“Pada waktu Kongres PDI di Medan pecah menjadi dua kubu, Kubu Soerjadi dan Kubu Megawati, kami pengurus lengkap DPC PDI meminta pandangan Pastor Henri Daros. Berdasarkan pandangan beliau, DPC PDI Ende memilih PDI Pro-Megawat, apapun terjadi. Kami bersumpah sambil menangis di Aula Bung Karno Penerbit Nusa Indah, disaksikan Pastor Henri Daros, yang kami anggap sebagai Moderator Politik Kebangsaan. Beliau tangguh sebagai moderator”.
Yohanes Sehandi
DELEGASI.COM – Pastor Henri Daros, SVD, telah meninggalkan kita semua pada Rabu sore kemarin (11/8/2021) pukul 17.35, dalam usia 73 tahun, di Biara Santu Yosef, Ende, Flores, NTT. Banyak kenangan dan jasa yang beliau tinggalkan untuk kita semua.
Di samping dikenal luas sebagai tokoh besar di bidang penerbitan media cetak dan penerbitan buku di Ende, Flores, dengan menerbitkan SKM Dian, majalah anak Kunang-Kunang, lembaran bulanan Rumah Kita, harian Flores Pos, dan menjadi Direktur Penerbit Nusa Indah, Ende, beliau juga adalah moderator politik kebangsaan.
Selama 10 tahun (1989-1999) saya bekerja bersama beliau di Penerbit Nusa Indah, Ende. Beliau sebagai Direktur, Wakilnya Pastor Frans Ndoi, SVD, dan saya sebagai Editor untuk bidang bahasa dan sastra Indonesia. Saya merasakan kepiawaian Pastor Henri Daros sebagai moderator politik kebangsaan. Beliau bekerja di belakang layar. Sebelumnya memang beliau pernah menjadi Ketua Dewan Mahasiswa pada waktu kuliah S-1 di STFK Ledalero, Maumere.
Pada tahun 1990, saya bersama tiga teman karyawan di Penerbit Nusa Indah, yang sebetulnya hanya iseng-iseng saja, masuk organisasi politik PDI (Partai Demokrasi Indonesia) tingkat Kabupaten Ende.
Waktu itu DPC PDI Kabupaten Ende hanya tersisa tiga orang, yakni Ketua Max Djeen, Sekretaris Alex Ande Mbele, dan Bendahara Yohanes Dje. Dengan senang hati Bapak Max Djeen menempatkan kami empat orang menjadi Wakil Ketua DPC PDI Kabupaten Ende. Akhir tahun 1990 kami dilantik oleh Ketua Umum DPP PDI, Soerjadi. Waktu itu Sekjen DPP PDI Nico Daryanto.
Pada waktu Pastor Henri Daros tahu, bahwa ada karyawan yang jadi Pengurus DPC PDI, kami dipanggil di ruangannya. Beredar isu di internal karyawan, kami akan disuruh memilih, tetap menjadi karyawan atau masuk politik PDI. Kami empat orang cemas, yakni saya Yohanes Sehandi, Lukas Lege, Rofinus Jamin, dan Emanuel Diaz.
Di luar dugaan, Pastor Henri Daros mendukung. Kami merasa lega. Mulai saat itulah bertambah kesibukan kami empat orang. Di samping sibuk di kantor, juga sibuk di DPC PDI. Satu tahun kemudian, yakni tahun 1991, bertambah anggota pengurus DPC PDI, dengan masuknya Bernadus Gadobani, yang kemudian menjadi Ketua DPC menggantikan Max Djeen, Herman Uwa menjadi Sekretaris DPC, Frans Gotong menjadi Bendahara DPC, dan Ruben Resi menjadi Wakil Ketua DPC.
Secara berkala kami empat orang dipanggil Pastor Henri Daros untuk menanyakan perkembangan partai dan memberi jalan keluar untuk mengatasi kesulitan mengurus partai. Dia memberi pandangan dan motivasi. Kami semua tidak ada yang berlatar belakang pendidikan politik. Pengalaman juga tidak ada. Praktis pengetahuan dan wawasan politik kami berasal dari Pastor Henri Daros. Akhirnya kami terdorong untuk mulai membaca tentang berbagai persoalan politik tingkat lokal Kabupaten Ende, tingkat regional NTT, dan tingkat nasional.
Pastor Henri Daros juga merelakan Aula Pertemuan Penerbit Nusa Indah untuk dipakai menjadi tempat pertemuan DPC PDI. Di luar dugaan, Aula Pertemuan Penerbit Nusa Indah, oleh Pastor Henri Daros, kemudian diubah namanya menjadi Aula Bung Karno, dilengkapi meja kursi yang cukup mewah. Di Aula Bung Karno itu dipasang gambar Bung Karno dalam ukuran besar.
Pada suatu waktu tahun 1990-an, Pemda Ende meminta Aula Bung Karno untuk dipakai dalam pertemuan kunjungan kerja Gubernur NTT, Herman Musakabe, pada waktu itu. Sebelum acara dimulai, petugas dari Kantor Sospol Kabupaten Ende mengecek ruangan pertemuan. Disarankan oleh Pemda agar tidak dipasang foto Bung Karno. Pastor Henri Daros tidak mau. Alasannya, ruangan itu namanya Aula Bung Karno. Jalan tengah yang diambil, di samping foto Bung Karno, dipasang pula foto Pak Harto.
