Membangun Pertanian dan (bukan) Pabrik Semen

  • Bagikan

“Satu yang pasti, masyarakat kita sudah sangat sadar bahwa yang beranak cucu itu hanya mahluk hidup, sedangkan tanah tidak”

Lasarus Jehamat

DELEGASI.COM – Di tengah hiruk-pikuk masalah korona di berbagai tingkatan, masyarakat NTT, terutama Manggarai Timur disibukan isu lain yang tak kala penting.

Konon, pengambil kebijakan di daerah ini berencana membangun pabrik semen di Kampung Luwuk, Desa Satar Punda Kecamatan Lamba Leda Manggarai Timur oleh PT Singa Merah dan PT Istindo Mitra Manggarai.

Rencana itu sudah ada sejak tahun lalu.

Untuk memuluskan rencana tersebut, pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur bekerja keras membuka keran investasi. Yang pertama dilakukan ialah pendekatan dengan masyarakat untuk menyediakan lokasi pabrik.

Atas perintah Pemprov NTT, Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur bekerja siang malam mendekati masyarakat agar rela menyediakan tanahnya untuk pembangunan pabrik.

Ada dinamika di ruang negosiasi antara Pemda Matim dengan masyarakat Luwuk. Seperti diberitakan banyak media, Bupati Matim menyebut bahwa masyarakat Luwuk yang berinisiatif bertemu dengannya. Dengan kata lain, bupati ingin mengatakan pemerintah sebenarnya diam saja. Yang proaktif ialah masyarakat Luwuk sendiri. Bupati mungkin ingin mengatakan bahwa inilah yang disebut pembangunan partisipatif.

Sebab, kegiatan pembangunan didukung sepenuhnya oleh masyarakat. Silakan saja.

Sebab, di waktu yang lain, tokoh masyarakat Luwuk malah mengatakan sebenarnya mereka digiring untuk bertemu bupati. Masyarakat sejatinya tidak tahu sama sekali mengapa sopir membawa mereka ke Mano. Konon di tengah jalan baru diberitahu bahwa bupati sesungguhnya ingin bertemu masyarakat terkait pembangunan pabrik semen.

Tapi sudahlah. Itu tidak terlalu penting. Entah masyarakat atau bupati yang pertama berinisiatif, biar awaktu yang menjawabnya nanti. Satu yang pasti, masyarakat kita sudah sangat sadar bahwa yang beranak cucu itu hanya mahluk hidup, sedangkan tanah tidak. Karena itu, benar yang disampaikan seorang tokoh masyarakat Luwuk terkait pembangunan pabrik semen. Semen bisa dibeli di toko, tetapi tanah untuk anak cucu tidak. Sekali dilepas/dijual, tanah itu milik orang lain.

Kebingungan dengan Logika Negara

Sejauh ini, saya masih tertegun dengan jawaban tokoh masyarakat di atas. Saya sampai pada suatu kesimpulan, dalam batas tertentu, masyarakat memang jauh lebih cerdas dari pemimpinnya. Sederhana alasannya. Ketika warga menyebut jauh lebih mudah membeli semen daripada membeli tanah (tentu jika tanahnya dijual) merupakan puncak tertinggi dari apa yang disebut kecerdasan itu.

Anehnya, negara dalam tangan pemerintah, malah memiliki alur logika lain. Pemda Provinsi NTT menyebutkan jika pembangunan pabrik semen tidak akan merusak lingkungan dan tidak akan pula merugikan warga setempat. Dasar pembangunan pabrik semen hanya dua yaitu kebutuhan akan semen dan ketersediaan bahan baku.

Disebutkan, pembangunan sedang digencarkan di kawasan Flores. Setiap pembangunan fisik harus didukung dengan kebutuhan elemen lain.

Menurut pemerintah provinsi, semen harus disebut di situ.

Mengutip Media Indonesia, voxntt.com (24/04/2020) menulis kebutuhan semen di NTT setiap tahun mencapai 1,2 juta ton/tahun. Kebutuhan semen di Timor Leste mencapai 600 ribu ton/tahun.

PT Semen Kupang hanya mampu menghasilkan 250 ribu ton/tahun. NTT masih desifit sekitar 950 ton.

Di samping itu, Pemprov NTT akan membangun sepanjang 1.000 km dari Labuan Bajo menuju Wae Rebo di Kabupaten Manggarai.

Semen menjadi kebutuhan di sana. Selain karena alasan pembangunan, Pemprov menilai, Manggarai Timur kaya akan bahan baku (Voxntt.com, 27/04/2020).

Jika kita masuk sedikit lebih dalam dua logika di atas (logika masyarakat dan negara) mudah kiranya membaca cara negara melaksanakan pembangunan.

Yang pasti, watak instan dan cari gampang negara bukannya menyelamatkan rakyat dari berbagai gempuran neoliberalisme.

