Bupati Agas Andreas Belum Paham Karakteristik Daerah

  • Bagikan

KUPANG, DELEGASI.COM – Pernyataan Bupati Manggarai Timur (Matim), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Agas Andreas bahwa akan melihat atau meneliti ulang tentang geologi karst di Matim terutama di Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda menunjukkan bupati belum paham karakteristik daerah yang dipimpinnya.

Penilaian ini disampaikan Direktur Wahana Lingkungan (Walhi) Provinsi NTT, Umbu Wulang dalam diskusi virtual tentang polemik rencana pendirian pabrik semen dan tambang batu gamping di Matim bertempat di Hotel Aston Kupang, Jumat (10/7).
Menurutnya, sebelum menerbitkan izin lokasi tambang, bupati sudah mengetahui secara pasti tentang geologi karst daerahnya.

Sehingga tidak perlu melakukan kajian ulang setelah izin dikeluarkan, seperti yang aka dilakukan Bupati Matim terhadap pendirian pabrik semen di Luwuk dan tambang batu gamping di Lolok.
Umbu menegaskan, Walhi NTT menolak kegiatan tambang di NTT, termasuk di Satarpunda yang dilandasi alasan historikal, komitmen politik, dan alasan teknis.

Untuk alasan histrorikal, fakta menunjukkan praktek eksploitasi tambang tak memberi kesejahteraan bagi masyarakat. Tak ada ceritera bahwa aksi tambang memberi kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD) dan kesejahteraan masyarakat.

Lebih lanjut ia menyampaikan, untuk komitmen politik, Walhi merujuk pada pernyataan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat soal moratorium tambang. Sebenarnya tambang tak cocok di NTT. Pemerintah hendaknya mengembangkan pariwisata yang telah ditetapkan sebagai prime mover pembangunan.

Komitmen politik seorang pemimpin daerah harus juga dimaknai sebagai komitmen moral.
“Kami tidak mau pemimpin kami ingkar komitmen politik soal tambang, sehingga kami terus ingatkan,” tandas Umbu.

Ia menjelaskan, untuk alasan teknis, PT Istindo yang hadir di Satarpunda merupakan perusahaan lama yang hanya bergani baju. Perusahaan ini memiliki rapor merah terhadap tambang di Serise, Manggarai.

Pemerintah juga harus berkaca pada keberadaan PT Semen Kupang yang tak jelas nasibnya. Bahkan sekarang PT Semen Kupang mengambil-alih menjadi perusahaan yang mengurus limbah medis.

Realita ini harus menjadi potret bagi pemda dalam mengambil kebijakan soal pendirian pabrik semen di Luwuk dan batu gamping di Lolok.
Pada kesempatan itu Umbu mengkritisi kegiatan sosialisasi yang telah dilakukan Pemda Matim.

Diduga sosialisasi yang dilakukan pada Desember 2019 itu hanya melegitimasi izin yang sudah ada dengan memberi iming- iming kepada masyarakat.

“Di tengah situasi sulit seperti ini, masyarakat pasti setuju dan dengan apa yang disampaikan pemerintah apalagi disertai dengan iming- iming,” papar Umbu.
Ia menambahkan, dua bulan lalu Walhi melakukan survei dengan mengambil responden dari semua kabupaten/kota di NTT. Survei menunjukkan, 86 persen responden menolak tambang di NTT. Rata- rata dari mereka memiliki pengalaman buruk terhadap tambang.

Pilihan mereka pada pengembangan pariwisata berbasis kemasyarakatan, pertanian dan peternakan. Hampir semua responden kecewa dengan pernyataan gubernu untuk kembali pada usaha pertambangan.
“Sangatlah ironis, yang difasilitasi negara adalah tambang. Kenapa pemerintah tak menerima hak tolak masyarakat dalam pengambilan kebijakan?” tanya Umbu retoris.

//delegasi (hermen jawa)

Komentar ANDA?

  • Bagikan