“Jadi problem jika bantuan tersebut justru bersumber dari anggaran negara dengan memanfaatkan kewenangan jabatan yang dimilikinya. Selain mengangkangi etika politik juga menjadi preseden buruk edukasi politik bagi rakyat karena mengabaikan keselamatan bersama demi merebut kursi kekuasaan untuk diri an-sich”
Umbu TW Pariangu
DELEGASI.COM – Mewabahnya pandemi Corona (Covid-19) di berbagai daerah di Indonesia telah memengaruhi berbagai pelaksanaan agenda pemerintahan.
Beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo resmi menerbitkan Perppu No 2 Tahun 2020 tentang penundaan pilkada hingga Desember 2020.
Namun penundaan ini tetap mempertimbangkan perkembangan situasi pandemi.
Jika pemungutan suara tidak bisa dilaksanakan pada Desember, pelaksanaannya akan dijadwalkan kembali setelah bencana Covid-19 berakhir.
Beleid penundaan pilkada oleh KPU tentu sebuah keputusan masak (reflectional) dengan mempertimbangkan sekuritas kesehatan dan sosial. Sebagaimana sudah dihimbau oleh WHO, Presiden RI dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam hal penanganan wabah.
Sesuai Undang-undang No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) merupakan respons atas situasi darurat untuk mencegah meluasnya penyebaran penyakit.
Pembatasan sosial yang sudah dilakukan sejauh ini adalah: belajar dan bekerja dari rumah, beribadah di rumah, hingga pembatasan kegiatan di tempat-tempat umum, dengan mengacu Pasal 59.
Sangat potensial
Dengan total 270 daerah peserta pilkada, dengan sebaran 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota yang tersebar di 32 provinsi, 309 kabupaten/kota, dan melibatkan kurang lebih 105.396.460 pemilih berdasarkan jumlah D4, tentu cukup riskan.
Hajatan tersebut sangat potensial menjadi medium penularan wabah ganas korona jika tidak segera ditunda.
Apalagi energi masyarakat dan pemerintah saat ini sedang terkuras pada bagaimana melawan pagebluk yang sudah mewabah di seluruh dunia.
Dalam kondisi tersebut sulit bagi masyarakat berpikir di luar daripada menuntut hal yang paling mendasar bagi mereka yang harus diperhatikan oleh negara bahwasanya salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi). Liabilitas negara untuk melindungi rakyat adalah prinsip ultima yang tak bisa dinafikan di tengah musim pagebluk seperti sekarang.
Ruang politik saat ini sudah dibanjiri tema dan wacana soal seberapa potensial ancaman bagi keselamatan dan peradaban karena pandemi tersebut. Bagaimana respons dan kesigapan pemerintah dalam menangani dan menangkal wabah tersebut.
Bagaimana efek sosial ekonomi yang dirasakan rakyat pada akhirnya dengan ketersediaan anggaran dan sistem penanganan yang relatif terbatas.
Lagi-lagi semua itu bermuara pada menumpuknya kewaspadaan dan kecemasan.
Keleluasaan rakyat untuk berpikir soal liturgi kontestasi: calon pemimpin masa depan mereka, keseruan rivalitas dan partisipasi politik, kian terdesak oleh pembicaraan mutung tentang korona.
Meskipun kita tahu, beberapa waktu lalu masih ada calon kepala daerah nakal yang menghimpun massa diam-diam untuk menggalang suara dan dukungan memanfaatkan situasi korona.
Dengan berkedok sosialisasi dan bantuan kemanusiaan, mereka mencoba meraup popularitas lewat kegiatan pengumpulan massa, yang tentu saja sangat riskan bagi keselamatan masyarakat. Tak cuma itu, juga jadi problem jika bantuan tersebut justru bersumber dari anggaran negara dengan memanfaatkan kewenangan jabatan yang dimilikinya.