Yang ada, negara menjadi penopang utama hadirnya modal di tengah masyarakat.

Rumus ekonomi politik menjadi sangat kental di sana. Bahwa negara dan modal merupakan dua entitas kuat yang memiliki relasi seimbang untuk menekan rakyat dan masyarakat melalui kanal subordinasi.

Pembangunan Matim dan NTT

Mendiskusikan pembangunan di Indonesia maka bayangannya harus merujuk pada konsep besar Presiden Jokowi. Di kepala Jokowi, pembangunan fisik terutama tidak kemudian menafikan masyarakat lokal. Itulah alasan mengapa setiap program pembangunan harus mengutamakan keterlibatan masyarakat.

Logika demikian tidak lantas dibaca secara salah. Sebab, Jokowi jelas tidak ingin rakyat kehilangan tanah. Investasi boleh masuk tetapi tetap mengikuti keinginan masyarakat dengan memperhitungkan semua dampak yang muncul.

Masalahnya ialah apakah pemerintah di tingkat bawah kuat menjalankan amanat presiden? Ini soal besar kita.

Hemat saya ada keanehan logika negara dalam rencana pembangunan pabrik semen di Manggarai Timur. Semua yang memeriksa Manggarai akan segera tahu bahwa wilayah ini amat subur. Di bandingkan wilayah lain di NTT, Manggarai (Raya) adalah salah satu wilayah dengan tingkat kesuburan di atas rata-rata. Curah hujan di sana juga cukup tinggi.

Sudah menjadi rahasia umum jika Manggarai merupakan wilayah yang memiliki keunggulan bidang pertanian dan kehutanan.

Yang masih kurang di Manggarai Raya ialah ketersediaan infrastruktur jalan dan jembatan, infrastruktur kesehatan, dan beberapa sarana dan prasarana lainnya.

Karena itu, jika ingin membangun Manggarai Raya, termasuk Manggarai Timur, tidak bisa dilakukan dengan membuka keran investasi produksi berbasis teknologi nonpanagan.

Dengan kata lain, membangun Manggarai (Timur) harus berbasiskan pembangunan pertanian dan kehutanan.

Mungkin pemerintah ingin agar kemiskinan dan pengangguran di Manggarai dan Manggarai Timur berkurang.

Mari kita memeriksa data berikut. Data BPS (2019) menunjukkan pada tahun 2018, terdapat sekitar 68 persen penduduk Kabupaten Manggarai Timur tergolong sebagai angkatan kerja dan proporsi penduduk yang bekerja mencapai 67 persen dari total penduduk usia kerja.

Sementara itu, angka pengangguran sebesar 1,07 persen dari total penduduk usia kerja.

Dari data yang sama, pendudukan miskin di Manggarai Timur sebanyak 74,800 orang atau 26,80%.

Membaca data di atas, kemiskinan memang masih menghantui masyarakat sementara pengangguran menjadi tantangan tersendiri.

Masalahnya, apakah pemerintah yakin bahwa pembangunan pabrik semen dapat mengurangi angka pengangguran 1,07% tersebut? Bisa iya bisa tidak.

Sebab, jika dihubungkan dengan kualitas pendidikan, bukan tidak mungkin, banyak masyarakat yang bekerja di pabrik semen (jika nanti dipaksakan dibangun di sana) tetapi dengan standar pendidikan rendah. Mereka adalah pekerja dan buruh harian yang tanahnya telah dijual tersebut.

Itu belum dihitung dampak lingkungan dan efek sosial budaya karena adanya nilai baru yang hadir di masyarakat.

Sebuah proyek pemiskinan yang sangat sistematis terjadi di sana. Ada jebakan besar di sana (Weaver, 2008).

Nalar logika masyarakat menyebutkan penjualan tanah adalah bagian dari proses pemiskinan secara sistematis.

Saat ini sebagian masyarakat menyebut bahwa angka penjualan tanah yang sangat tinggi bisa menjadi penopang hidup ke depan. Hanya, ketika kehilangan tanah, apalagi yang diharapkan nanti?

Uang bisa banyak tetapi dalam tempo singkat bisa dihabiskan. Beda dengan tanah. Dia tidak akan pernah hilang kecuali ada bencana besar yang memporakporandakannya.

Moral tulisan ini jelas. Kita menghargai niat baik pemerintah membangun pabrik semen di Manggarai Timur.

Hanya, membaca analisis di atas, bijak kiranya jika pemerintah membangun pertanian, infrastruktur jalan, dan jembatan terlebih dahulu serta dibandingkan sibuk membangun pabrik semen.

Tanpa pabrik semen pun, masyarakat masih bisa membeli semen sejauh infrastruktur pendukung lain tersedia dengan kualitas mumpuni.

Penulis adalah Putra Manggarai Timur; Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang

Komentar ANDA?

  • Bagikan