih diri dan berani. Seorang Jaksa Agung itu harus berani dan tidak boleh merasa rendah diri di hadapan atasannya, karena ia mengemban misi melaksanakan kekuasaan negara di bidang penegakan hukum dan keadilan.
“Kejaksaan bukan alat negara seperti halnya Polisi atau TNI, melainkan pelaksana kekuasaan negara di bidang penegakan hukum dan keadilan. Karena itu ia menjadi partner presiden dalam melaksanakan kekuasaan negara,” terang Petrus.
//delegasi(mario/ger)