Hal tersebut selain membangkang himbauan pemerintah dalam hal social distancing atau PSB, melanggar UU Pilkada, juga mengangkangi etika politik. Ini menjadi preseden buruk bagi edukasi politik bagi rakyat karena mengabaikan keselamatan bersama demi merebut kursi kekuasaan untuk diri an-sich. Memang jika mau berpikir sehat, masa bencana justru menjadi momen empuk para calon kepala daerah menunjukkan empati dan solidaritasnya kepada rakyat dengan mengulurkan bantuan-bantuan kemanusiaan untuk penanganan korona. Baik itu materi atau bantuan langsung alat-alat sanitasi (semprot disinfektan), alat tes korona, alat pelindung diri bagi tenaga medis dan lain sebagainya.
Kreatif memasarkan diri
Sejauh itu dilakukan dengan cara dan strategi yang benar dan patut dan didasari intensi berbela rasa dengan yang membutuhkan, tak ada masalah. Justru ketika calon kepala daerah mau mempraktekkan politik humanis seperti itu, ia telah membangun panggung politik gratis untuk meyakinkan kepada rakyat bahwa dirinya memang calon pemimpin yang layak dipilih karena tidak egois, dan punya nurani kemanusiaan yang tinggi. Memenangkan pemilihan mungkin bukan segala-galanya, tetapi mustahil mengelak dari konsekuensi positif elektoral: akan meraih simpati dan suara rakyat di saat pemilihan.
Itu sangat mungkin dilakukannya. Pertama, karena meminjam Reinhold Niebuhr (Moral Man and Imoral Society, 1932), seseorang punya kapasitas untuk menjadi baik dan humanis, kecuali ia mau “ditabrak” begitu saja oleh hasrat kepentingan diri.
Kedua, memori masyarakat kita masih kuat untuk mengingat “melankolisme politik”, termasuk praktek investasi politik yang menjawab langsung kebutuhan masyarakat.
Memang akibat pilkada ditunda, ada beberapa implikasi. Misalnya, pertama, terjadi kekosongan jabatan di seluruh daerah penyelenggara pilkada karena rata-ata akhir masa jabatan kepala daerah di 270 daerah itu akan berakhir di Februari dan Juni 2021.
Padahal untuk mencari sosok penjabat kepala daerah di tengah elemen pemerintahan sedang fokus menangani Corona, tidaklah mudah.
Kedua, peluang kian melemahnya elektabilitas seorang calon karena waktu yang dibutuhkan untuk menimbang bobot dan kompetensi yang dimiliki calon kepala daerah oleh rakyat makin panjang bahkan menjenuhkan.
Dalam jarak waktu yang panjang itu bisa saja muncul dinamika politik baru yang memotong memori rakyat terhadap si calon itu.
Selain itu, sudah pasti biaya politik yang dibutuhkan seorang calon untuk melajukan mesin politik selama proses pilkada akan makin besar seiring makin lamanya proses kontestasi yang diagendakan.
Tetapi lagi-lagi risiko itu bisa dieliminir kalau para calon kepala daerah kreatif memasarkan diri, menggunakan musim wabah korona saat ini untuk mengapitalisasi komitmen kemanusiaannya.
Investasi politik berbasis inisiatif program gotong royong, aksi sosial, sangat strategis untuk mengikat simpati pemilih.
Dan bukan itu saja. Hal tersebut juga menjadi arena promosi katarsis seorang politisi atau calon kepala daerah kepada rakyat. Katarsis menurut Aritoteles adalah masa pemurnian diri terutama bagi seorang calon pemimpin.
Masa bagi seorang calon kepala daerah untuk mengambil jarak dengan rupa aneka pragmatisme politik atas dasar empati yang menebal pada keadaan krisis, dengan harapan ia bisa menemukan pemikiran atau ide yang etis, positif dan konstruktif sebagai “modal sosialnya” dalam menjajakan programnya selama kampanye pilkada.
Serta secara universal untuk menginspirasi rakyat tentang komitmen dan tanggung jawab membangun prinsip kemanusiaan.
.
Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang