“Gambaran umumnya adalah bagaimana budaya dan adat masyarakat Adonara di Nusa Tenggara Timur berkorelasi dengn alam sekitarnya. Sebagai masyarakat adat yang masih memiliki keyakinan terhadap adanya kekuatan alam (Lewotana), peristiwa badai Siklon Seroja yang terjadi beberapa waktu lalu, tidak semata-mata bencana alam biasa tetapi diyakini sebagai “murka” alam Ile Boleng terhadap warga yang telah mengambil sesuatu (benda-benda magis), termasuk mengambil air dari sumbernya Wai Jara di puncak Ile Boleng”
Oleh: Dr. Keron A. Petrus,SE,MA
Tulisan ini akan diturunkan dalam beberapa seri. Seri pertama, dimulai dengan fenomena sosial masyarakat Adonara pasca Badai Siklon Tropis Seroja. Seri selanjutnya, mendiskusi fenomena sosial ini secara lebih mendalam dari sudut pandang sejarah dalam perspektif ekologi budaya
Meluasnya Kesadaran Masyarakat Adonora Pada Alam Ile Boleng Pasca Badai Siklon Tropis Seroja
Tulisan ini akan diturunkan dalam beberapa seri. Seri pertama, dimulai dengan fenomena sosial masyarakat Adonara pasca Badai Siklon Tropis Seroja. Seri selanjutnya, mendiskusi fenomena sosial ini secara lebih mendalam dari sudut pandang sejarah dalam perspektif ekologi budaya.
DELEGASI.COM – Badai Siklon Tropis Seroja, 5 April 2021 telah memporak-porandakan sebagian wilayah di Nusa Tenggara Timur, termasuk di pulau Adonara, Kab. Flores Timur. Tercatat dua desa terparah diterjang banjir, yakni Desa Lamanele, Kec. Ile Boleng, dan Desa Waiburak, Kec. Adonara Timur. Di samping menghanyutkan rumah-rumah penduduk dan bangunan lainnya, serta korban jiwa tidak sedikit.
Sebagai masyarakat adat dan masih memiliki keyakinan terhadap adanya kekuatan alam (Lewotana), pasca badai seroja membawa hikmah tersendiri. Peristiwa yang dialami dilihat tidak semata-mata bencana alam biasa seperti yang telah diingatkan Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Peristiwa ini juga dilihat dan diyakini sebagai “murka” alam Ile Boleng terhadap warga yang telah mengambil sesuatu (benda-benda magis), termasuk mengambil air dari sumbernya Wai Jara di puncak ile Boleng.
Opini yang berkembang luas di kalangan masyarakat saat ini bahwa badai Seroja datang dan menyatu dengan alam Ile Boleng untuk mengingatkan orang-orang yang telah melakukan kesalahan itu. Bahkan, opini sudah berkembang luas bahwa sebagai warga Adonara perlu mengambil langkah pemulihan secara adat. Puncak alam Ile Boleng telah membuat ketidaknyaman karena sudah lama dijadikan sebagai tempat “wisata” tanpa arahan tempat-tempat mana yang dinilai keramat dan benda-benda magis apa saja yang tidak boleh diambil/dirusak.
Duka, tangis, gelisah dan merasa bersalah terhadap alam Ile Boleng telah membangun sebuah kesadaran baru dan mengingatkan pentingnya harmonisasi kehidupan dengan alam. Tercatat, sampai dengan, 23 April 2021,terhitung sudah 60-an desa yang warganya pernah ke puncak ile Boleng dan mengambil sesuatu dan air dari sumber Wai Jara mengaku ke Desa Lamahelan, desa yang menurut sejarah sebagai desa penjaga Ile Boleng. Mereka meminta untuk dibuatkan ritual amet perat (pengampunan) akibat kelalaian yang telah diperbuat.
Fenomena ini memberi bukti kuat bahwa hikmah dari peristiwa ini telah memberi ruang refleksi mendalam pentingnya menghargai, merawat tradisi yang membawa kemaslahatan warganya. Ile Boleng bukan Ile biasa, tetapi Ile dengan puncaknya yang keramat, menyimpan misteri yang perlu digali keberadaannya. Badai Seroja yang diyakini menyatu dengan kekuatan alam Ile Boleng telah membawa kesadaran baru manusia Adonara untuk menghargai Sejarah Keberadaan Alam dengan segala Struktur Kepemangkuan yang melekat padanya. ***
Pertanyaan dibalik ritual Amet Perat: Apakah Nuda Kelekat terhadap alam Ile Boleng diartikan sama dengan garis kepemangkuan?
