LARANTUKA-DELEGASI.COM–Kemelut PT.Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bina Usaha Dana Larantuka, dengan Debitur Ricky Leo, ternyata telah menjadi perhatian banyak pihak, termasuk para Netizen di jagad maya, dengan berbagai latar belakang sudut pandang memberi sumbang saran pikiran, agar kisruh untuk cepat selesai secara baik bagi Kreditur dan Debitur.
Tak pelak, salah satu Putera Flores Timur, Agustinus Philipus Peppy Fernandez, S.E.M.Ec.Dev, Dosen dan Analis Perbankan, ikut nimbrung memberikan jalan tengah bagi kedua pihak, saat berbicara dengan Delegasi.Com, Kamis, 04/03/2021, Malam.
Menurutnya, dalam putaran atau lingkaran ekonomi, terutama dunia perbankan, selalu tak lepas pada 2 (dua) hal penting, yakni: pertama pada sisi tabungan (saving) dan yang kedua sisi pinjaman (lending).
“Karena itu, terkait case yang lagi kisruh di Bumi Flotim, antara PT.BPR BUD Larantuka versus Nasabah/Debitur yang sedang mencuat, seperti Ricky Leo, maka Saya sedikit mengulas beberapa hal penting, sehingga kisruh tersebut cepat terselesaikan, tanpa ada pihak yang dirugikan (mutual concept),”sebutnya.
Baca juga:
KLB Kilat, Pilih Moeldoko Jadi Ketum Demokrat dalam 1,5 Jam
Akankah Hasil KLB Demokrat Disahkan? Ini Penjelasan Stafsus Menkum HAM
Dikatakannya, ketika problema ini muncul, maka sebagai Netizen, tentunya membuat pelbagai komentar pedas maupun lembut, tergantung sudut pandang dari informasi yang diperoleh.
Dimana, kekuatan Netizen yang bersifat individual dalam menelurkan ide, bisa membentuk image yang begitu cepat di mata masyarakat/publik.
“Apalagi, sekarang teknologi digital begitu canggih sehingga pesan yang bersifat konstruktif maupun destruktif, bisa terkirim lebih cepat dan mudah dikonsumsi tanpa adanya filter, jika Netizen terbatas pengetahuan akan hal yang diinginkan oleh pembuat ide tersebut,”ujarnya, terbuka.
Perlu diketahui, Dunia perbankan, sebut Peppy, dari sisi pengawasan kredit ada 2 jenis yakni:
1.) Model Preventif Control, dimana pihak Kreditur melakukan hal ini sebelum kredit dicairkan tujuannya, untuk menghindari kesalahan yang lebih fafal, di kemudian hari.
Disini mulai dari kelengkapan berkas, hingga suryei lapangan seperti yang ada.
2. Model Represif Control: Dilakukan, setelah kredit disalurkan dengan tujuan agar debitur terbangun kedisiplinan yang kuat untuk melunasi pinjaman secara tepat waktu.
“Nah, kredit yang dialami Ricky Leo masih berada dalam kondisi diragukan, bukan kredit macet,”pungkasnya, serius.
Pasalnya, terangnya lagi, kredit macet merupakan kondisi setelah berlalu 18 bulan, sejak kredit itu digolongkan sebagai kredit diragukan, dimana debitur tidak ada upaya pelunasan.
Apalagi, lebih lanjut berdasarkan Jumpa Pers beberapa waktu lalu, pihak PT.BPR BUD, diwakili oleh Direktur Utama mengatakan bahwa debitur tidak bersikap kooperatif, maka dalam hal akan menyulitkan Bank untuk lakukan Restrukturisasi.
Kenapa demikian? Karena jika gagal bayar akan berdampak pada Non Perfoming Loan Bank tersebut, dan tergenerate secara system oleh Bank Indonesia.
Dijelaskan lagi, NPL adalah salah satu varian untuk melihat Bank sehat atau sakit.
“Jika satu nasabah kredit macet, maka menyebabkan rasio persentase NPL meningkat, maka Bank itu dinilai gagal dalam mengelola bisnis.
Bayangkan, kalau ada banyak debitur macet maka BPR BUD bisa ditutup, dan semua karyawan akan kehilangan pekerjaan. Dampak ekonomi akan bergejolak seperti effect karanbol,”tegasnya.
Lebih jauh disinggung pula, bagaimana BPR harus bersikap jika debitur kooperatif seperti diungkapkan bahwa Debitur pernah membawa uang sebesar Rp. 100 juta?
Peppy Fernandez menjelaskan, secara kode etik Perbankan, seharusnya Bank menerima uang tersebut.