Pada waktu Kongres PDI di Medan pecah menjadi dua kubu, Kubu Soerjadi dan Kubu Megawati, kami pengurus lengkap DPC PDI meminta pandangan Pastor Henri Daros. Berdasarkan pandangan beliau, DPC PDI Ende memilih PDI Pro-Megawat, apapun terjadi. Kami bersumpah sambil menangis di Aula Bung Karno Penerbit Nusa Indah, disaksikan Pastor Henri Daros, yang kami anggap sebagai Moderator Politik Kebangsaan. Beliau tangguh sebagai moderator.
Tahun 1997/1998, DPC PDI Pro-Mega berubah menjadi DPC PDI Perjuangan Kabupaten Ende.
Pastor Henri Daros juga secara aktif mencari dan menemukan tokoh-tokoh yang pernah bergabung dalam PNI (Partai Nasional Indonesia) yang didirikan Bung Karno. Beliau juga mengumpulkan sahabat-sahabat Bung Karno semasa pembunganan di Ende tahun 1934-1938. Para tokoh sisa PNI dan sisa sahabat Bung Karno diundangnya untuk bertemu di Aula Bung Karno Penerbit Nusa Indah. Akhirnya kamu mengenal tokoh-tokoh tua itu, seperti Bapak Djae Bara, Ebas Dekora, dan lain-lain.
Suatu waktu, Pastor Henri Daros, mengumumkan kepada kami karyawan Penerbit Nusa Indah untuk menggunakan pakaian seragam baru, warnanya persis warna pakaian PDI Perjuangan, merah-hitam. Pada waktu demonstrasi, seluruh karyawan Penerbit Nusa Indah ikut turun ke jalan dengan pakaian merah-hitam. Dikira semua demonstran orang-orang PDI Perjuangan, padahal sebagian besar karyawan Penerbit Nusa Indah
Tahun 1997/1998 kami Pengurus DPC PDI Pro-Megawati, beberapa kali melakukan demonstrasi di Kantor Bupati Ende dan Kantor DPRD Ende agar pemerintah mengakui DPC PDI Pro-Megawati sebagai PDI yang sah. Strategi demonstrasi dirancang di Aula Bung Karno, pembuatan spanduk di Lantai 3 Rumah Bendahara Frans Gotong (Fung Kam), dan titik star demonstran di rumah Ketua DPC Bernadus Gadobani, yang sekaligus Kantor DPC.
Menjelang Pemilu Reformasi tahu 1999, Pastor Henri Daros mendorong kami empat orang Pengurus DPC PDI Perjuangan yang berasal dari Penerbit Nusa Indah untuk maju menjadi calon legislatif. Kami bertiga tidak PD. Namun karena kepiawaian beliau memberi pandangan dan motivasi, kami pun maju menjadi caleg.
Di luar dugaan, kami berempat terpilih. Tiga teman terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Ende, yakni Lukas Lege, Rofinus Jamin, dan Emanuel Diaz, dan saya Yohanes Sehandi terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi NTT. Ada 13 orang caleg PDI Perjuangan pada waktu itu yang terpilih dari 30 anggota DPRD Kabupaten Ende (hampir 50 % kursi). Caleg DPR RI yang terpilih dari PDI Perjuangan waktu itu Jakob Nuwa Wea yang kemudian menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi di era Megawati Soekarnoputri.
Ketua DPC PDI Perjuangan Ende, Bernadus Gadobani, kemudian terpilih menjadi Ketua DPRD Kabupaten Ende periode 1999-2004, kemudian menjadi Wakil Bupati Ende periode 2004-2009.
Setelah Pemilu 1999, komunikasi dengan Pastor Henri Daros tidak lancar lagi, karena beliau pindah ke Jepang menjadi dosen di Program Studi Indonesia, Departemen Studi Asia, Universitas Nanzan (milik SVD) di Nagoya, Jepang, dan saya pindah ke Kupang. Baru bertemu lagi tahun 2018 setelah beliau kembali Ende. Saya bersama istri sering mengunjunginya di Serambi Soekarno dengan beragam cerita kenangan yang tak terlupakan.
Begitulah ringkasan sejarah panjang peran Pastor Henri Daros sebagai Moderator Politik Kebangsaan. Setelah selesai menjadi dosen di Universitas Nanzan di Nagoya Jepang selama 17 tahun (2000-2017) dan kembali ke Ende, pada tahun 2019 beliau mendirikan situs strategis bernama Serambi Soekarno di Ende Kota Pancasila. Tempatnya di Biara Santu Yosef Ende.
Di tempat itulah dahulu tahun 1934-1938, Bung Karno sering membaca berbagai buku dan majalah di Perpustakaan SVD dan berdiskusi dengan para Pastor SVD yang berasal dari Belanda. Hari-hari terakhir, Pastor Henri Daros sibuk melayani para pengunjung Serambi Soekarno yang berasal dari seluruh wilayah Nusantara dan mancanegara. *
Penulis adalah Dosen Bahasa dan Sastra Universitas Flores Ende Sekaligus mantan anggota DPRD NTT dari PDI Perjuangan