Penyelenggaraan ritual amet perat (pengampunan) sebut saja begitu, merupakan hal yang tumbuh dan hidup dalam adat, budaya masyarakat Lamaholot-Adonara. Penyelenggaraan ritual dilakukan oleh orang-orang tertentu yang dikaruniai atau dimandatkan untuk melakukannya/mempimpin ritual adat tertentu untuk keperluan tertentu pula. Dalam bahasa setempat orang-orang ini disebut Nuda Kelekat (pelayan).
Dalam posisi sebagai Nuda Kelekat, dia tidak sesuka hatinya memimpin ritual yang bukan dimandatkan kepadanya. Dia hanya boleh melakukan ritual untuk peristiwa yang dialami berkenaan dengan mandat yang diperoleh. Dalam kaitan peristiwa badai Siklon Tropis Seroja yang ditempatkan sebagai “murka” alam Ile Boleng akibat sejumlah warga “merusak” tempat-tempat keramat di puncak Ile Boleng maka ritual pengampunan hanya boleh dipimpin oleh Nuda Kelekat yang dimandatkan untuk itu.
Pertanyaan umumnya, apakah posisi Nuda Kelekat selalu berkorelasi dengan Hak Kepemangkuan (Adat) Kesulungan dalam struktur adat masyarakat Adonara? Ini yang menjadi bahan diskusi untuk dikaji lebih mendalam. Sebab, Nuda Kelekat, apalagi terkait dengan eksistensi warga dalam satu komunitas adat (budaya), tidak selamanya berkorelasi dengan Hak Kepemangkuan. Artinya, peran Nuda Kelekat pada umumnya untuk dirinya sendiri di satu sisi, dan peran Hak Kepemangkuan Kesulungan di sisi yang lain. Dalam peristiwa tertentu barulah dapat ditemukan korelasi di antara keduanya untuk menjalankan sebuah ritual.
Kalau demikian, pertanyaan yang berkaitan dengan fenonema ritual amet peratyang sedang marak di Adonara menjadi begini: Apakah penyelenggaraan ritual adat oleh Nuda Kelekat itu disertai dengan klaim bahwa Hak Kepemangkuan Adat Kesulungan dari garis keturunan Kelake Ado Pehan dan Kewae Sedo Bolen melekat pada diriNuda Kelekat?
Tidak berniat menggugat, tetapi sebagai warga masyarakat Adonara, berharap klaim itu tidak dilakukan. Ritual itu dilakukan hanya semata-mata menjalankan tugas sebagai Nuda Kelekat. Sebagai warga Adonara, kita hendaknya memberi rasa hormat kepada Nuda Kelekat karena telah berperan menenangkan warga Adonara dalam kegelisahan, keresahan karena merasa telah melanggar tempat-tempat keramat atau mengambil benda-benda bernilai magis di puncak Ile Boleng.
Akan menjadi soal di kemudian hari, jika klaim itu dilakukan, dan ternyata tidak didukung oleh kekuatan alam dan leluhur dalam garis keturunan Kelake dan Kewae maka apakah kekuatan pengampunan melalui ritual itu bisa diterima oleh alam dan leluhur?Sebagai orang yang hidup dalam tradisi, budaya Lamaholot-Adonara, jawabannya, sudah pasti tidakdirestui. Tetapi, bahwa sejarah tidak boleh memungkiri posisi Lamahelan adalah kampungnya pemegang Hak Pemangkuan Kesulungan Kewae dan Kelake pada saat mereka sepakat meninggalkan Riawale, kampungyang terletak di puncak Ile Boleng. Mereka tidak membentuk diri dalam satu kampung, tetapi menyebar ke beberapa kampung di kaki Ile Boleng. Bukti kuat Lamahelen sebagai Kampung Pemangku Kesulungan adalah Nama Kecamatan Ile Boleng, dan Lamahelan sebagai Ibu Kota Kecamatan Ile Boleng.
Sudah saatnya kita perlu diskusi dari hati ke hati, terbuka untuk menemukan struktur kepemangkuan menurut garis darah kedua Leluhur kebanggaan kita orang Adonara. Fenomena alam badai Siklon Tropis Seroja telah membuka pintu bagi kita anak Adonara, mari duduk diskusi. Sejarah adalah Identitas karena itu semua orang merasa berkeptingan terhadapnya.
Seperti kata Karl Marx, seorang filsuf, sejarahwan, sosiolog terkenal asal Jerman: “Manusia adalah pembuat sejarah, tetapi mereka tidak dapat membuatnya sesuka hatinya; mereka tak dapat membuatnya berdasarkan keadaan yang mereka pilih sendiri, melainkan berdasarkan keadaan yang langsung mereka hadapi, diterima dan dibawa dari masa lalu”
***