“Tidak ada alasan Teller menolak menerima uang dari Debitur (Job Descrieption Teller). Itu atas perintah siapa?
Kecuali ada hal lain yang merupakan rahasia Bank.
Dan, restrukturisasi ini diberikan kepada Debitur sesuai hasil negosiasi dan perhitungan analisis Bank.
Apakah Debitur Ricky Leo cocok untuk mendapatkan, Pertama: Rescheduling (Penjadwalan Kembali), memperpanjang tenor pinjamaman.
Berikutnya: Restructing (Persyaratan kembali): Mengubah syarat-syarat peminjaman, seperti jadwal pembayaran, jangka waktu etc dengan syarat tidak mengubah plafon kredit.
Ketiga: Reconditioning (Penataan kembali), yakni menambah fasilitas kredit, mengonversi tunggakan menjadi pokok kredit baru, hingga point Reschedulling dan Restructuring,”bebernya, sengit.
Diharapkan, pihak BPR BUD dapat mencontohi case Brand Eigher yang pada intinya, menganggap debitur.adalah raja.
Setiap komplain dari debitur hendaknya segera diberikan solusi, karena informasi cepat beredar dari mulut ke mulut.
“Segala saran, Kritikan haruslah diterima sebagai bahan untuk mengembangkan sayap bisnis Perbankan.
Bersikap tenang dan jangan pakai emosi.
Seharusnya, semua pegawai BPR BUD bisa mencontohi dari Direkturnya.
Dan, menjaga ritme komunikasi ketika berada di lapangan,”timpalnya, lagi.
Ia juga mengingatkan, mestinya case debitur di Area Adonara itu, perlu juga mendapat perhatian khusus karena mendapat top up, tapi kata kasar yang diterima ketika Debitur macet akibat Covid-19.
Padahal, sebagai pegawai Bank, Anda harus memperhatikan kode etik tersebut,”katanya.
Apalagi, kebasnya lagi, sudah jelas Pemerintah menyatakan relaksasi di masa Pandemik oleh semua Bank dan jasa keuangan lainnya.
Selain itu, hal penting yang harus diketahui Debitur agar Bank tidak melakukan sita
jaminan.
“Yakni, perhatikan SP (Surat Peringatan) dari Bank. Bank telah berbaik hati dengan mengirim SP, karena kalau tidak ada kabar maka Bank berasumsi Debitur kabur.
Lalu, bayar cicilan minimum. Jika Debitur tak punya uang untuk membayar angsuran penuh akibat kondisi usaha menurun, kemudian kecelakaan tabrak seperti terjadi pada Ricky Leo, sehingga ada rasa tanggung jawab, daripada menghilang akan menambah masalah.
Berikutnya, segera menghadap pihak Bank untuk lakukan negosiasi dan berkata jujur apa yang sedang melanda usaha Anda.
Jika hal tersebut sudah dilakukan maka pihak Bank berdasarkan kode etik dan atas dalil kemanusiaan, tidak bisa melakukan sita jaminan.
Apalagi, BPR BUD Larantuka adalah milik Pemda Flotim,”urainya, detail.
Dosen dan Analis Perbankan ini bahkan mengingatkan, perlu dicatat oleh semua debitur bahwa apakah dilakukan eksekusi jaminan ketika wanprestasi hanya berdasarkan hak tanggungan?
Dikatakan, eksekusi ini berdasarkan UU Hak Tanggungan pasal 6 No.4/1996 menyatakan bahwa : Pemegang hak tanggungan pertama berhak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Disinggung bagaimana jika kondisi debitur melakukan aksi perlawanan (verzet) terhadap jaminan tersebut?
Peppy Fernandez jelaskan, hal itu seperti diungkapkan oleh pengacara BPR BUD bahwa sertifikat mempunyai kekuatan eksekutorial pasal 14 ayat 3 UU Hak Tanggungan.
“Jadi case seperti ini sebenarnya tidak perlu terjadi. Kalau kedua belah pihak harus bisa saling berkomunikasi, memahami kondisi epidemik Covid-19 dan bersikap rendah hati dalam menjaga nama baik (reputasi,red), secara pribadi maupun institusi.
Sehingga roda ekonomi kembali normal untuk terus berputar dan bisa meningkatkan PAD Kabupaten Flotim.
“Dan, hal ini masih membuka peluang perlu adanya campur tangan dari Pemda dan DPRD Flotim, serta unsur terkait sebagai mediasi, mengupayakan solusi terbaik bagi Debitur Ricky Leo dan PT.BPR BUD Larantuka,”tutupnya, memberi jalan tengah.
(Delegasi.Com/BBO)